Al Ittifaq, Dulu Pondok Kolot Kini Milenial

3,029 kali dibaca

Al-Ittifaq, pondok pesantren yang berada di Bandung, bertransformasi dari sistem pendidikan yang kolot ke milenial. Al-Ittifaq kini menjadi salah satu pesantren modern yang jadi pusat pengembangan agroindustri.

Didirikan pada 1934 di Kampung Ciburial, Desa Alamendah, Kecamatan Rabcabali, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Al-Ittifaq adalah tipikal pondok pesantren pada zamannya. Didirikan oleh KH Mansyur yang memiliki jiwa nasonalisme tinggi dan sangat anti-penjajah, pesantren yang berada di ketinggian Bandung bagian selatan ini benar-benar menerapkan sistem pendidikan yang dari kaca mata kekinian terbilang sangat kolot.

Advertisements

Sebagai pesantren salafiah, pada tahun-tahun awal pesantren ini hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama yang bersumber dari al-Quran, Kadits, dan kitab-kitab kuning (kutubus salafiyah) belaka. Bahkan, KH Mansyur mengharamkan santri menulis dengan huruf latin. Hal-hal yang berbau atau menjadi symbol modernitas juga diharamkan. Santri tidak boleh menggunakan alat-alat dan produk elektronik seperti mic, radio, televisi, dan semacamnya. Bahkan, santri juga dilarang kenal atau memiliki hubungan dengan pejabat pemerintah. Mereka masih dianggap sebagai antek penjajah.

Ketika KH Mansyur wafat pada 1953, kepemimpinan diteruskan putranya, H Rifai. Dia meneruskan sistem pendidikan yang diwariskan KH Mansyur. Dengan kekolotannya, plus letaknya yang berada di daerah terpencil, keberadaan Pondok Pesantren Al-Ittifaq pun terkucil dan terasing. Wajar jika kemudian perkembangan pesantren ini sangat lamban. Hingga H Rifai meninggal pada 1970, jumlah santri yang mondok di pesantren tak lebih dari 30-an orang.

Transformasi “Sayuriah”

 

Adalah KH Fuad Affandi yang kemudian melakukan perubahan. Dipercaya mengambil alih kepemimpinan pesantren di usia 22 tahun, jiwa muda Fuad Affandi tak sabar melihat pertumbuhan pesantrennya yang sangat lamban. Ia menginginkan segera ada perubahan dan kemajuan.

Meskipun masih mempertahankan sistem salaf, di bawah kepemimpinan KH Fuad Affandi, pesantren ini mulai mengenalkan sistem pendidikan modern dan pendidikan nonagama. Perubahan pun dimulai dari lingkungan terdekat dan potensi di sekitarnya. Kiai Fuad melihat, lingkungan di sekitar pesantren berada memiliki potensi besar untuk dikembangkan sebagai lahan agroindustri. Sementara, masyarakat setempat mayoritas masih terkungkung oleh kemiskinan. Kondisi inilah yang mendorong Kiai Fuad untuk memasukkan pendidikan Teknik dan keterampilan pertanian di pesantrennya.

Maka, sejak itu, di Pondok Pesantren Al Ittifaq tak hanya diajarkan ilmu-ilmu agama, namun juga pengetahuan umum, terutama di bidang pertanian. Sistem Pendidikan modern pun mulai dikembangkan. Maka, di pesantren ini kemudian berdiri lembaga pendidikan formal berbasis keagamaan, seperti Raudlatul Athfal (RA) Alif, Madrasah Ibtidaiyyah (MI) Alif, Madrasah Tsanawiyyah (MTs) Alif, dan Madrasah Aliyyah (MA) Alif. Pendidikan formal tersebut dimulai sejak 2003, dan jumlah santri pun berkembang pesat hingga menjadi lebih dari 1000 santri. Mereka datang dari berbagai daerah, seperti dari Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra, Kalimantan, dan Bali.

Berfokus pada pengembangan tanaman sayur-mayur, Kiai Fuad menyebut apa yang dilakukan pesantrennya sebagai “tarekat sayuriyah”. Sesuai dengan potensi daerah, para santri memang diajarkan berwirausaha berbasis agroindustri sayur mayur. Dengan “tarekat sayuriyah” ini, santri pun dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu santri yang berbayar dan yang gratisan. Nah, santri yang tidak membayar inilah yang diikutkan bekerja ke dalam program agroindustri. Hasil dari sektor pertanian ini kemudian untuk membiaya pendidikan pesantren.

Saat ini, Pondok Pesantren Al Ittifaq mengolah lahan seluas 14 hektare yang ditanami 25 macam sayur mayur. Di samping memproduksi sayur-mayur dari lahan sendiri, pesantren ini juga melibatkan para petani di sekitar pondok untuk memproduksi sayur-mayur, dan semua produknya dipasarkan oleh pesantren.

Produksi hasil pertanian pesantren ini rata-rata mencapai 3-4 ton per hari, dan secara rutin dikirimkan ke berbagai supermarket dan pasar modern di Bandung dan Jakarta. Kini, produk pertanian dari pesantren yang dulunya dikenal kolot ini sudah membanjiri pasar-pasar di wilayah Bandung dan Jakarta. Bahkan ada yang telah dikirim ke pasar ekspor. Para santrinya pun tak lagi kolot, tapi sudah menjadi bagian dari generasi milenial.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan