Nama Al-Ghazali selalu menjadi bahan perdebatan dalam dunia pemikiran Islam. Dikenal sebagai Hujjatul Islam, ia adalah salah satu tokoh terbesar yang pernah hidup dalam sejarah intelektual Islam.
Namun, meskipun diakui sebagai seorang pembaru, pemikirannya tetap mengundang kontroversi yang tak pernah surut. Bahkan, ia sering dituding sebagai biang kemunduran intelektualisme Islam.
Dalam hidupnya yang penuh pergulatan intelektual, Al-Ghazali berhasil membawa banyak pembaruan dalam dunia keagamaan, namun ia juga mengundang kritik tajam dari para filsuf dan intelektual Islam setelahnya.
Al-Ghazali lahir di kota Tus, Persia, pada 1058 M, dalam sebuah dunia yang sarat dengan pemikiran filsafat Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan disebarkan secara luas di dunia Islam.
Pemikiran-pemikiran besar seperti yang digagas oleh Aristotle, Plotinus, dan Al-Farabi, membawa Islam ke dalam interaksi dengan tradisi rasionalisme yang pada masa itu mulai berkembang pesat.
Al-Ghazali, meskipun mendapat pendidikan tinggi dalam ilmu kalam dan filsafat, memiliki pandangan berbeda terkait arah keilmuan ini. Ia berpendapat bahwa filsafat Yunani, yang banyak dianut oleh ilmuwan Muslim pada masanya, mulai mengambil jalur yang salah karena bertentangan dengan ajaran dasar Islam.
Namun, apakah langkah yang diambilnya sebagai bentuk pembaruan atau justru langkah mundur yang menghambat perkembangan pemikiran lebih lanjut?
Hal ini menjadi inti dari perdebatan sepanjang sejarah, bahkan hingga saat ini. Dalam bahasan kali ini, kita akan melihat kontribusi serta kontradiksi pemikiran Al-Ghazali, mengeksplorasi apakah dia benar-benar membawa Islam menuju kemajuan atau justru menjerumuskannya ke dalam kebekuan intelektual yang lama.
Saya ingin mengajak pembaca untuk lebih kritis melihat Al-Ghazali, dengan tidak hanya memandangnya sebagai tokoh yang berseberangan dengan filsafat, tetapi juga sebagai seorang pemikir yang punya nilai lebih dalam dunia spiritual.
Pembaru atau Konservator?
Al-Ghazali hidup di tengah persimpangan yang sangat kompleks dalam dunia pemikiran Islam. Pada masa itu, filsafat Yunani sangat dominan, terutama dalam dunia intelektual Islam. Para filsuf seperti Al-Farabi dan Ibn Sina, yang memadukan gagasan Aristotelian dengan pandangan agama, sedang berada di puncak kejayaan.
Namun, bagi Al-Ghazali, tradisi filsafat ini semakin menjauh dari esensi agama yang ia yakini. Ia merasa bahwa rasionalitas yang berkembang dalam filsafat Yunani menekan sisi spiritualitas dalam ajaran Islam.
Salah satu karya besar Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah (Kekacauan Para Filsuf), secara terang-terangan menyerang pandangan-pandangan para filsuf besar, terutama yang berkaitan dengan ajaran-ajaran tentang Tuhan dan kekekalan alam semesta. Al-Ghazali berpendapat bahwa pandangan-pandangan ini bertentangan dengan ajaran-ajaran pokok Islam, terutama tentang penciptaan alam semesta oleh Tuhan yang bersifat aktif, bukan sekadar mengikuti hukum alam.
Namun, saya berpikir bahwa serangannya terhadap filsafat lebih merupakan upaya untuk menyelamatkan Islam dari ancaman yang ia pandang sebagai penyimpangan intelektual. Al-Ghazali tidak menolak filsafat secara keseluruhan, tetapi ia lebih fokus pada bagian-bagian tertentu yang menurutnya bertentangan dengan wahyu.
Dalam Tahafut al-Falasifah, meskipun ia mengkritik beberapa pandangan filsuf besar, ia juga tetap mengakui pentingnya rasio dalam memahami agama, yang tercermin dalam kritiknya terhadap filsafat yang dianggap terlalu mengabaikan wahyu.
Di sisi lain, meskipun banyak yang menganggap Al-Ghazali sebagai seorang yang menghidupkan kembali esensi spiritualitas Islam, tidak sedikit yang merasa bahwa ia membatasi perkembangan intelektual yang ada pada masanya. Pembelaannya terhadap tasawuf dan mistisisme, yang pada saat itu mendapat banyak kecaman, membuat beberapa cendekiawan merasa bahwa ia lebih memilih jalan yang bersifat personal dan tidak rasional.
Karya monumental Ihya’ Ulumiddin yang ia tulis, menggambarkan sisi lain dari pemikirannya. Dalam Ihya’ Ulumiddin, Al-Ghazali menekankan pentingnya hubungan batin antara individu dengan Tuhan melalui praktik spiritual yang mendalam, yang ia anggap lebih tinggi daripada rasionalitas semata.
Namun, saya rasa, dalam hal ini, Al-Ghazali mencoba mempertemukan dimensi rasional dan spiritual. Meski banyak orang menuduhnya telah membawa Islam ke dalam kemunduran intelektual, saya berpendapat bahwa ia justru mencoba menciptakan keseimbangan antara keduanya.
Dalam pandangannya, agama bukan hanya tentang pengetahuan intelektual, tetapi juga tentang pencarian spiritual yang mendalam. Dan di sinilah saya melihat nilai penting dalam pemikirannya.
Kritik dan Tuduhan
Serangan terhadap pemikiran Al-Ghazali datang tak hanya dari para filsuf Barat atau mereka yang menentang agama, tetapi juga dari para pemikir Islam sesudahnya. Salah satu kritik yang paling keras datang dari Ibn Rushd, seorang filsuf besar yang dikenal dengan karya Tahafut al-Tahafut (Kekacauan-kekacauan Para Filsuf).
Ibn Rushd menyalahkan Al-Ghazali karena dianggap telah menghentikan perkembangan filsafat Islam, khususnya dalam hal rasionalisme dan logika. Ia berpendapat bahwa dalam Tahafut al-Falasifah, Al-Ghazali telah memberikan pukulan telak bagi filsafat dengan menuduh para filsuf sebagai penyebar kebohongan.
Di sini, kritik Ibn Rushd cukup relevan. Pemikiran Al-Ghazali memang sering kali lebih menekankan pada aspek mistis dan keagamaan yang lebih tertutup, dibandingkan dengan pengembangan rasional dan ilmiah yang bisa diperoleh dari filsafat.
Hal itu tampaknya berkontribusi pada menurunnya minat terhadap filsafat di dunia Islam setelah era Al-Ghazali, sesuatu yang tampak jelas dalam perkembangan intelektual berikutnya.
Namun, saya melihatnya dalam konteks yang lebih luas. Mungkin memang benar bahwa Al-Ghazali membatasi ruang untuk rasionalisme, tetapi ia juga mengingatkan kita bahwa tidak semua pengetahuan bisa dijelaskan dengan rasio semata.
Keberadaan Tuhan dan makna kehidupan sering kali melampaui batas-batas rasionalitas. Pemikirannya membuka kemungkinan bahwa ada dimensi dalam hidup yang hanya bisa dijelaskan melalui pengalaman batin dan hubungan langsung dengan yang Ilahi.
Kompleksitas Karya-karya Al-Ghazali
Al-Ghazali menulis lebih dari seratus karya sepanjang hidupnya, dengan banyak dari karya-karyanya yang penuh dengan kompleksitas dan kontroversi. Tahafut al-Falasifah, yang disambut dengan berbagai reaksi keras, adalah sebuah upaya untuk memperbaiki arah filsafat Islam agar tidak menyimpang dari ajaran Islam. Ihya’ Ulumiddin, di sisi lain, merupakan karya yang lebih mendalam, menelaah kehidupan batin dan cara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Namun, meskipun karya-karya ini sangat berpengaruh, mereka juga membawa banyak perdebatan. Beberapa kalangan melihat Ihya’ Ulumiddin sebagai kontribusi besar terhadap kehidupan spiritual umat Islam, sementara yang lain menganggapnya terlalu terfokus pada aspek mistis yang tidak cukup memberikan ruang bagi perkembangan intelektual yang lebih luas.
Satu hal yang pasti adalah bahwa Al-Ghazali mengajarkan bahwa kehidupan manusia tidak hanya soal pengetahuan yang didapatkan melalui logika, tetapi juga melalui pengalaman rohaniah. Ia percaya bahwa kedekatan dengan Tuhan hanya bisa dicapai dengan memahami dimensi batin yang lebih dalam.
Saya pribadi berpikir bahwa warisan intelektualnya adalah panggilan untuk melihat dunia dengan mata hati dan pikiran, mencari keseimbangan antara pengetahuan rasional dan pemahaman spiritual yang lebih dalam.
Jadi bisa kita lihat bahwa, di satu sisi, ia adalah seorang pemikir besar yang membawa pembaruan dalam dunia Islam, menggali dimensi spiritualitas yang dalam. Di sisi lain, kritik terhadapnya menunjukkan bahwa ia juga menjadi hambatan bagi perkembangan filsafat Islam yang lebih rasional.
Namun, saya percaya bahwa dalam kegamangan ini, Al-Ghazali mengajarkan kita sebuah pelajaran penting: bahwa pencarian akan kebenaran tidak hanya bisa dicapai dengan akal semata, tetapi juga dengan hati yang tulus.
Warisan Al-Ghazali harus dilihat dengan perspektif yang lebih luas, sebagai upaya untuk mencari keseimbangan antara rasionalitas dan pengalaman rohaniah. Dengan begitu, pemikirannya tetap relevan, tidak hanya dalam dunia Islam tetapi juga dalam konteks yang lebih universal.