Multikulturalisme Bukan Sekadar Kemajemukan

34 views

Sejarawan Asia Tenggara John Sydenham Furnivall pernah mengatakan, masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terdiri dari dua elemen atau lebih yang hidup sendiri-sendiri tanpa pembauran satu sama lain di dalam satu kesatuan politik (Furnivall, 2009). Ada kalanya benar, namun hemat Penulis, tidak hanya kesatuan politik melainkan juga berbagai variabel lainnya, mencakup sosial, budaya, dan hukum.

Tentu hal tersebut mengindikasikan situasi tidak baik-baik saja. Sebab, ancaman konflik dan ketimpangan acapkali menyelimuti masyakakat majemuk. Bagaimana tidak, keragaman yang berada di dalamnya jika tidak dibarengi dengan pengelolaan keragaman melalui prinsip kesedarajatan akan tetap saja berujung pada kekerasan dan konflik. Kekerasan, baik secara struktural maupun kultural, menjadi bayang-bayang yang menakutkan ketika dua kebudayaan atau lebih bersinggungan.

Advertisements

Dalam dimensi sejarah, melalui buku Sistem Sosial Indonesia karya Nasikun (2003), dijelaskan bahwa pada masa pemerintahan Hindia Belanda ketimpangan antara Jawa dan non-Jawa terlihat sangat kentara. Contohnya, pendidikan hanya diberikan pada ‘pribumi elite’ Jawa. Kaum pribumi dan non-Jawa disingkirkan dari upaya mencerdaskan.

Hal ini menghasilkan lahirnya pekerja-pekerja yang berdarah Jawa. Sedangkan darah non-Jawa kebanyakan menjadi pengusaha. Selain itu, konsentrasi terhadap ‘Jawa’ juga dapat ditarik sejak perpindahan pusat perdagangan yang dilakukan Hindia Belanda dari Maluku ke Jawa pada abad ke-18 Masehi. Maka dari itu, daerah luar Jawa diawasi secara tidak langsung oleh pemerintahan Hindia Belanda dan hal itu berpengaruh hingga sekarang.

Terlebih perlakuan pemerintah Kolonial yang berlainan dan pilih kasih antargolongan. Misalnya, kalangan Eropa, Timur Asing, dan pribumi, diperlakukan secara berbeda-beda. Lagi-lagi hal ini membawa pengaruh terhadap hubungan sosial di antara ketiganya walaupun bangsa Indonesia telah memeroleh kemerdekaan (Nasikun, 2003).

Saat bangsa Indonesia telah merdeka, jurang pemisah antarkalangan pun masih kentara. Hal itu dapat dirujuk pada perkataan Soekarno yang menegaskan bahwa Bangsa Indonesia adalah semua suku yang berada di wilayah bekas jajahan Hindia Belanda, entah keturunan dan berdarah apapun yang memiliki kesamaan watak, rasa persatuan, dan rasa senasib sepenanggungan akibat penjajahan. Sehingga yang dibangun kala itu bukan kesatuan yang sejati atas berbedanya ras, suku, bangsa, golongan, dan budaya namun satu kesatuan, kemerdekaan, dan perdamaian.

Halaman: 1 2 Show All

Tinggalkan Balasan