Saat tulisan ini dibuat, jumlah akun kontributor/penulis di web duniasantri.co telah menembus angka 2000. Persisnya 2005. Yang terlacak membuat akun ke-2000 adalah Tri Wicaksono. Mahasantri dari Mahad Aly Lirboyo ini melakukan registrasi pada 31 Maret 2024. Sementara, yang terakhir melakukan registrasi adalah Faila Sufah, santri Pondok Pesantren Tahfiz Al-Falah Mlagen, Rembang, Jawa Tengah. Akun ke-2005 ini dibuat pada 2 April 2024.
Meskipun belum semua mengirimkan tulisan, dan mungkin baru sebagian kecil saja yang karya tulisnya sudah dimuat di duniasantri.co, data tersebut boleh dibilang menunjukkan betapa tinggi animo santri untuk menulis, untuk menjadi penulis. Tentu saja fenomena ini sangat menggembirakan; semakin banyak santri yang menulis, yang menjadi penulis, akan menyehatkan diskursus sosial-keagamaan kita.
Namun, di balik itu, ada beberapa catatan kecil yang perlu dikemukakan di sini agar setidaknya bisa menjadi referensi dalam dunia kepenulisan kita. Pertama, belum semua, atau bahkan lebih banyak, pemilik akun yang belum pernah mengirimkan karya tulisnya. Ada banyak kemungkinan kenapa hal itu terjadi. Mungkin memang baru sebatas niat. Mungkin belum ada kesempatan. Mungkin juga belum tahu bagaimana memulai menulis.
Kedua, banyak yang baru mengirimkan satu tulisan, ketika tulisannya tidak dimuat, lalu berhenti menulis atau tak lagi mengirimkan tulisannya. Atau, setelah registrasi, bertanya ini-itu tentang bagaimana caranya mengirimkan tulisan atau karya tulis seperti apa yang dimuat di duniasantri.co yang jawabannya sebenarnya sudah tersedia di tutorial pengiriman tulisan.
Ketiga, dalam dua tahun terakhir, ada kecenderungan terjadi penurunan keragaman tema dan genre serta kualitas penulisan. Setidaknya, ini bisa dibaca dari data pemuatan tulisan. Dari 6.226 naskah yang masuk, hanya 3.447 atau hampir separonya yang dianggap kurang layak untuk dirilis.
Catatan-catatan kecil itu perlu menjadi perhatian bersama agar dunia kepenulisan dari kalangan santri tidak mengalami stagnasi, dan bisa terus berkembang dengan kualitas yang semakin menjanjikan. Yang perlu diingat, menulis, atau menjadi penulis, itu memang tak pernah mudah. Ia perlu banyak pengetahuan dan pengalaman, terutama pengalaman hidup, plus keterampilan, terutama keterampilan teknis dalam kepenulisan.
Belum lama ini, kebetulan saya menonton film lawas (2005), judulnya Shadows in the Sun. Dibintangi Harvey Keitel, film ini bercerita tentang penulis besar yang mengalami kemandekan kreativitas selama 20 tahun. Ia didatangi editor muda dengan misi memancing dan kalau perlu memaksa Paroki Weldon, si penulis besar itu, untuk kembali menulis. Yang terjadi justru pertengkaran dan perdebatan eksistensial di antara keduanya.
Tapi dari pertengkaran mereka kita tahu bahwa menulis, atau menjadi penulis, itu memang tidak mudah. Setidaknya, tidak semudah yang kita bayangkan. Diperlukan pengetahuan yang mendalam tentang banyak hal, pengalaman yang cukup tentang kehidupan, dan “kegilaan”. “Setiap penulis memerlukan kegilaannya sendiri,” itu ucapan Paroki Weldon, yang dengan apik diperankan Harvey Keitel, yang terkenal melalui film-film mafioso-gengster. Setidaknya, lingkup kegilaan yang ia maksud adalah keliaran pikiran dan imajinasi seorang penulis dalam merespons setiap detail kehidupan.
Kapan seseorang harus mulai mendapuk diri sebagai penulis? Weldon punya jawabannya: ketika kita tidak lagi bisa membayangkan melakukan hal lain —selain menulis. Dari penggambaran Weldon dalam film itu, kita tahu bahwa penulis sejatinya bukan profesi, melainkan panggilan hati. Maka, ketika hatimu memanggil, menulislah.
Apakah 2000 lebih pemilik akun kontributor/penulis duniasantri.co akan menjadi penulis karena panggilan hati, waktu yang akan menjawab.