“Aku Tidak Tahu”

1,021 kali dibaca

Informasi yang meluber di era teknologi seharusnya dijadikan introspeksi mengambil kesimpulan dari banyak sudut pandang. Namun yang terlihat malah upaya mempertontonkan sikap gegabah dan kebodohan dalam menilai sesuatu. Ilmu pengetahuan yang diserap tidak sempat diolah karena kemalasan berpikir. Lebih suka menghakimi daripada menganalisis sebuah masalah.

Taklid buta dan kefanatikan juga mendorong manusia untuk tidak melihat esensi perdebatan. Asalkan berbeda aliran atau kelompok tidak akan diterima informasinya, selain tuduhan hoaks dan sumpah serapah. Manusia melihat siapa yang bicara, bukan apa yang dibicarakan. Sehingga sering terjebak pada anomali kebenaran informasi. Mengingkari akal sehat dan hati nurani yang sudah terkontaminasi sikap fanatisme.

Advertisements

Kemalasan berpikir membedah sebuah informasi menjadikan manusia berkutat seputar percaya dan tidak percaya. Jika ada pernyataan sesuai dengan padangannya akan segera dipercayai, sebaliknya jika ada pernyataan yang tak sesuai dengan pandangannya tidak akan pernah dipercayai kebenarannya. Menyederhanakan kesimpulan tanpa usaha mencari keutuhan informasi yang menyebabkan konflik sering terjadi di tengah masyarakat. Apalagi gairah eksistensial manusia modern yang disaranai media sosial menjadikan manusia saling menyalahkan satu dengan yang lain.

Ketika ego dalam diri dipupuk, maka manusia akan membisa-bisakan diri untuk mengetahui segala hal. Merasa mampu menjawab semua pertanyaan dengan kesimpulan yang dangkal. Sering terjebak pada narasi paradoks yang membentuk karakter tidak mau kalah. Bahkan gengsi jika hanya mengucapkan, “aku tidak tahu” ketika dikasih sebuah pertanyaan. Mending jawaban ngawur asalkan kredibilitas manusia berpengetahuan tetap terjaga.

Manusia harus punya slot “tidak tahu” di antara slot percaya dan tidak percaya. Menyadari keterbatasan agar selalu semangat mencari kebenaran informasi. Menyusun metodologi yang runtut dalam mengambil keputusan. Menyaring informasi sebanyak-banyaknya agar menjadi manusia yang tidak gampang “dibodohi” informasi mentah dan gairah fanatisme.

Ketidaktahuan bukan berarti kebodohan. Justru dengan menyadari ketidaktahuan diri adalah proses menuju kedewasaan dalam mengolah informasi. Apalagi luasnya pengetahuan yang semuanya mustahil untuk ditampung kapasitas memori otak manusia. “Aku tidak tahu” adalah jawaban dari manusia yang luas informasi. Semakin pandai (banyak wawasan) seseorang, maka akan menyadari bahwa dirinya bodoh karena banyaknya pengetahuan yang tidak diketahuinya. Sedangkan orang yang mudah menjawab pertanyaan tanpa kapabilitas keilmuan dan rendah literasi merupakan sikap pamer kebodohan yang tidak disadari.

Imam Al-Ghazali membagi 4 golongan manusia yaitu, (1) Rojulun Yadri wa Yadri Annahu Yadri (Seseorang yang tahu dan dia tahu kalau dirinya tahu). Golongan ini adalah orang yang benar-benar tahu (berilmu) dan menyadari kapabilitas dirinya. Orang seperti ini yang seharusnya banyak menyampaikan pendapat mengenai sebuah perdebatan yang mengarah pada konflik.

Rojulun Yadri wa Laa Yadri Annahu Yadri (Seseorang yang tahu, tapi dia tidak tahu kalau dirinya tahu). Golongan yang sebenarnya ada banyak di sekitar kita. Cenderung diam padahal punya kapasistas untuk menjelaskan sebuah informasi yang akurat (mendekati kebenaran). Namun karena kerendahan hati tentang apa yang diketahuinya membuat orang yang malah tidak berilmu ramai menyimpulkan pengetahuan yang sumbing.

Rojulun Laa Yadri wa Yadri Annahu Laa Yadri (Seseorang yang tidak tahu, tapi dia tahu kalau dia tidak tahu). Golongan ini yang bisa disosialisasikan sebagai usaha mengurangi konflik sebab perbedaan pandangan. Kesadaran diri mengetahui dirinya tidak tahu bisa dijadikan motivasi seseorang untuk terus belajar. Jangan malu untuk bilang “aku tidak tahu” daripada memberikan jawaban yang menyesatkan sebab ketidaktahuannya.

Rojulun Laa Yadri wa Laa Yadri Annahu Laa Yadri (Seseorang yang tidak tahu, dan dia tidak tahu kalau dirinya tidak tahu). Terakhir adalah golongan yang paling buruk dari manusia. Merasa tahu akan semua hal, sedangkan ia tidak menyadari kebodohannya. Golongan ini merasa paling benar, paling paham, dan paling tahu semua hal. Susah diingatkan dan disadarkan atas ketidaktahuannya. Mereka akan selalu membantah sebab merasa tidak ada yang lebih berilmu selain dirinya.

Pembagian golongan tersebut adalah sindiran bagi manusia untuk lebih giat berpikir sebelum menjawab atau menyimpulkan sesuatu. Apalagi kemajuan teknologi dan informasi yang melimpah peredaran informasi cacat tanpa rujukan yang jelas. Melempar opini berdasarkan kebencian. Banyaknya informasi yang bisa diakses harus disikapi dengan bijak agar tidak terjebak pada kesimpulan ngawur. Apalagi pendapat-pendapat yang saling merasa benar akan menciptakan konflik sebab ketidakrelaan untuk bilang, “aku tidak tahu”.

Ketika banyak orang yang menyadari ketidaktahuan dirinya, minimal akan memberikan ruang (jeda) media informasi untuk introspeksi dan belajar menghimpun informasi dari sudut pandang yang lain. Media sosial tidak lagi penuh sesak dengan orang-orang yang merasa tahu padahal sebenarnya tidak tahu apa-apa. Menyimpulkan kejadian berdasarkan potongan informasi, opini dari grup media sosial yang segolongan, dan pendapat dari tokoh yang diidolai. Selebihnya dianggap salah.

Multi-Page

2 Replies to ““Aku Tidak Tahu””

Tinggalkan Balasan