Aku dan Pesantrenku (8): Merevolusi Kehidupan

966 kali dibaca

Setiap pesantren umumnya mempunyai cara tersendiri di dalam menanamkan nilai-nilai moral untuk para santrinya. Penanaman moral tersebut merupakan sebuah langkah konkret yang terus dilakukan oleh orang-orang pesantren supaya dengannya terlahir insan ideal yang dibanggakan.

Pesantren adalah lembaga pendidikan alternatif yang lebih menomorsatukan pembentukan karakter dan penguatan moral (tarbiyah) daripada sekadar mengedepankan kecerdasan intelektual (ta’lim) yang kerapkali tidak emansipatoris dan memanusiakan manusia, dengan mengesampingkan akhlak luhur (Ach. Dhafir Zuhri, 2018). Inilah yang membedakan pendidikan pesantren dengan di luar. Adalah akhlak menjadi inspirasi asasi pesantren.

Advertisements

Penulis sendiri adalah santri Pondok Pesantren Annuqayah, Sumenep, Madura. Di pesantren tersebut, saya belajar banyak hal mengenai signifikansinya akhlak. Mulai dari bangun tidur pagi hingga akan tidur kembali. Pendidikan akhlak bukan sekadar dipelajari secara teoretis di kelas dan terkesan monoton, tanpa perlu kontekstualisasi dalam kehidupan keseharian. Meski merasa terpaksa, penulis terus diajarkan bagaimana akhlak tersebut –meminjam istilah Prof KH Abd A’la– secara konsisten dapat dilabuhkan.

Secara tidak langsung, Pesantren Annuqayah telah merevolusi hidup penulis secara besar-besaran. Awalnya, penulis belum sepenuhnya mengetahui dan memahami secara komprehensif tentang akhlak, meskipun demikian akhlak telah menjadi hal pembiasaan dalam lingkungan keluarga penulis. Keluarga saya mendidik penulis selalu dengan akhlak. Sehingga, akhlak sudah menjadi bagian penting dari hidup penulis. Meskipun demikian, dalam istilah dalam suatu daerah, di tempat penulis dilahirkan, nama akhlak kemudian lebih dikenal dengan ilmu tengka.

Dalam pendidikan keluarga, termasuk juga pembudidayaan pendidikan, ilmu tengka sudah menjadi kultur. Sebagai konsekuensi logisnya, ilmu tengka tersebut harus selalu dirawat dan tidak boleh ditinggalkan. Dan, ketika ilmu tersebut dihilangkan, maka bagi masyarakat setempat seakan dunia menjadi kiamat.

Dalam prakteknya, ilmu tengka kebanyakan yang berlaku di masyarakat adalah mengajarkan sesuatu yang dinilai baik, meski secara teoretis praktik tersebut belum dijelaskan secara komprehensif oleh para ulama, baik dalam kitab turats maupun dijelaskan secara langsung. Seperti, tata cara meletakkan secangkir kopi ataupun teh kepada tamu. Itu semua ada etikanya. Bagaimana cara mengatur posisi secangkir kopi atau teh tersebut yang benar secara adat, itu harus benar-benar diperhatikan. Termasuk juga etika duduk di depan guru.

Di setiap daerah punya tradisi yang berbeda dalam hal menafsirkan sebuah penjelasan terkait duduk yang baik, yang etis, di depan guru. Ada yang memahami bahwa etika yang baik dan benar ketika duduk di depan guru atau kiai atau pengasuh sekalipun cukup diam tanpa suara, sementara posisi kaki bukan menjadi perhatian khusus. Sebagai sebuah contoh, ketika mengikuti pengajian kitab bersama guru, santri ikut dengan khidmat, tanpa memedulikan apakah kaki santri tersebut terkadang selonjoran, atau duduk santai dengan kaki diangkat. Semua itu banyak penulis temukan di berbagai daerah. Berbeda halnya dengan tradisi di daerah penulis, yang hemat saya cukup ketat, yaitu harus duduk bersila. Duduk santai, apalagi sampai selonjoran, adalah sebuah praktik kurang etis, karena itu harus dihindarkan.

Dari paparan itu, dengan demikian akhlak yang penulis pahami merupakan sebuah cara yang baik yang berlaku di masyarakat yang harus diikuti oleh masyarakat setempat. Sebab, pada dasarnya, tradisi tersebut adalah sebuah pengembangan tindak lanjut dari akhlak itu sendiri. Pengertian sempit penulis ini adalah hasil interpretasi penulis sendiri yang secara langsung telah terlibat dalam praktik ilmu tengka yang selama ini telah berlangsung cukup mapan di daerah penulis sendiri. Sementara penulis sendiri belum banyak mengerti esensial akhlak itu sendiri, karena belum pernah bersinggungan dengan kitab-kitab klasik yang umumnya dipelajari di pesantren. Karena itulah penulis kemudian merasa perlu angkat kaki, hijrah dari kampung halaman menuju tempat penuh berkah seperti pesantren ini.

Baru kemudian penulis sadar, betapa ilmu tengka tersebut bukan sekadar sebagai seremonial belaka yang tidak memiliki bukti-bukti teoretis maupun empiris, melainkan ilmu tengka yang berlaku di daerah-daerah, termasuk di tanah kelahiran penulis, adalah sebuah manifestasi dari pengamalan ilmu akhlak yang hal itu bersifat baik. Hal itu, karena masyarakat Indonesia terdiri dari beragam suku dan budaya yang beranekaragam, tentu saja memiliki karakter yang berbeda-beda pula. Pendekatan moral seperti yang dilakukan oleh para Wali Songo ketika itu yaitu disesuaikan dengan tradisi penduduk atau masyarakatnya, dengan melakukan pembumian Islam tanpa harus memberengus kearifan lokal yang sebelumnya telah ada. Karena itulah di masing-masing daerah memiliki tradisi yang berbeda, tetapi secara substantif memiliki misi yang sama, yaitu menuntun penduduk setempat pada kebaikan.

Di Annuqayah sendiri, yang saat ini memiliki jumlah santri kisaran 7-8 ribu-an itu, tradisi penanaman pendidikan moral yang dikembangkan adalah dengan meneruskan tradisi dakwah para Wali Songo. Mengingat bahwa para santri yang datang ke Annuqayah ini adalah dari latarbelakang daerah yang beranekaragam pula. Potensi ego pun tak bisa dibendung tatkala mereka tidak diwadahi dengan akhlak luhur ala pesantren yang lebih mengutamakan kualitas akhlak terpuji tersebut.

Cara yang paling penulis ingat ketika akan melakukan pembumian akhlak kepada para santri adalah dengan cara cinta. Karena akhlak adalah memuat serangkaian misi cinta, maka pendidikan yang diajarkan di Annuqayyah, Guluk-guluk, Sumenep, Madura ini adalah dengan membangun spiritualitas agama kepada para santri tanpa harus mempersoalkan persoalkan tradisi yang berbeda di masing-masing daerah. Bila penulis belum menjadi santri seperti di Pesantren Annuqayyah ini, kemungkinan penulis masih dalam tradisi kejahiliahan, karena belum pernah hidup berdampingan dengan orang-orang yang memiliki kultur atau budaya yang berbeda. Padahal, kata Sayyid Qutub, tatkala masih ada orang yang mempersoalkan warna kulit, sitem ras, dan keyakinan adalah bagian dari manusia jahiliah era kontemporer ini.

Dalam catatan Sayyid Qutb, ada enam langkah yang pernah dilakukan Rasulullah Saw di dalam melakukan pembaharuan masyarakat Madinah. Pertama, revolusi menentang berhala kemunafikan terhadap ras dan warna kulit. Kedua, revolusi menentang kefanatikan agama. Ketiga, revolusi menentang perbedaan kemasyarakatan dan sistem ras. Keempat, revolusi menentang keyakinan, penyelewengan, dan kesewenang-wenangan. Kelima, revolusi dalam menentang berhala perbudakan. Dan, keenam, revolusi dalam menentang berhala laki-laki (Ahmadin, 2020: 30).

Adapun ciri-ciri orang yang menurut Toshihiko Izutsu juga menjelaskan mendekati jahiliyah kontemporer, yaitu orang-orang yang suka mencari masalah. Sementara mencari masalah bertentangan dengan ajaran ideal agama Islam. Sementara dalam Islam memiliki ajaran luhur, yaitu sebagai terangkum dalam sifat al-Hilm (kasih sayang, santun, dan murah hati). Itulah sebabnya mengapa ajaran Islam banyak menyeru kepada kebajikan, keadilan, mengendalikan hawa nafsu, larangan berbuat sewenang-wenang, arogan, kasar, dan sombong.

Dengan demikian, perbedaan sistem ras ataupun budaya tidak menjadi soal di Pesantren Annuqayah ini. Dari situlah kemudian penulis semakin menyadari betapa mulianya Islam, telah mengajarkan kita tentang cinta dan mencintai melalui pendidikan idealnya berupa akhlak.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan