Akar Pemikiran Politik Islam Nusantara

2,549 kali dibaca

Bangkitnya semangat sektarian yang menggunakan simbol-simbol agama dan etnik dalam pertarungan politik  telah membawa bangsa Indonesia pada suasana politik yang mengarah pada terjadinya segregasi sosial. Jika hal ini berlanjut tanpa kendali akan bisa mengancam integritas kebangsaan dan rajutan keberagaman.

Dalam suasana seperti ini ada baiknya kita melihat dan mengkaji kembali praktik dan gerakan politik para ulama dan kiai Nusantara dalam upaya menanamkan dan mengajarkan Islam kepada masyarakat sebagai wujud dari politik Islam Nusantara. Ini penting dilakukan karena politik Islam Nusantara tidak saja berhasil menanamkan ajaran Islam secara damai dan manusiawi, tetapi juga berhasil merawat dan menjaga keberagaman yang ada di Nusantara hingga saat ini.

Advertisements

Politik Islam dalam Fiqh Siyasah

Untuk mehamai politik Islam Nusantara, perlu melihat konstruk pemikiran fikih dalam melihat dan merumuskan politik. Karena, perspektif fikih inilah yang paling banyak digunakan dalam praktik politik Islam Nusantara, selain tasawuf.

Dalam padangan fikih Islam, pilitik merupakan upaya mewujudkan kemaslahatan baik di dunia maupun akhirat.Seperti terlihat dalam pemikiran Imam al-Bujairimî yang  menyatakan bahwa politik adalah memperbaiki permasalahan rakyat dan mengatur mereka dengan cara memerintah untuk mereka karena ketaatan mereka terhadap pemerintahan.

Sedangkan, menurut Imam Ibn ‘Âbidîn, politik ialah kata lain dari upaya menciptakan kemaslahatan umat dengan cara —antara lain— menuntun mereka ke arah jalan yang menyelamatkan kehidupan di dunia dan akhirat  (Assiyasatu hiya ‘ibaratun ‘ala stishlahi l-ummati bi irsyadihim ila th-thoriqi l-munjiyyi dun-yan wa ukhro).

Pengertian yang normatif-idealistik ini perlu penjabaran secara praktis operasional ketika dijalankan dan diterapkan dalam kehidupan nyata. Ini terjadi karena kenyataan hidup tidak seideal dan sesederhana apa yang ada dalam kata dan terumuskan dalam teks. Secara faktual, kehidupan jauh lebih rumit dan pelik dari yang tercantum dalam teks. Berbagai kepentingan yang kontradiktif; mulai kepentingan idivisual sampai kelompok, kepentingan ekonomis sampai ideologis, muncul dalam dunia nyata melakukan kontestasi dan kompetisi untuk saling berebut dan mempertahankan kepentingan masing-masing dalam medan pertarungan yang oleh Bourdieau (1986) disebut sebagai ranah politik.

Dalam kondisi demikian, diperlukan kreativitas berpikir untuk menderivasikan dan menginterpetasikan teks-teks agama yang normatif-idealistik menjadi praktis-operasional dan fungsional. Selain itu, diperlukan keterampilan yang canggih agar visi-missi agama yang mulia itu dapat memenangkan pertarungan politik.

Dalam konteks ini, ajaran agama tidak bisa dipahami secara hitam putih, tekstual, dan simbolik. Selain membuat agama menjadi kering dan beku, pemahaman agama yang demikian justru akan membuat politik Islam mudah dikalahkan karena terlalu ideal dan abstrak sehingga manfaatnya kurang terasakan secara nyata oleh masyarakat.

Kesadaran seperti ini mewarnai pemikiran ulama Nusantara sejak era Wali Songo hingga saat ini, sehingga melahirkan sikap dan konstruksi pemikran politik yang kemudian kita kenal dengan politik Islam Nusantara

Genealogi Politik Islam Nusantara

Genealogi politik Islam Nusantara bersumber pada gerakan politik Wali Songo yang terus mengalami perkembangan hingga saat ini. Paling tidak, ada empat fase utama gerakan politik Islam Nusantara. Pertama fase Wali Songo. Pada fase ini, Wali Songo memulai gerakan politiknya dengan upaya mempengaruhi para penguasa Majapahit agar bisa menerima Islam. Usaha ini berhasil, sehingga pemerintah Majapahit membentuk lembaga Raja Pandita yang bertugas mengurusi agama Islam, setelah sebelumnya ada lembaga Dhamadyaksa Kasogatan untuk agama Budhha dan Dharmadysksa Kasaiwan untuk agama Hindu.

Meskipun, para Wali Songo berhasil membentuk kerajaan Demak, namun strategi politik kultural yang nonsimbolik-formal tetap digunakan. Hal ini terlihat pada model, format pemerintahan, dan teknis pengelolaannya yang tetap menggunakan unsur-unsur adat dan tradisi Jawa (Nusantara), sekalipun Demak adalah kerajaan Islam.

Gerakan politik nonsimbolik juga terlihat pada undang-undang negara Demak yang menggunakan kitab Salokantara, kitab undang-undang karya Raden Patah yang merupakan perpaduan antara hukum syariat Islam dengan kearifan lokal yang bersumber dari kitab hukum sebelumnya seperti Kalingga Dharmashastra, Utharamanawa, dan sebagainya yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Dengan strategi politik yang seperti ini, Islam berhasil diterima masyarakat Nusantara secara suka cita.

Fase kedua, era Kesultanan Nusantara dan Ulama Hijaz. Pada fase ini, politik Islam Nusantara mampu membentuk beberapa kesultanan Islam yang menyebar di seluruh pelosok Nusantara, mulai dari Kesultanan Raja Ampat di Papua, Ternate Tidore di ujung timur sampai kesultanan Aceh di ujung barat. Selama era penjajahan, politik Islam Nusantara berhasil memnpertahankan diri dari berbagai tekanan, sehingga Islam mampu bertahan di bumi Nusantara hingga saat ini, meski secara struktural-formal bentuk negaranya mengalami kehancuran.

Selain melahirkan beberapa kesultanan Islam, politik Islam pada fase ini juga melahirkan berbagai pemikiran keislaman seperti tercermin dalam kitab Anger-angger Suryo Ngalam yang merupakan konstitusi Kesultanan Mataram Islam, Serat Wedhatama karya Mangku Ngeoro IV, Serat Hidayat Jati karya Ronggowarsito, yang kesemuanya berisi tentang strategi politik untuk mewujudkan terlaksananya ajaran Islam di Bumi Nusantara meski dengan pendekatan yang lebih spiritual-sufistik. Juga Para ulama Nusantara seperti Syech Nawawi al-Bantani, Abdussamad al-Falembangi, Syceh Arsyah al-Banjari, Abdul Rauf Singkel, Katib al-Minangkabowi, dan sebagainya yang karya-karyanya masih dijadikan rujukan hingga saat ini.

Fase ke tiga dari gerakan politik Islam Nusantara tercermin dalam keterlibatan para ulama dan kiai Nusantara dalam gerakan kebangsaan sehingga terbentuknya NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 45.

Fase keempat gerakan politik Islam Nusantara diwujudkan dalam bentuk keterlibatan para kiai dan ulama dalam mempertahankan kemerdekaan, menjaga keutuhan NKRI dari rongrongan para pemberontak sampai penerimaan Pancasila sebagai azas tunggal dalam berbangsa dan bernegara.

Mengedepankan Maslahah dan Rahmah

Dari lintasan sejarah pergerakan politik para ulama dan kiai Nusantara itu, terlihat ada beberapa ciri utama yang bisa disebut sebagai politik Islam Nusantara, yaitu; pertama, politik Islam Nusantara lebih mengedepankan kemaslahatan daripada tuntutan legal-formal-simbolik. Hal inilah yang mebuat politik Islam Nusantara bisa fleksible dalam menerima unsur-unsur lokal yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam atau nenghalangi ummat Islam menjalankan syariatnya. Sikap ini merupakan realisasi dari tujuan penerapan syariat Islam, yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan ummah (maqasidus syar’i lil mashatil ummah). Sulit dibayangkan Pancasila bisa diterima sebagai dasar negara jika umat Islam yang mayoritas di negeri ini tidak mengedepankan sikap politik yang maslahah

Kedua, lebih mengedepankan pendekatan rahmah dari pada sikap konfrontatif-radikal yang bisa menyebabkan terjadinya konflik yang bisa menimbulkan kerusakan (mafsadah). Dengan pendekatan ini, politik Islam Nusantara bisa perajut perbedaan dan keberagaman sehingga mampu menahan potensi konflik yang terjadi di masyarakat. Indonesia akan menjadi sumber konflik agama jika umat Islam Nusantara yang memiliki derajad pluralitas tinggi ini tidak mengedepankan Islam rahmah.

Ketiga, politik Islam Nusantara menjadikan nash (Quran dan hadits) sebagai sumber inspirasi, panduan moral, dan rujukan yang kemudian ditafsirkan dan diderivasikan agar lebih operasional seperti terlihat dalam pemikiran para ulama tafsir, tasawuf, fikih, ushul fiqh, dan sebagainya. Pendeknya, politik Islam Nusantara menjadikan Quran dan hadits sebagai dasar dan menggunakan pemikiran ulama sebagai petunjuk praktis-oprasional dalam mengamalkan Quran dan haditas.

Hal ini tercermin dalam penggunaan kidah-kaidah ushul fiqh dalam merumuskan pandangan dan menentukan sikap politik. Seperti kaidah dar’ul mafasid muqaddam ala jalbil mashalih (mencegah kerusakan lebih di dahulukan daripada mencari kebaikan), penerapan konsep istihsan (mencari jalan dan cara terbaik), al-‘Adah Muhakkamah (adat bisa dijadikan sebagai sandaran hukum), al-dzarar la yuzalu bil dzarar (bahaya tidak boleh dihilangkan dengan cara yang akan menimbulkan bahaya lain), dan sebagainya.

Dengan cara ini, ajaran Islam yang ada dalam teks-teks suci menjadi lebih mudah diterapkan dan terus aktual sepanjang zaman karena memiliki relevansi dengan realitas tanpa kehilangan substansi yang terkandung di dalamnya. Dalam konteks Indonesia yang beragam, cara-cara seperti inilah yang menyebabkan Islam bisa menjadi kekuatan perajut atas perbedaan dan keberagaman sebagaimana yang telah dibuktikan oleh para ulama dan kiai Nusantara yang kemudian kita kenal dengan politik Islam Nusantara.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan