Agama Para Perampok dan Kaum Tertindas

691 kali dibaca

Menurut survei internasional, Indonesia merupakan negara dengan tingkat religius tertinggi di dunia. Persentase orang Indonesia yang percaya kepada Tuhan berada di atas negara lain di Timur Tengah, Afrika, Eropa, dan Amerika. Dengan begitu, eksistensi negara Indonesia mustahil terlepas dari peranan agama yang mempengaruhi sendi-sendi kehidupan bernegara, terutama agama Islam yang mempunyai peranan penting dalam kelahiran dan perkembangan bangsa Indonesia. Tanpa adanya agama Islam, boleh dikatakan, bangsa Indonesia mustahil memperoleh kemerdekaan. Semangat jihad yang digaungkan oleh para ulama, membakar semangat umat Islam dalam merebut kemerdekaan.

Akan tetapi, tingkat kesadaran beragama Islam secara rasional di Indonesia masih sangat rendah. Fakta menunjukkan bahwa umat Islam hanya beragama secara fanatik, ritualis, dan ikut-ikutan saja. Dalam arti, mereka yang tidak beragama secara rasional, dan karena itu sangat mudah tergiring oleh isu atau tren-tren yang sedang viral, tanpa mengkritisi peristiwa tersebut.

Advertisements

Hal itu menandakan kualitas umat Islam hanya sebatas “floating mass” atau umat yang mengambang, bukan kaum intelektual. Oleh karena itu, umat Islam sangat mudah sekali untuk dijadikan sebagai bahan eksploitasi dan alat perpecahan untuk kepentingan tertentu, asal mampu untuk mempengaruhi semangat keislamannya.

Saking butanya dalam beragama, umat Islam tidak mampu membedakan antara seorang ulama dengan motivator berjubah agama. Kesimpulan berpikir mereka adalah selama ada seseorang yang membicarakan tentang agama, pasti ialah seorang ustaz ataupun ulama. Fenomena inilah yang kemudian ditangkap oleh para eksploitator sebagai kesempatan untuk menaikkan popularitas, legitimasi, atau sekadar mencari keuntungan yang bersifat duniawi. Dan hal itu tidak mampu ditangkap oleh umat Islam dengan anggapan sangat tidak sopan melawan argumen para pemimpin agama. Lagi-lagi, umat Islam terpenjara oleh akal feodalisme yang dikembang-biakkan oleh para eksploitator yang mengambil kesempatan tersebut.

Terdapat ciri-ciri dan cara yang melekat pada para eksploitator agama. Penulis sebut eksploitator dikarenakan mereka bukanlah ulama dalam arti sesungguhnya, akan tetapi seseorang yang ingin mengeksploitasi umat dengan menggunakan agama Islam sebagai alatnya. Salah satunya adalah dengan meminta umat untuk bersedekah buat dirinya dengan berdalih Allah Sang Maha Pemberi Rezeki. Mereka memintal dalil-dalil agama untuk kepentingan dirinya sendiri. Kehidupan mereka juga tergolong kehidupan yang sangat mewah, sangat berbanding terbalik dengan para jemaahnya yang tergolong ekonomi kelas bawah.

Ceramah-ceramah yang disampaikan oleh para eksploitator, sesungguhnya hanya retorika kosong yang tidak ada substansinya bagi kemajuan peradaban umat Islam. Mereka sangat pandai beretorika dengan bahasa yang terkesan santun dan mudah diterima oleh masyarakat luas. Namun, jika diperhatikan lebih dalam lagi, pembahasan mereka bukanlah pembahasan intelektual, melainkan pembahasan-pembahasan yang lucu lagi ringan. Bukannya mencerdaskan umat, mereka malah menjerumuskan umat kepada lubang kebodohan. Dan ironisnya, pengikut mereka sangatlah banyak dari berbagai daerah di Indonesia. Hal itulah yang menyebabkan kualitas umat Islam hanya sebatas “floating mass“, bukan kaum intelektual.

Sadar ataupun tidak sadar, para eksploitator tidak hanya bergerak di dunia ceramah, mereka juga merambah ke dunia maya. Konten yang mereka tawarkan adalah dengan mengunyah-ngunyah pembahasan yang harusnya telah selesai empat belas abad lalu. Tak hanya itu, konten-konten yang ditawarkan justru malah terkesan memecah persatuan umat Islam.

Dari sekian selebgram berbalut agama yang penulis amati, mereka mempunyai kesamaan yaitu, kesalahan logika berpikir. Logika mereka tidak mampu menjadikan suatu dalil untuk menghukumi suatu permasalahan, sehingga fatwa yang mereka buat sangat tidak masuk akal.

Hal itu juga terlepas dari mereka tidak memahami ilmu alat yang digunakan untuk menerjemahkan dan memahami sebuah teks. Yang lebih berbahaya, ketika konten mereka yang menggambarkan Islam hanya sebagai agama penuh dengan ancaman dan siksaan. Hal demikianlah yang membuat umat menganut agama Islam karena takut akan ancaman dan siksaan, bukan lagi karena Islam sebagai agama yang benar.

Salah satu instrumen yang paling mudah dijual oleh para eksploitator adalah para penghafal Al-Qur’an. Bentuknya bermacam-macam. Ada yang meminta sumbangan untuk para penghafal Al-Qur’an ataupun wakaf bangunan yang digunakan oleh para penghafal Al-Qur’an. Satu slogan yang mereka janjikan kepada umat yang hendak menyumbangkan hartanya yaitu, berkah. Padahal konsep berkah tidak demikian. Menyumbangkan harta kepada mereka hanya menyuburkan akumulasi kekayaan mereka yang nantinya akan melahirkan generasi penghafal Al-Qur’an cacat kompetensi. Hanya mampu menghafal, akan tetapi tidak mampu, bahkan tidak tahu, aktualisasi dari apa yang dihafalkannya.

Dengan bermodalkan jubah dan sorban, seorang eksploitator dapat dengan mudah mengelabui korbannya. Secara logika, tidak mungkin seorang pencuri mengaku bahwa dirinya seorang pencuri, begitu juga dengan para eksploitator yang menjelma dalam pakaian suci. Wallahu a’lam bi as-Showwab.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan