Ada Pelangi di Antara Kita

1,812 kali dibaca

Pelangi memang fenomena alam. Tapi dalam pengertiannya yang lain, pelangi juga menjadi fenomena sosial. Bahkan, sebagai fenomena sosial, usianya mungkin sudah setua sejarah masyarakat manusia. Namun, kita lebih sering menganggapnya tak ada, atau berharap tak ada, atau ingin menyingkirkannya, dan selalu membencinya jika ia tetap ada di antara kita.

Baru-baru ini, pelangi sebagai simbol fenomena sosial muncul di tengah hiruk-pikuk penyelenggaraan Piala Dunia 2022 di Qatar yang berlangsung sejak 20 November hingga 18 Desember 2022. Misalnya, sejumlah tim minta diizinkan mengenakan ban kapten berwarna pelangi. Bahkan, banyak suporter dari sejumlah negara mengibar-ngibarkan bendera pelangi di arena Piala Dunia hingga ada yang berani memasuki lapangan pertandingan.

Advertisements

Rupanya, Piala Dunia Qatar oleh sebagian tim dan suporter dijadikan ajang untuk mengkampanyekan kebebasan berekspresi dan kesetaraan pengakuan dan hak, dalam hal ini adalah kesetaraan pengakuan dan hak dari kelompok masyarakat lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Dan kita tahu, sejak diciptakan oleh seniman dan aktivis gay Amerika Serikat Gilbert Baker pada 1970-an, warna dan bendera pelangi telah menjadi simbol LGBT. Maka, pengibaran bendera pelangi itu dimaksudkan sebagai dukungan agar kelompok masyarakat LGBT ini memperoleh kesetaraan pengakuan dan hak yang sama dengan kelompok masyarakat pada umumnya.

Sayangnya, sebagai negara muslim, Qatar sebagai tuan rumah melarang penggunaan simbol-simbol LGBT di wilayahnya, termasuk di spot-spot Piala Dunia. Sehingga, FIFA pun melarang hal yang sama. Itulah kenapa tim Jerman melakukan aksi tutup mulut sebelum memulai pertandingan melawan Jepang sebagai tanda protes atas pelarangan tersebut. Bahkan, ada yang menyebut Qatar sebagai negara homofobia.

Pengibaran simbol-simbol LGBT dan penentangannya di sela-sela kemeriahan Piala Dunia Qatar itu menggambarkan adanya kontroversi, pro-kontra, akan fenomena “keragaman” orientasi seksual yang sebenarnya terjadi nyaris sepanjang sejarah masyarakat manusia. Sesungguhnya LGBT ini bukan fenomena baru. Ceritanya sudah sering kita dengar sejak berabad-abad yang lalu. Bahkan, Al-Qur’an mengabadikan fenomena ini, yang terjadi pada kaum Nabi Luth, yang diperkirakan hidup 4000 atau 6000 tahun Sebelum Masehi. Bahkan, dalam Kitab Tarikh al-Khulafa karya Imam Suyuthi seperti yang pernah dikutip Nadirsyah Hosen alias Gus Nadir, disebutkan setidaknya ada tiga khalifah dalam sejarah kekhalifahan Islam yang memiliki orientasi seksual gay.

Fenomena orientasi seksual yang berbeda itu, yang dulu pernah distigma sebagai penyimpangan seksual, adalah nyata ada, faktual, dan bisa ditemukan di zaman apa pun, di masyarakat mana pun. Bahkan, pada masyarakat Indonesia yang sangat beragam ini, fenomena yang sama muncul sebagai bagian dari kehidupan komunal, diakui atau sebaliknya.

Dalam tradisi kesenian rakyat reog di Ponorogo, Jawa Timur, misalnya, istilah gemblak menunjukkan gejala tersebut. Gemblak selalu dipersonifikasi sebagai remaja yang rupawan, sedangkan warok sebagai kestaria yang kekesatriaannya akan bergantung pada relasinya dengan sang gemblak. Relasi antara gemblak dengan warok dalam reog menggambarkan adanya hubungan intim (seks) sesama jenis. Bahkan, dalam derajat tertentu, di dalamnya terdapat relasi transaksional antara warok dengan gemblak. Tradisi ini juga sudah berlangsung selama berabad-abad dan masih seperti itu hingga kini.

Fenomena yang mirip juga ada pada ludruk, kesenian rakyat dari Jawa Timur. Pada mulanya, pemeran perempuan di panggung-panggung ludruk diperankan oleh lelaki, sehingga lelaki tulen ini bisa tampil kemayu, keperempuan-perempuanan. Belakangan, ada masanya, pemeran perempuan itu digantikan oleh waria, lelaki yang sehari-hari memang “mempersonifikasi” dirinya sebagai perempuan. Maka, pada panggung-panggung ludruk kita mengenal ada istilah wedokan. Seperti pada gemblak, pada derajat tertentu wedokan juga memiliki relasi intim (seks) dengan sesama jenis.

Di dunia pesantren pun sudah lama kita mengenal istilah mairil. Istilah ini merujuk pada adanya relasi intim (seks) sesama jenis di kalangan santri, terutama di kalangan santri pria. Dan, aktivitas seks sesama jenis ini disebut sempet. Mungkin saja mairil di lingkungan pesantren hanya merupakan fenomena minor, tapi tetap saja hal itu membuktikan bahwa di sana pun ada pelangi.

Pada masyarakat Bugis juga ada tradisi yang bahkan jauh lebih tua, sudah berlangsung berabad-abad, yang memposisikan Bissu, lelaki yang dipersonifikasi nirgender, nirseks, sebagai pemimpin dan panutan. Dalam kepercayaan tradisional Tolotang yang dianut oleh komunitas Amparita Sidrap, rupanya manusia tak hanya dikelompokkan ke dalam dua jenis kelamin, lelaki dan perempuan, melainkan empat gender, yaitu Oroane (laki-laki), Makunrai (perempuan), Calalai (perempuan yang berpenampilan seperti layaknya laki-laki), dan Calabai (laki-laki yang berpenampilan seperti layaknya perempuan).

Adapun, Bissu, adalah orang yang mampu melampaui batasan-batasan genger tersebut. Meskipun, secara biologis adalah lelaki dan secara psikologis perempuan, Bissu dianggap sebagai sosok yang telah melampaui pengkotakan gender sebagai Oroane, Makunrai, Calalai, dan Calabai. Karena itu Bissu dianggap sebagai manusia paripurna dan diposisikan sebagai orang suci, pemimpin, dan panutan masyarakatnya.

Sayangnya, fenomena-fenomena yang nyata ada, faktual, dan telah menjadi fenomena sosial dalam kehidupan sebagian kelompok masyarakat tersebut memang tidak diakomodasi dan tidak diakui oleh kitab-kitab suci agama-agama besar, norma-norma umum masyarakat luas, dan hukum positif di mayoritas negara. Kitab suci Al-Qur’an, misalnya, hanya menyebut dan mengatur dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan. Kemungkinan adanya gender atau jenis kelamin ketiga ditutup rapat-rapat. Padahal, secara biologis hal itu mungkin. Terbukti, ada saja bayi yang terlahir dengan kelamin ganda, memiliki penis dan vagina sekaligus, yang disebut hermafrodit atau interseks, yang tak bisa serta merta dikelompokkan ke dalam gender perempuan atau laki-laki.

Sampai hari ini, dunia hanya tahu sebab-sebabnya kenapa seseorang memiliki kelamin ganda, kenapa seseorang memiliki orientasi seksual yang berbeda, kenapa seorang lelaki berpenampilan perempuan dan sebaliknya, kenapa seseorang menyukai sesama jenis, atau kenapa seseorang menyukai dua jenis yang berbeda sekaligus. Tapi dunia juga dibuat frustrasi untuk mencari solusi terhadap apa yang ditolaknya itu, dan karena itu masih akan terus mewarnai kehidupan manusia “normal”.

Dunia, melalui agama-agama, norma-norma sosial, dan hukum-hukum positif hanya bisa menghukumi dan menghakimi terhadap keberadaan mereka. Dan mereka, seperti apa yang ditunjukkan di tengah keramaian Piala Dunia Qatar itu, akan terus menolak penghukuman dan penghakiman itu. Mereka akan mencoba untuk terus eksis. Dan dalam negara modern yang demokratis, hal itu merupakan bagian dari apa yang disebut perjuangan politik identitas berbasis gender atau orientasi seksual. Hasilnya, sampai hari ini, setidaknya ada 32 negara yang akhirnya melegalkan pernikahan sejenis, kebanyakan dari kawasan Eropa dan Amerika Latin. Ini menunjukkan bahwa hukum agama, norma-norma normatif, dan hukum positif ternyata tak mampu membendung atau menghilangkan fenomena tersebut.

Karena itu, kelompok masyarakat yang bersimbol pelangi itu, mau tak mau, suka tak suka, akan tetap menjadi bagian dari kehidupan kita. Bahkan, sangat mungkin, tanpa kita sadari ada pelangi itu di rumah kita sendiri, yang justru kita ajari nyanyi lagu Pelangi-pelangi karya AT Mahmud, atau yang kita ajak nyanyi bersama lagu Jamrud Pelangi di Matamu. Persoalannya tinggal bagaimana kita menyikapinya. Melalui tradisi, masyarakat kita pernah menyediakan “ruang-ruang komunal” bagi mereka, seperti fenomena gemblak dalam reog, wedokan dalam ludruk, atau bissu dalam komunitas Amparita Sidrap. Dan kita bisa belajar darinya bagaimana harus bersikap.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan