Abah Nasih, Kiai Muda yang Menginspirasi Pemuda

1,789 kali dibaca

 

Sudah hampir setahun, saya rutin pergi ke Rembang, bersama Abah Nasih, bapak ideologis, guru, sekaligus om bagi saya. Abah Nasih adalah panggilan akrab dari Dr Mohammad Nasih al-Hafidz, pendiri Pondok Pesantren dan Sekolah Alam Nurul Furqon atau yang lebih dikenal dengan Planet Nufo yang terletak di Desa Mlagen, Pamotan, Rembang, Jawa Tengah.

Kami pergi ke Rembang hampir dua kali dalam seminggu, setiap hari Senin dan Jumat. Terkadang berangkat pagi hari, terkadang juga siang hari. Menginap semalam dan esok siangnya sudah pulang ke Semarang.

Advertisements

Dahulu, ketika saya belum bisa menyetir mobil, Abah-lah yang menyetir mobilnya sendiri, pulang dan pergi. Kini, saat saya sudah bisa menyetir mobil, kami bergantian pegang kemudi. Kadangkala saya yang berangkat dan Abah yang pulang, begitupun sebaliknya. Tak terhitung berapa kali kami melakukan perjalanan, juga pelajaran yang didapat. Karena setiap perjalanan selalu memberikan pelajarannya masing-masing.

Kami melakukan perjalanan ke Rembang dengan mengendarai sebuah mobil perang, begitu Abah Nasih menyebut mobilnya. Memang, mobilnya hanyalah mobil keluarga seperti mobil yang lainnya, akan tetapi fungsinya seperti mobil yang digunakan untuk berjihad.

Bayangkan, mobil mana di dunia ini yang sanggup membawa kandang ayam beserta ayamnya, membawa kambing beserta glung-nya, membawa maggot beserta medianya, dan masih banyak yang lainnya.

Ya, Abah Nasih lebih mementingkan fungsi dari sebuah kendaraan. Tidak seperti orang kebanyakan yang lebih mementingkan penampilan dan kenyamanan kendaraannya. Itulah, salah satu kesederhanaan Abah Nasih yang selalu diterapkan dan diajarkan kepada anak-anak ideologisnya.

Soal memanfaatkan waktu, Abah selalu berusaha memanfaatkan waktu dengan efektif dan efisien. Jika menyetir saja, itu hanya memanfaatkan waktu dengan efisien, tetapi tidak efektif. Maka tiap kali kami melakukan perjalanan, kami “ber-multitasking” atau melakukan beberapa hal dalam satu waktu.

Selama waktu perjalanan, misalnya, kami manfaatkan untuk simaan secara bergantian dan membetulkan hapalan yang banyak kesalahannya atau berdiskusi tentang hal-hal besar dan hal-hal yang menyangkut masa depan. Semua diimajinasikan.

Abah pernah berkata kepada saya, “Imanijasi adalah doa. Kita yang mengusahakannya. Biar Tuhan yang merealisasikannya.”

Dengan begitu, kami memanfaatkan waktu dengan efektif juga efisien. Bagi kebanyakan penghapal Qur’an, simaan sembari menyetir adalah suatu hal yang menganehkan, tapi bagi kami, hal itu merupakan kebutuhan. “Kita yang simaan aja masih banyak salah kok, apalagi yang tidak simaan,” katanya.

Suatu ketika, setelah melaksanakan salat Ashar berjemaah, Abah Nasih pernah berpesan kepada anak-anak ideologisnya di Planet Nufo. Beliau berkata demikian:

“Santri-Santri Planet Nufo jangan hanya menjadi santri biasa saja. Jikalau hanya menjadi santri yang kerjaannya cuma mengaji, lalu apa bedanya dengan santri-santri di luar sana dan apa gunanya saya mendirikan Planet Nufo. Oleh karena itu, kalian harus menjadi santri yang berbeda sekaligus juga yang tebaik. Jika santri kebanyakan hanya diajarkan untuk mengaji saja, maka santri Planet Nufo harus berbeda. Makanya, kalian, di sini, diajarkan berwirausaha agar terbiasa dengan yang namanya bekerja, sehingga kalian menjadi bisa menjadi santri yang kaya raya.”

Selama saya mengikuti Abah Nasih, baik itu ke Rembang, maupun ke acara undangan, Abah selalu menekankan kepada siapa pun yang ditemuinya akan pentingnya menjadi orang kaya. Akan tetapi, bukan orang kaya yang hanya menghambur-hamburkan hartanya dan menenggelamkan dirinya pada kemewahan.

Orang kaya yang Abah maksud ialah yang selalu menggunakan hartanya sebagai modal perjuangan (Dan berjihadlah kalian dengan harta-harta kalian dan jiwa-jiwa kalian). Terlebih lagi bagi dai seperti Abah Nasih, kemandirian finansial merupakan salah satu syarat agar bisa menjadi dai yang berdikari. Hal ini dikarenakan oleh suatu fenomena sosial yang terjadi – terkhusus di kalangan para kiai, dai, mubaligh, ustaz, dan elite agama lainnya – yang mayoritas di antara mereka senang sekali memanfaatkan pengaruhnya sebagai ladang untuk mengumpulkan kekayaan. Hal tersebutlah yang dikecam oleh Al-Qur’an dengan sebutan orang-orang yang menjual agama.

Ketika diundang menjadi pembicara ataupun penceramah, Abah Nasih tidak pernah meminta sepeser pun imbalan kepada pihak yang mengadakan acara. Apabila diberi amplop, Abah Nasih menerimanya, kemudian mengembalikan kepada yang memberikannya tadi. Yang Abah Nasih inginkan bukanlah amplop umat, tapi doa umat agar “mendapatkan” uang dua triliun sebagai modal untuk merebut kekuasaan. Sebab, instrumen yang paling efektif untuk menolong banyak orang ialah menggunakan kekuasaan, dan untuk merebut kekuasaan diperlukan banyak uang.

Tak hanya uang, untuk merebut kekuasaan juga dibutuhkan ilmu. Akan tetapi, realita pendidikan yang diajarkan oleh pendidik pada umumnya, hanya sebatas mengisi bejana, bukan mengobarkan api seperti apa yang dikatakan oleh Socrates. Itulah paradigma pendidikan yang diterapkan oleh Abah Nasih kepada para santrinya di Monash institute dan Planet Nufo.

Paradigma tersebut sangat berbeda jauh dengan paradigma pendidikan yang ada di pesantren pada umumnya. Jikalau santri pada umunya hanya menjadi objek pendidikan – korban ceramah – dari para kiai, Abah Nasih selalu memerintahkan para santrinya untuk bertanya, sehingga posisi santri bukan hanya menjadi objek, akan tetapi menjadi pelaku pendidikan tadi.

Adapun, bertanya merupakan salah satu tanda bahwa seorang santri itu berpikir. Dengan begitu, santri terbiasa berpikir dan diharapkan menjadi seseorang yang kritis terhadap permasalahan umat dan bangsa, bukan yang tunduk-tunduk saja pada kiai dan penguasa.

Orang jenius ialah orang yang selalu dibuntuti oleh rasa penasaran yang tinggi, begitu kata Einstein. Dalam hal belajar, Abah Nasih tidak pernah libur. Api semangat untuk selalu mencari sesuatu yang baru berkobar besar di dalam jiwanya. Api itu lah yang membuatnya ingin selalu melahap segala ilmu pengetahuan. Api itu pula yang ia ingin jalarkan kepada anak didiknya.

Dengan begitu, lahirlah kualitas ulama yang juga ilmuwan ataupun ilmuwan sekaligus ulama dari para santrinya. Sebab, saat ini, ulama hanya pandai beretorika saja, akan tetapi tak mampu untuk menemukan sesuatu yang baru dan bermanfaat bagi umat. itulah yang menyebabkan umat ini mengalami ketertinggalan selama lima abad lamanya. Maka tak salah ketika Muhammad Iqbal  mengatakan bahwa umat ini telah berhenti berpikir sejak lima ratus tahun lalu.

Demikianlah beberapan pelajaran yang saya dapatkan dari sosok Abah Nasih selama menemani beliau dalam perjalanan. Sebenarnya, masih banyak ide dan gagasan beliau yang akan saya tulis di lain kesempatan. Selalu ada pelajaran dalam setiap perjalanan bagi orang-orang yang merenungkan-Nya. Sekian.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan