2TH DUNIASANTRI (4): RUMAH BERGURU LITERASI

762 kali dibaca

Meskipun sudah dua tahun berdiri, bamun bagi saya duniasantri bagaikan tamu yang masih ranum terdengar. Mengingat, perkenalan saya dengan duniasantri masih belia, berkisar tiga bulan, terhitung sejak 1 Juni 2021.

Perkenalan saya dengan duniasantri berawal dari salah satu anggota Group KKK (KancaKonaKopi), yang men-share pamfletnya. Dari situlah saya coba baca dan lihat-lihat, ternyata saya langsung kepincut untuk mendaftarnya.

Advertisements

Maka dalam hitungan detik saya mencoba masuk situs web duniasantri.co. Alhamdulillah, pada saat itu jaringan selular normal atau sinyalnya full. Di saat itu terbersit dalam benak “Ini sebuah nikmat besar.”

Maka, tanpa basa-basi, tanpa berpikir panjang, saya langsung eksekusi untuk meregister. Alhamdulillah, pada 1 Juni 2021, pendaftaran diterima oleh pihak redaktur. Akhirnya datang  sebuah balasan melalui Gmail saya, bahwa pendaftaran Anda berhasil dan harus melakukan aktivasi. Lalu saya mengklik link aktivasi.

Alhamdulillah, tidak menunggu lama, pendaftaran berhasil dan akhirnya saya dimasukkan dalam grup WA “Gerakan Santri Menulis.” Saat itu anggotanya terdiri dari 199 orang, dari berbagai kota, seperti Malang, Surabaya, Banyuwangi, Bangkalan, Sumenep, hingga kota pendidikan Yogyakarta dan lain-lain.  Dengan diakuinya sebagai warga santri di web duniasantri, maka hati selalu mengucapkan  “selamat datang duniasantri.” Kedatanganmu sebagai temanku dalam berbagi cerita bahkan berbagi ilmu.

Ternyata setelah menyelami di web duniasantri.co, banyak ilmu yang didapat, mulai dari mengenal budaya- budaya daerah lain, hingga mengenal tokoh-tokoh agama (guru, kiai, hingga pesantren di berbagai daerah mulai Sabang sampai Merauke) yang selama ini masih belum terjamah dengan Google.

Dengan demikian, saya makin bersyukur kepada Allah, maka di sinilah saya mennyatakan bahwa duniasantri tidak hanya jejaring abal-abal, akan tetapi  sebagai “guru dalam berliterasi”.

“Sebenarnya menulis itu sulit.” Ungkapan ini yang selalu muncul di benak pikiran saya. Mengakarnya kata-kata itu membuat pikiran malas, tidak ada ghirah dan akhirnya mumet untuk menuangkan ide dalam bentuk tulisan.

Namun tidak selang berapa lama, akhirnya saya menemukan sebuah tulisan ringan melalui pena Igbal Shukri,  “Untuk menjadi seorang penulis tentu membutuhkan suatu tahapan atau proses yang harus dilalui. Hingga kemudian dari proses tersebut akan menghasilkan sesuatu yang bisa kamu nikmati dan dinikmati orang lain.”

Pernyataan Iqbal itu tidak sia-sia. Sebab itulah saya tidak patah arang, bahkan selalu terngiang-ngiang di telinga. Akhirnya saya bisa memutuskan untuk mencoba mengirim tulisan ke web duniasantri.coi. Mencobalah saya menuangkan sebuah tulisan pada tanggal 3 Juni 2021, namun untuk menyelesaikan tulisan memakan waktu puluhan jam. Maklum bagi pemula apa saja itu sulit untuk dihadapi.

Maka saya pun berusaha dengan penuh semangat, sehingga tulisan pertama pun selesai, lalu dikirim dengan judul “Mengenang Sosok Sufi Sumenep [Thayyib Bin Syamiuddin]”. Alhamdulillah, tulisan sukses terkirim. Sebenarnya waktu pengiriman tulisan pertama, jujur, jantung saya mulai berdebar-debar seakan-akan tanpa henti.

Kring-kring bunyi HP, hati mulai berdebar lagi. Saya cek, ternyata ada balasan dari admin duniasantri dalam WhatApp. “Minta tolong tulisannya dilengkapi.” Dengan demikian, pikiran bertanya lagi, apakah ini pertanda tulisanku akan dimuat?

Tanpa waktu lama, saya langsung mengeksekusi tulisan yang seharusnya diperbaiki. Sebenarnya berurusan dengan pengeditan sebuah tulisan, bagi pemula memakan waktu yang lama. Maklum, siapa pun dia, apa pun tulisannya, kalau masih tingkat pemula pasti mengalami hal yang sama. Namun, setelah selesai pengeditan, lalu saya login kembali  di web duniasantri.co.  Lalu mengirim artikel yang sudah siap.

Alhamdulillah, pada sekitar jam 9 pagi, tulisan pada rubrik tokoh, dengan judul “Kiai Alimuddin, Sosok Zuhud dari Sumenep” (6/07/2021), terbit. Terbitnya tulisan tersebut bukan karena kelihaian saya dalam menulis, akan tetapi karena semangat yang pantang menyerah.

Dengan demikian, saya teringat dengan perkataan guru Bahasa Indonesia waktu sekolah di MAK. “Man kaana awwaluhu maksah fa akhiruhu biisah, waa man kaana awwaluhu sengkah fa akhiruhu tak bisah.” Artinya, barang siapa yang awalnya memaksa, maka akhirnya akan bisa, dan barang siapa yang awalnya malas, maka akhirnya tidak akan bisa. Maka adagium tersebut yang membuat saya semangat.

Oleh karena itu, dari berbagai proses mulai dari pengiriman, pengeditan, hingga diterbitkan, merupakan penempaan yang harus dijalani dengan antusiasme. Maka tidak ayal jika saya katakan, bahwa duniasantri adalah “guru dalam berliterasi.”

Saya ucapkan selamat ulang tahun yang kedua, web yang berbasis santri. Semoga duniasantri tetap aktif selamanya. Dan bagi seluruh tim atau redaktur duniasantri, semoga tetap diberikan kesehatan. Semoga bermanfaat.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan