Yang Tak Layak Dipilih Jadi Presiden

416 kali dibaca

Tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 sudah dimulai. Memang baru tahap pendaftaran calon anggota legislatif untuk DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sementara itu, tahap pendaftaran calon presiden-wakil presiden baru pada Oktober 2023. Namun, suhu politik Tanah Air sudah mulai memanas.

Panasnya suhu politik sudah dimulai ketika partai-partai politik memunculkan nama-nama yang akan diusung sebagai calon presiden. Diprediksi, atau dikhawatirkan, Pemilu Presiden 2024 akan berlangsung sangat panas, bahkan brutal, karena “ketularan” Pilkada DKI Jakarta 2017. Akankah demikian?

Advertisements

Yang pasti, apa pun yang nanti terjadi, pemilu dan peralihan kekuasaan adalah keniscayaan dalam sebuah negara demokrasi. Tanpa itu tak ada demokrasi. Namun, persoalannya, di negara-negara berkembang atau yang tradisi demokrasinya belum benar-benar kokoh, mengakar kuat, pemilu dan peralihan kekuasaan selalu menjadi pertaruhan. Pertaruhan masa depan demokrasi itu sendiri.

Sebab, yang ikut bertarung dalam berebut kekuasaan melalui sistem demokrasi tidak melulu mereka yang mencintai dan yakin bahwa demokrasi adalah sistem yang paling baik atau paling cocok. Meraka yang antidemoikrasi, yang ingin mengubah sistem demokrasi ke sistem lain, pun turut bermain dan memannfaatkan demokrasi untuk tujuan-tujuan yang berbeda. Pengusung khilafah, misalnya, mengusung sistem yang diperjuangkan melalui jalan yang justru dibencinya atau dianggapnya haram. Artinya, bisa jadi kekuasaan yang diperoleh melalui jalan demokrasi nantinya justru akan digunakan untuk membunuh atau membusukkan demokrasi.

Itulah fakta yang ditunjukkan oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam buku How Democracies Die (Bagaimana Demokrasi Mati). Buku itu menyajikan hasil riset di banyak negara dari berbagai benua yang sistem demokrasinya dibusukkan atau dibunuh justru dengan kekuasaan yang diperoleh melalui jalan demokrasi. Persoalannya, kita belum memiliki sistem deteksi dini (early warning) untuk mengetahui siapa tokoh antidemoikrasi yang turut menari dalam gendang demokrasi.

Beruntung, dari penelitiannya itu Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt mampu merumuskan indikator-indikator kunci yang bisa dijadikan alat ukur. Asumsinya, jika ada seorang tokoh menyandang indikator-indikator kunci tersebut, maka ia memiliki potensi untuk berlaku dan bersikap antidemokrasi, melakukan pembusukan demokrasi, atau bahkan membunuh demokrasi meskipun kekuasaan yang digenggamnya diperoleh melalui jalan demokrasi. Pesannya: ia tokoh yang tak layak dipilih untuk menjadi pemimpin.

Empat Indikator Kunci

Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt menyediakan empat indikator untuk menelisik tingkat keantidemokrasian seorang tokoh, tentu dalam hal ini adalah seorang tokoh yang sedang berebut kekuasaan melalui jalan demokrasi, katakanlah pemilu. Saya mengadopsi keempat indikator kunci tersebut agar bisa menjadi panduan untuk menentukan pilihan pada Pemilu 2024.

Yang pertama adalah indikator yang berkaitan dengan masalah intoleransi dan eskalasinya. Eskalasi dari intoleransi bisa jadi berupa kebencian, permusuhan, radikalisme, ekstremisme, hingga terorisme.

Mungkin saja memang benar-benar ada tokoh intoleran yang ikut berlaga. Tapi indikator itu tak melulu disandangkan kepadanya, melainkan juga pada pengusung atau pendukungnya. Meskipun, secara pribadi merupakan tokoh yang toleran, namun jika diusung dan didukung oleh kelompok-kelompok intoleran, ia dapat dimasukkan ke dalam kelompok kekuatan antidemokrasi. Yang juga termasuk ke dalam kategori ini adalah mereka yang membiarkan atau tidak pernah menolak menguatnya kelompok-kelompok intoleran. Politisasi agama dan politisasi identitas termasuk ke dalam indikator ini.

Yang kedua adalah indikator yang berkaitan dengan masalah pengakuan terhadap aturan main demokrasi. Seorang tokoh, atau kelompok-kelompok kekuatan yang menjadi kontestan atau berkepentingan dengan pemilu, masuk kategori antidemokrasi jika apa yang dilakukan adalah merongrong kredibilitas penyelenggaraan sistem demokrasi. Menganggap pemilu tidak sah jika hasilnya tak sesuai harapan adalah bagian dari indikator ini. Celetukan yang sering kita dengar seperti “Saya hanya bisa dikalahkan oleh kecurangan” atau “Karena pemilu curang, maka saya kalah” atau “Saya dijegal” adalah gambaran sederhana dari indikator antidemokrasi.

Artinya, tidak siap kalah sesungguhnya bukan bagian dari demokrasi. Menjadi antidemokrasi dan bisa membusukkan demokrasi jika ketidaksiapan untuk kalah itu kemudian dieskalasi menjadi gerakan untuk membatalkan (hasil) pemilu —yang bisa menjadi pintu masuk terjadinya chaos.

Yang ketiga adalah indikator yang berkaitan dengan masalah penghormatan terhadap kontestan lain. Tidak respek terhadap lawan politik adalah bagian dari indikator antidemokrasi. Ini bisa berkelindan dengan indikator yang pertama. Misalnya, menyebut lawan sebagai antek asing atau musuh bersama yang berbasis agama dan identitas dianggap sebagai benih-benih antidemokrasi yang bisa menyulut kebencian dan permusuhan.

Yang keempat adalah indikator yang berkaitan dengan masalah kebebasan sipil. Ini dijadikan indikator kunci, sebab tanpa adanya kebebasan sipil maka demokrasi menjadi musykil. Dengan begitu, maka tokoh-tokoh atau kelompok-kelompok yang memiliki kecenderungan untuk tidak menyukai adanya kebebasan sipil termasuk dalam kategori antidemoikrasi yang memiliki potensi untuk melakukan pembusukan terhadap demokrasi.

Empat indikator kunci tersebut disusun oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt untuk menutup pintu bagi kelompok-kelompok kekuatan antidemokrasi melakukan pembusukan demokrasi dari dalam. Dalam konteks Indonesia, misalnya, jika kelompok intoleran diberi panggung untuk berkuasa, bisa membahayakan masa depan kebinekaan kita; jika kelompok pengusung khilafah diberi jalan untuk berkuasa, bisa membahayakan masa depan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Setidaknya, dengan empat indikator kunci tersebut, kita bisa menentukan siapa calon yang tidak layak dipilih untuk menjadi presiden. Kenapa harus “yang tak layak” yang ditelisik lebih dulu? Ini semata-semata untuk “membuang yang terburuk” lebih dulu agar kita tak salah pilih di bilik suara. Semoga pada Pemilu 2024 nanti tidak ada calon presiden yang menyandang empat indikator kunci tersebut.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan