Warisan Seni Berjuang dari Tiga Tokoh

2,240 kali dibaca

Pada awal perjuangan Rasulullah menegakkan panji Islam memang diselimuti oleh berbagai cobaan berupa kekerasan bertubi-tubi dari kaum kafir Quraisy. Perjuangan mengubah kehidupan jahiliyah ke kehidupan Islami memang bukan hal yang ringan dan mudah. Ini merupakan “proyek besar”, dan membutuhkan kerja keras serta semangat tinggi. Namun, perlahan tapi pasti, berkat kegigihan dan kesabaran Rasulullah dan bantuan para Sahabat, Islam pun mulai memasuki rumah-rumah penduduk Makkah.

Begitu dengan perjuangan Rasulul ketika memulai penyebaran Islam ke Madinah. Penduduk Madinah kala itu tidak serta merta langsung menerima Islam sebagai agama baru. Sejak adanya Baiat Aqabah pertama dan kedua hingga terciptanya Piagam Madinah, barulah Islam dapat menggema disetiap sudut kota Madinah. Namun, perlu diketahui, di balik peristiwa itu, ada seorang sahabat yang berperan besar dalam sukses ini. Dialah Mush’ab bin Umair, ahli diplomasi yang diutus Rasul ke Madinah untuk mengenalkan agama kepada orang-orang Anshar yang telah beriman dan berbaiat kepada Rasul di bukti Aqabah. Dengan kecerdasan dan kepiawaiannya dalam berbicara dan menarik perhatian penduduk Madinah, maka tidak heran jika semakin hari semakin banyak penduduk Madinah yang memeluk islam.

Advertisements

Keputusan rasul dalam memilih Mush’ab bin Umair sebagai pendakwah yang memiliki keahlian berbicara dan kecerdasan di atas rata-rata, mengajarkan kita bahwa salah satu metode yang berperan besar dalam memajukan dakwah Islam adalah dakwah bi jidal, yakni sebuah metode yang merepresentasikan keahlian berbicara dan kecerdasan berpikir.

Mengikuti strategi Rasul itulah, santri yang digadang-gadang mampu melanjutkan perjuangan para ulama dalam menyebarkan Islam perlu memiliki skill dalam bersilat lidah. Tujuannya, untuk meyakinkan masyarakat bahwa eksistensi santri memang tidak dapat diragukan.

Di Indonesia, kecakapan dalam berdakwah sudah dicontohkan oleh para tokoh Islam. Begitulah yang tergambar dalam buku Menjaga Martabat Islam, yang diterbitkan Pustaka Tebuireng. Buku ini merangkum tulisan, pesan, pidato, bahkan artikel media dari tiga tokoh Pesantren Tebuireng Jombang, yaitu Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari, KH Abdul Wahid Hasyim, dan KH Salahuddin Wahid.

Buku ini berisi pemikiran-pemikiran cerdas dan tulisan pidato dari ketiga tokoh ini yang bisa menjadi referensi santri dalam berdakwah menghadapi keragaman topografi masyarakat Indonesia. Santri bisa mencontoh gaya berpidato dan berdebat Hadratussyeikh KH Hasyim Asy’ari, gaya berpolitik KH Wahid Hasyim, atau kecerdasan dan kelembutan KH Solahudin Wahid yang semuanya tercatat dan dirangkum dalam buku ini.

Di awal buku, KH Abdul Mun’im DZ, Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), menulis dalam kata pengantarnya, bahwa buku ini adalah mata rantai dari perjuangan Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari bersama putranya, KH Abdul Wahid Hasyim dan cucunya, KH Salahuddin Wahid atau Gus Sholah.

Dalam tulisannya, Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari menekankan pentingnya memperkuat keimanan, keharusan membangun ukhuwah islamiyah, serta kemandirian umat. Karena, saat itu memang umat Islam sedang dalam menghadapi tekanan penjajahan Belanda, sementara umat Islam yang beraneka ragam itu sedang dalam pertikaian masalah furu’iyah. Padahal, untuk menghadapi Belanda yang sangat kuat, sangat diperlukan persatuan. Selain itu, startegi paling jitu menghadapi pengaruh Belanda adalah dengan membangun kemandirian.

Sementara itu, yang ditulis oleh KH Abdul Wahid Hasyim merupakan pedoman berpolitik umat Islam dalam menghadapi masa pancaroba dan transisi dari pemerintahan kolonial ke pemerintahan Republik yang penuh gejolak. Dari tulisan inilah beliau memberikan bimbingan politik pada masyarakat, mulai dari cara memahami masalah secara utuh dan sekaligus rinci dan bagaimana cara untuk menghadapinya.

Tak jauh berbeda tetapi membawa nilai yang sama, Gus Sholah menegaskan perlunya mengedepankan spiritualitas dalam kehidupan modern yang sangat pragmatis dan materialistis. Penekanan itu penting karena dalam kehidupan modern yang bebas nilai itu sebaliknya umat Islam dan NU khususnya justru harus berpegang pada nilai-nilai. Karena dalam tata nilai itulah moral tumbuh dan berkembang. Kalau tidak lagi berpegang pada nilai dan norma agama dan sosial yang disepakati justru akan kehilangan tidak hanya jati diri, tetapi kehilangan eksistensi, artinya lenyap diseragamkan dalam globalisasi.

Buku Menjaga Martabat Islam yang terbit pada 2015 ini ibarat aliran sungai yang mewariskan ideologi perjuangan dari generasi ke generasi agar terus nyambung. Pemikiran ketiga tokoh dalam buku ini bisa menjadi referensi para santri dalam berbicara di depan umum. Buku ini menunjukkan bahwa Kiai Hasyim ingin ideologi perjuangan dan kepemimpinan NU bukanlah untuk keturunan sendiri, tetapi menjadi informasi dan sekeligus pengetahuan bagi seluruh warga NU dan para santrinya serta masyarakat pada umumnya. Dengan demikian, semua akan memiliki potensi serta kesempatan dalam berperan memajukan Islam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan