Warisan Kiai Ali Yafie yang Tak Pernah Mati

1,572 kali dibaca

KH Ali Yafie wafat pada Sabtu (25/2/2023) di usia 96 tahun, usia yang sangat senja bagi standar usia rata-rata manusia. Apa rahasianya sehingga beliau bias berumur sepanjang itu? Helmy, putra beliau menjawab, bahwa hal itu kemungkinan besar dipengaruhi oleh aktivitas beliau menelaah Al-Quran serta kitab kuning yang sangat instens ditambah pola pikir beliau yang positif terhadap segala sesuatu.

Kajian tentang pengaruh aktivitas membaca terhadap peremajaan sel sudah banyak diteliti. Pun juga diteliti betapa orang yang terus membaca, kepikunan tidak gampang datang bersarang. Ketia Tempo mewawancarai beliau, tahun 2010, wartawan koran itu mengabarkan bahwa di usia 84 tahun, Kiai Ali Yafie masih mendengar dengan jernih dan bericara fasih. Beliau juga terus mengikuti perkembangan informasi dan isu aktual. Terlihat jelas bagaimana dia menjawab pertanyaan si wartawan dengan lugas dan pas.

Advertisements

Kebugaran pola pikir Kiai Ali Yafie pun terlihat jelas ketika Kiai Husein Muhamad mengunjungi beliau sepuluh tahun kemudian, saat beliau berusia 94 tahun, dan masih berduka sebab ditinggal pergi Nyai Aisyah, istri tercinta. Dalam pertemuan ini, kiai pembela kaum hawa itu, membicarakan hal-hal berat yang membutuhkan pikiran terasah. Kiai Ali Yafie ternyata masih piawai mengimbanginya. Tajamnya pikiran beliau, kendati pun tidak panjang diutarakan secara verbal, masih tajam sehingga analisisnya terhadap satu persoalan sangat substantif.

Misal, tentang Pancasila. Kiai Husein mengajukan empat pilihan kepada beliau. Pertama, apakah Pancasila sesuai dengan Islam. Kedua, Pancasila tidak bertentangan dengan Islam. Ketiga, Pancasila bukan Islam. Keempat, Pancasila adalah esensi Islam. Kiai Ali Yafie memilih opsi keempat bahwa Pancasila adalah esensi ajaran Islam.

Elaborasi alasan atas pilihan beliau sebenarnya sudah banyak dijabarkan oleh berbagai kalangan bahwa sila pertama selaras dengan ajaran tauhid dalam Islam. Sila kedua terkait erat dengan kemanusiaan yang diperjuangkan Islam. Sila ketiga mengusung persatuan di mana Islam sangat menganjurkannya. Sila keempat berkorelasi dengan ajaran Islam yang bertitik tumpu pada maslahatu ‘ammah serta urgensi musyawarah dalam memecahkan persoalan dan memutuskan satu. Sedangkan sila kelima adalah nilai keadilan yang diwajibkan oleh Al-Quran, tidak hanya bagi saudara seiman dan teman sejawat, tapi juga pada lawan.

Tujuan Agama

Imam Al-Ghazali, delapan abad yang lalu telah merumuskan lima tujuan agama (al-Kuliyatul al-Khams) yakni untuk menjaga agama, akal, diri, harta, dan keturunan. Gagasan besar Imam al-Ghazali ini mendahului keputusan Amerika tentang hak-hak manusia yang baru dibuat sembilan abad kemudian. Nah, yang menarik dari persoalan al-Kuliyatul al-Khams tersebut adalah soal urutan yang dibuat Kiai Ali Yafie.

Menurut beliau, level pertama tujuan agama adalah menjaga diri manusia (hifzh al-nafs). Mengapa? Karena agama hanya bisa bisa dipeluk oleh manusia yang hidup. Mereka yang mati tidak bisa beragama. Dengan kata lain, agama adalah objek garapan agama. Agama untuk manusia. Jika manusia menderita karena beragama, sebaiknya tidak usah beragama. Agama yang ideal adalah yang datang memberikan kebahagiaan dan menvisikan pikiran manusia untuk membangun kebahagian di dunia dan akhirat kelak.

Sedangkan, hifzh al-din oleh Kiai Ali Yafie diletakkan pada urutan kelima. Ini bukan berarti bahwa menjaga agama tidak lebih penting daripada menjaga empat hal penting di atasnya. Ia lebih pada pemahaman bahwa agama adalah dasar dari empat hal di atasnya. Artinya, menjaga agama adalah menjaga bagaimana agar manusia secara utuh terlindungi, tidak ada perampasan harta, dan kebebasan berpikir tidak terhalangi. Adalah tidak disebut beragama jika tidak bisa melindungi sesama, harta milik, mengekang kebebasan nalar dan akal.

Tidak disebut beragama pula jika kemudian gagal melindungi lingkungan. Oh, ya, bagi beliau, menjaga lingkungan merupakan tujuan agama pula. Sekarang tidak lagi cukup al-Kuliyatul al-Khams, tapi harus ditambah satu, yakni hifzh al-biah (menjaga lingkungan) sehingga menjadi al-kulliyatus sittah sebagai tujuan beragama.

Gagasan ini beliau sampaikan pada pidato penobatan beliau sebagai profesor. Pidato ini kemudian dibukukan dengan judul Merintis Fikih Lingkungan Hidup (2006). Di mata beliau, air, tanah, dan udara sudah mengancam kehidupan manusia. Dengan tingkat populasi yang meningkat serta kemajuan teknologi yang sangat cepat, keselamatan alam berada di ujung tanduk. Jika alam hancur, manusia jelas akan hancur. Jika agama untuk manusia, maka alam saat sekarang penting dilestarikan sebab di sanalah manusia berada.

Kehancuran alam dilakukan manusia karena kesalahan memahami pesan agama. Fikih lingkungan hidup yang digagas Kiai Ali Yafie mengeksplorasi beragam nash dan data agar umat Islam paham bahwa berinteraksi dengan alam memiliki aturan sebagaimana orang salat dan berdagang. Jika aturan itu dilanggar, maka akan melahirkan kerusakan. Sebab itu, merusak alam jelas terlarang dan haram.

Ijtihad Kiai Ali Yafie ini merupakan warisan berharga, penting terus dihidupkan, diperjuangkan, dan diamalkan, lebih-lebih oleh korporasi pemerintahan. Jika tidak, perlu ditanyakan apa peran keberagamaan kita sebagai umat Islam dan bangsa Indonesia yang Pancasilanya merupakan esensi ajaran Islam itu sendiri.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan