Wali Songo dan Budaya Cocok Tanam

20,674 kali dibaca

Pada akhir abad ke-14 M, Sunan Gresik atau Syeh Maulana Malik Ibrahim atau Maulana Maghribi atau Maqdum Ibrahim as-Samarqandy, berdakwah menyebarkan Islam kepada masyarakat dengan pendekatan budaya. Beliau mengajarkan cara bercocok tanam, pengobatan, dan perdagangan kepada orang-orang di daerah Gresik dan sekitarnya. Di tengah masyarakat, beliau senantiasa bertutur kata halus dan bertingkah laku sopan, menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda, santun kepada fakir miskin.

Tata cara pertanian ala Sunan Gresik ternyata berhasil. Hasil panen meningkat, meningkatkan kesejahteraan masyarakat Gresik. Dalam adab yang luhur, pelan-pelan Sunan Gresik mengenalkan Allah SWT kepada masyarakat melalui laku hidup bercocok tanam padi dan palawija. Beliau menerangkan cara membuat bibit, waktu menanam bibit, merawat bibit hingga besar siap berbuah, merawat dan melindungi dari hama, cara menyiraminya hingga siap panen.

Advertisements

Sunan Gresik mengajarkan kepada para petani bahwa banyak faktor-faktor alam di luar kendali manusia: cuaca, hujan, kesuburan tanah, hama, angin, cacing, atau burung yang berpengaruh terhadap keberhasilan usaha bercocok tanam. Di atas ikhtiar manusia, Allah Maha Berkehendak. Saat panen berhasil baik, beliau mengajarkan masyarakat ikhlas bersyukur kepada Allah dan bersabar untuk tidak lupa diri. Saat panen gagal, beliau mendidik masyarakat ikhlas memohon ampun kepada Allah dan bersabar untuk tidak putus asa. Sehingga, dalam keadaan senang atau susah, mereka senantiasa ingat kepada Allah dan berharap rahmat-Nya.

Sunan Gresik.

“Kados pundi caranipun kito matur nuwun marang Gusti Allah, Kanjeng Sunan?” Di pesantrennya, yang dibangun di atas tanah hadiah dari Prabu Brawijaya V, Kanjeng Sunan Gresik mengenalkan huruf-huruf hijaiyah, cara membaca kitab kuning dan al-Quran, berwudlu, dan salat dalam tata cara Islam kepada mereka. Sehingga Allah Yang Maha Pemurah dan Penyayang, melalui Islam rahmatan lil alamien yang diajarkan oleh Sunan Gresik, dikenal oleh masyarakat Gresik dan sekitarnya.

Untuk mengenang jasa beliau, namanya ditulis sebagai nama jalan dan masjid, yaitu Jalan Malik Ibrahim dan Masjid Malik Ibrahim di Pesucinan, Leran, Kecamatan Manyar, Gresik. Kemudian tradisi kepesantrenan dilanjutkan oleh Raden Rahmat atau Sunan Ampel dan Raden Paku atau Sunan Giri.

Berabad-abad kemudian, melalui perjuangan para wali dan kiai, pesantren dan budaya cocok tanam masih lestari hingga kini. Pada awal abad ke-20, Syaichona Kholil Bangkalan atau Mbah Kholil, memiliki garis keturunan dengan Sunan Gunung Jati, dawuh kepada salah seorang santrinya untuk berjualan atau memproduksi rokok dengan tembakau Madura. Saat ini, cukai rokok merupakan salah satu penghasil devisa terbesar di Indonesia.

Pada 1980-an, KH Abdul Basith Abdullah Sajad, pengasuh Pesantren An Nuqayah Guluk-Guluk Sumenep, Madura, berhasil menggerakkan para santri dan masyarakat di Guluk-Guluk dan sekitarnya untuk menanam pohon di lahan-lahan gundul. Usaha ini berhasil menghijaukan kembali bukit-bukit di sekitar desa Guluk-Guluk. Masyarakat menikmati hasilnya: sumber air bersih dan lahan kebun atau pertanian yang subur.

Bangsa Indonesia memiliki kearifan lokal: “Menanam apa yang dimakan dan makan dari hasil yang ditanam.” Filosofi kedaulatan pangan ini bisa menjadi pegangan dan panduan bagi bangsa Indonesia dalam memasuki dan mengarungi abad milenial. Di tengah kepungan dan impitan kapitalisme global, apa dan bagaimana perjuangan para kiai, santri, dan pesantren dalam mewujudkan kedaulatan pangan bagi bangsa Indonesia? Wallahualam bis shawab.

Rumah Merah, 13 Juni 2020.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan