Wahdatul Wujud: Tafsir Kekinian (1)

33,552 kali dibaca

Konsep wahdatul wujud yang diprakarsai oleh Ibnu Arabi menimbulkan polemik dan diskursus pelik di antara para ulama. Dari konsep manunggaling kawula lan Gusti ini kemudian lahir kelompok yang pro dan kontra.

Hakikat dari konseo wahdatul wujud adalah bagaimana seseorang ingin begitu dekat dengan Tuhan, kemudian meluruh dan lebur bersama maujud Tuhan. Prinsip pemahaman ini yang kemudian menimbulkan pro-kontra di antara ulama yang satu dengan ulama lainnya.

Advertisements

Diperlukan pemahaman yang hakiki untuk menyelami kaidah wahdatul wujud. Karena pemahaman konsep ini akan berakibat fatal bagi masyarakat kebanyakan (awam) yang belum mengerti dasar-dasar syariat yang sesungguhnya. Ketika muncul persoalan akidah terhadap hakikat ilahiyah (ketuhanan), tidak sedikit yang kemudian menafsirkan konsep radikal, bahkan hingga hukuman mati sekalipun. Tentu hal ini bukan jalan keluar yang benar, karena penghakiman “kafir” seseorang bukan ranah manusia, tetapi hak prerogatif Tuhan.

Terlepas dari pro-kontra terhadap konsep wahdatul wujud, paham ini tetap berkembang dan tumbuh secara normatif dan tersebar di banyak kalangan. Maka menjadi niscaya, jika kemudian kaidah wahdatul wujud didiskusikan dan dikaji sedemikian, dengan cara ilmiah, agar khazanah terhadap pengetahuan ini semakin baik dan dapat dipertanggung-jawabkan.

Konsep wahdatul wujud di tengah masyarakat awam tidak berkembang sebagaimana yang diharapkan. Akan tetapi, di berbagai lembaga pendidikan, utamanya di perguruan-perguruan tinggi, konsep “kesatuan eksistensi” ini menjadi diskusi yang sangat menarik.

Makna Wahdatul Wujud

Secara etimologi, wahdatul wujud berasal dari kata wahdah (وحدة) yang berarti tunggal, satu, atau kesatuan dan alwujud  (الوجود) yang berarti ada, eksistensi, atau keberadaan. Secara harfiah, wahdatul wujud artinya adalah “kesatuan eksistensi”. Sementara, menurut istilah (epistimologi), wahdatul wujud adalah pemahaman yang tidak mengakui adanya perbedaan antara Tuhan dengan makhluk. Karena wujud makhluk manifestasi dari keberadaan Tuhan. Tuhan memperlihatkan diri dengan wujud keseluruhan makhluk yang ada. Tidak ada satu pun di alam dunia ini kecuali eksistensi dari adanya (wujud) Tuhan.

Ada yang memaknai bahwa wahdatul wujud itu sama dengan manunggaling kawula lan Gusti, konsep dalam bahasa Jawa yang diperkenalkan oleh Syeh Siti Jenar. Akan tetapi, ada yang membedakan kedua makan tersebut. Kalau wahdatul wujud itu penyatuan senyawa, peleburan, sedangkan manunggaling kawula lan Gusti adalah sebuah percampuran (panteisme).

Contoh yang pertama, semisal jari dicelupkan ke dalam air tawar, dan sesaat setelah itu dicelupkan ke dalam air laut. Air di ujung jari tidak dapat dibedakan antara air tawar dan air laut. Contoh yang kedua, seumpama secangkir kopi, di dalamnya terdapat bubuk kopi, air, dan gula. Sama-sama menyatu dalam satu entitas akan tetapi berbeda secara hakikat.

Penulis lebih kepada pemahaman bahwa wahdatul wujud itu sama dengan manunggaling kawula lan Gusti. Tidak ada perbedaan makna, dan antara satu dengan yang satunya lagi adalah sepadan dan sama. Dan yang lebih penting untuk dipahami, bahwa keduanya adalah wujud penyatuan apa pun bentuk dan ragamnya. Menyatu dalam arti yang sesungguhnya.

Sejarah Wahdatul Wujud

Wahdatul wujud selalu dikaitkan dengan Ibnu Arabi, karena Ibnu Arabi dianggap sebagai penggagasnya. Meskipun wahdatul wujud dikaitkan dengan aliran Ibnu Arabi, tetapi sebenarnya wahdatul wujud sudah diajarkan oleh beberapa sufi sebelum Ibnu Arabi. Akan tetapi di dalam berbagai penjabaran terkait dengan wahdatul wujud, Ibnu Arabi dianggap yang paling berjasa dan berpengaruh terhadap konsep kesatuan wujud ini.

Sufi sebelum Ibnu Arabi yang membuat pernyataan yang dianggap mengandung doktrin wahdatul wujud adalah Abu Hamid Al-Ghazali. Dalam sebuah karyanya, Al-Ghazali berkata “sesuatu yang maujud dengan sebenar-benarnya adalah Allah Swt, sebagaimana cahaya yang sebenar-benarnya adalah Allah Swt”, dan “tidak ada wujud kecuali Allah dan wajah-Nya, dengan itu pula, maka segala sesuatu binasa kecuali wajah-Nya secara azali dan abadi”.

Konsep yang dikatakan Al-Ghazali ini dipandang sebagai prinsip wahdatul wujud. Karena frasa “sebenar-benarnya cahaya adalah swt”, dan “tidak ada wujud kecuali Allah dan wajah-Nya”, merupakan dasar hakikat konsep wahdatul wujud.

Ma’ruf Al-Karkhi, salah satu sufi yang hidup empat abad sebelum Ibnu Arabi, adalah orang pertama yang mengungkapkan syahadat dengan kata-kata “tiada sesuatu pun dalam wujud kecuali Allah”.

Itu artinya bahwa peletak dasar wahdatul wujud pertama bukan Ibnu Arabi, akan tetapi ada beberapa sufi sebelumnya yang telah mengungkapkan konsep wahdatul wujud. Mungkin, penjelasan dan penalarannya hingga pengaruh konsep ini baru tersebar luas pada masa Ibnu Arabi. Maka kemudian Ibnu Arabi dianggap atau dipandang sebagai penggagas konsep wahdatul wujud.

Tokoh yang cukup berperan mempopulerkan istilah wahdatul wujud adalah Ibnu Taimiyah, seorang pemikir dan ulama Islam guru dari Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Walaupun, Ibnu Taimiyah menggunakan istilah wahdatul wujud justru untukmengkritik doktrinnya. Tetapi, istilah ini sudah banyak digunakan oleh kalangan sufi di ajaran tasawuf.

Ibnu Taimiyah adalah salah satu ulama yang tidak mengakui konsep wahdatul wujud. Oleh karena itu, wahdatul wujud merupakan konsep yang menjadi perdebatan hingga saat ini. Akan tetapi perbedaan pendapat tidak serta-merta meniadakan adanya konsep, termasuk konsep wahdatul wujud itu sendiri.

Konsep Wahdatul Wujud

Sebagaimana yang telah disinggung di atas, bahwa konsep wahdatul wujud adalah penyatuan terhadap entitas Tuhan. Konsep ini semakin berkembang dan menjadi pemahaman lebih luas bahwa yang dimaksud dengan “wahdah/ittihad” tidak semata-mata lebur dan menyatu dengan Tuhan. Akan tetapi, dekat yang sedekah-dekatnya (taqarrub dalam bahasa agama) merupakan jalan menuju konsep wahdatul wujud.

Al-Junaid di dalam buku Ithaf al-Dhaki: Tafsir Wahdatul Wujud bagi Muslim Nusantara, mengatakan, “Tauhid adalah memisahkan antara yang tidak diciptakan (alqadim) dengan yang diciptakan (al-Muhdath).”

Ungkapan Al-Junaid ini, dalam sebuah penjabaran, tidak bertentangan dengan wahdatul wujud. Sebab sudah jelas antara Tuhan dengan seorang hamba (sufi) yang mewujud ke dalam hakikat entitas ketuhanan. Adalah seseorang yang menemukan hakikat keadaannya di dalam kewujudan-Nya.

Dalam konteks ini, thariqah (tarekat/jalan) menuju kondisi wahdatul wujud merupakan medium (perantara) yang tidak boleh diabaikan. Sebab tanpa adanya media, perantara, penghubung antara dua aspek (hamba menuju entitas Tuhan), maka tujuan akhir tidak akan pernah dicapai. “Al wasa’il tattabi’u al maqashid fi ahkamihaa” (Segala jalan/perantaraan itu hukumnya mengikuti hukum tujuan). Kaidah ini menjelaskan bahwa jalan atau perantara menuju wahdatul wujud hukumnya sama dengan peleburan entitas itu sendiri.

Ada dua pengertian berbeda yang mendasar dalam memahami istilah wujud: pertama, wujud sebagai suatu konsep ide tentang wujud eksistensi (wujud bil ma’na al-masdari). Kedua, wujud yang berarti bisa mempunyai wujud, yakni yang ada (exist) atau yang hidup (subsist) (wujūd bil ma’nā maujūd).

Kata wujud dalam konsep Ibn Arabi digunakan untuk menyebut wujud Tuhan, yaitu satu-satunya wujud adalah wujud Tuhan dan tidak ada wujud selain wujud-Nya, yang berarti apa pun selain Tuhan tidak mempunyai wujud.

Akan tetapi, pada waktu yang lain Ibn Arabi juga menggunakan kata wujud untuk menunjuk pada selain Tuhan. Tetapi, Ibn Arabi menggunakanya dalam pengertian metaforis (majāz) untuk mempertahankan bahwa wujud hanya milik Tuhan, sedangkan wujud yang ada pada alam hakikatnya adalah wujud-Nya yang dipinjamkan kepadanya.

Sebagaimana cahaya matahari yang merupakan miliknya, kemudian dipinjamkan kepada bumi dan seisinya untuk sebuah menunjukkan eksistensi. Matahari dan cahayanya adalah dua entitas yang tidak dapat dipisahkan, dan keduanya mewujud dalam sebuah entitas, yaitu matahari. Bagaikan api dengan panas, dua keadaan yang ketika ada api maka akan ada panas, dan api beserta panasnya adalah dua entitas yang tidak dapat dipisahkan.

Dalam kondisi tertentu, jika Tuhan berkehendak, entitas api pada panas menjadi hilang sebagaimana sejarah Nabi Ibrahim. “Ya Naru, kuni bardan wa salaman ‘ala Ibrahim,” (wahai api, jadilah sejuk dan menyelamatkan kepada (tubuh) Ibrahim), (QS. Al-Ambiya’: 69).

Multi-Page

Tinggalkan Balasan