Kita menyakini bahwa Allah SWT menciptakan manusia sebagai mahkluk paling mulia di antara mahkluk-mahkluk lainnya. Penganugerahan nafsu menjadikan manusia berbeda dengan mahkluk lainnya.
Mafhum kita ketahui bahwa banyak sekali keragaman pada manusia yang diciptakan oleh Allah SWT. Keragaman tersebut tidak hanya berkutat pada kemajemukan suku, budaya, bahasa, ras dan agama, namun juga ‘tubuh’.
Namun, kini keragaman tubuh dianggap hal yang tabu. Keunikan tubuh yang beragam malah dianggap sebagai keanehan dan tidak dapat ditolerir bahkan dicap sebagai penyelewengan.
Hannan Bishara (2020) dalam karyanya Sex and Sexual Fantasy among the Arabs in the Middle Ages menyebutkan bahwa pembahasan mengenai seksualitas ditemukan di berbagai kitab, di antaranya Nuzhat al-Albab fi ma la Yujad fi al-Kitab karya at-Tifasyi (w. 1253 M), Tawq al-Hamamah fi al-`ulfah wal-Ullafi karya Ibn Hazm al-Andalusi (w. 1064 M), ar-Rawd al-Atir fi Nuzhat al-Khatir karya Syekh an-Nafzawi, Hazz al-Quhuf fi Syrh Qasidah Abi Shadouf karya Yousuf Muhammad al-Syarbini, dan lain sebagainya.
Sementara itu, dalam khazanah pesantren di Indonesia, pun diajarkan kitab-kitab yang berbau seksualitas, seperti halnya Qurratul Uyun karya Syekh Muhammad at-Tihami Ibnu Madani, `Uqudul Lujain karya Syekh Nawawi al-Bantani, Fathur Izzar karya Abdullah Fauzi (Amar Alfikar, 2023)
Padahal dalam khazanah Islam klasik telah mengenal beragam istilah yang merujuk pada keragaman tubuh seperti halnya mukhannas yang kini dapat ditafsirkan seabgai transpuan, mutarajjilat yang berarti transpria, dan khunsa yang berarti interseks.
Mengingat hal itu, terdapat cerita menarik yang termaktub dalam kitab al-Qusyairi (1989) karya Imam Qusyairi. Diceritakan terdapat seorang sufi bernama `Abdul Wahhab bin `Abdul Majid as-Saqafi yang turut membantu pemakaman jenazah seorang mukhannas (transpuan).