Wabah dan Tradisi Burdah

2,332 kali dibaca

Bukan kali pertama masyarakat manusia mengalami wabah seperti pandemi Covid-19 yang sudah berjalan selama dua tahun ini. Dan, dalam rekaman sejarah, masyarakat dunia merespons terjadi wabah dengan cara berbeda-beda.

Dalam masyarakat Muslim, ada tradisi pembacaan Burdah setiap kali terjadi wabah. Tujuannya adalah untuk mengusir wabah dan manusia terselamatkan dari bahayanya. Di sini, Burdah adalah penolak bala.

Advertisements

Burdah sendiri merupakan cerminan perjalanan hidup Imam Al-Bushiri, nama yang dinisbatkan pada tempat kelahirannya, Bushir. Ayah Al-Bushiri berasal dari Dalash. Karena itu, ia kadang disebut Al-Bushiri, Al-Dalashi, atau Al-Dhalasiri yang merupakan gabungan keduanya (Ulin Nihayah, Jurnal Komunikasi Islam, Vol 7. Hal: 32).

Burdah merupakan karya paling fenomenal dari Imam Al-Bushiri ini. Di dalamnya berisi syair puji-pujian. Di dalam Burdah terdapat mutiara-mutiara pelajaran tentang sikap hormat kepada makhluk pilihan, yakni Nabi Agung Muhammad SAW.

Sebenarnya, kalau kita meneliti susunan  bait-bait dalam kasidah Burdah, maka kita akan mendapatkan sepuluh tema pokok: pertama, 12 bait Prolog merupakan goresan asmara cinta kepada sang panutan kita. Kedua, 16 bait peringatan akan bahaya menuruti hawa nafsu. Ketiga,  30 bait puji-pujian. Keempat, 13 bait kisah kelahiran. Kelima, 16 bait informasi tentang mukjizat. Keenam, 17 bait pembicaraan tentang Al-Quran. Ketujuh, 13 bait tentang isra mi’raj. Kedelapan, 12 bait tentang jihad. Kesembilan dan kesepuluh merupakan bait penutup. (Majmuatu Maulidiyah-Qasidah Burdah, hal: 156-176).

Bagi masyarakat Arab, karya Al-Bushiri ini memiliki berbagai fungsi. Misalnya, (a) berkaitan dengan aspek spiritual. Di sini, kasidah Burdah digunakan untuk penyembuhan penyakit rohani, jasmani, dan penolak bala; (b) terkait dengan pendidikan pembacaan Burdah diajarkan untuk kegiatan ekstra, seperti di pesantren pembacaan Burdah dilaksanakan setiap malam Jumat; dan (c) hiburan penyejuk hati melalui irama karena isi dan pilihan diksinya yang memukau.

Sebagai mana masyarakat Arab, orang Madura juga meyakini magis kandungan dari kasidah Burdah. Sehingga, ketika ada orang yang sakit menahun, atau orang yang sulit menghadapi sakaratul maut, maka akan dibacakan kasidah Burdah baik secara perorangan ataupun berjamaah. Dengan pelantunan Burdah, diyakini akan mampu menyembuhkan orang sakit bahkan memudahkan orang yang sedang sakaratul maut.

Merunut sejarah, para kiai di masa lalu juga telah mengajarkan betapa pentingnya pembacaan  kasidah Burdah dalam rangka mengenalkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Bahkan, kasidah Burdah difungsikan sebagai media dakwah dalam mengislamkan orang Madura. Menurut Ivan Petrovich Pavlov (w. 1936),  bentuk dakwah dengan menggunakan kasidah Burdah dapat dilakukan dengan metode classical conditioning

Pembacaan Burdah pun ikut mewarnai berbagai upacara-upacara ritual di desa-desa seperti pada acara maulidan, tingkeban, hingga molang areh serta salamatan bumi. Karena, orang Madura mempercayainya sebagai wahana ngalap barakah dari seorang waliyullah.

Kenapa harus membaca Burdah? Pertanyaan semacam ini sering muncul di benak penulis. Setelah ditelusuri dari berbagai referensi, ternyata hal ini telah diisyaratkan oleh sedikitnya 20 ulama, di antaranya yang terkenal adalah Imam Syabukhiti dan Imam Baijuri.

Diceritakan, Habib Husein Bin Muhammad al-Habsyi Shahibul Maulid Simtud Duror yang biasa memimpin pembacaan dhalailul khoirot di Mekkah, bermimpi bertemu Rasulullah yang memerintahkannya untuk membaca Burdah di majlis tersebut. Lebih lanjut, dalam mimpi tersebut Rasulullah bersabda, “Bahwa membaca Burdah sekali lebih afdal dari pada membaca dhalailul khairot 70 kali.” (Eko Setiawan, Nilai-Nilai Religius dalam Burdah, hal: 7).

Begitu juga Imam Al-Bushiri mengatakan bahwa melantunkan Burdah sangat mujarab untuk terkabulnya hajat-hajat kita atas izin Allah. Namun, ia mensyaratkan harus istikamah dengan mengulang-ngulang bait “Maula yaa salli wa sallim ” menghadap kiblat, memahami makna bait-bait yang dibaca dengan himmah yang besar, beradab, dan memakai harum-haruman. (Ibid. 8).

Sebenarnya, pengamalan pembacaan Burdah selaras dengan Al-Quran dan Sunnah. Bahwa, pembacaan Burdah sebagai manifestasi kecintaan seseorang kepada Nabi dan rasa hormat kepada para ulama, dalam hal ini al-Bushiri sebagai pengarang kasidah Burdah yang merupakan waliyullah yang layak diharap berkahnya. Maka tidak ayal lagi tradisi pembiasaan pembacaan Burdah merupakan sesuatu yang sangat bernilai.

Menurut penuturan Kiai Musahri,  pelantunan kasidah Burdah yang berulang-ulang mampu memunculkan sugesti rasa cinta (mahabbah) kepada Nabi Muhammad SAW. Bahkan, dalam penelitian  Ulin Nihayah, kebiasaan pelantunan kasidah Burdah mampu memberikan aura positif bagi pembacanya. Sehingga, ini berimplikasi pada jiwa yang merasa nyaman, tenang, dan menyembuhkan penyakit batin seperti gelisah.

Begitu juga penuturan KH Sutra, tokoh langgar dari Desa Poreh. Sekitar tahun 1980-an tradisi pelantunan kasidah Burdah dilaksanakan di berbagai musala hingga rumah-rumah penduduk di kawasan Poreh, Kecamatan Lenteng, Kabupaten Sumenep, Madura. Di sini, pembacaan Burdah  rutin dilaksanakan bakda maghrib.

Berdasarkan rekaman sejarah dan tradisi yang turun temurun, ada baiknya tradisi pembacaan Burdah dihidupkan kembali dalam situasi pandemi Covid-19 ini. Namun, dengan catatan, pelaksanaannya harus mengikuti protokol kesehatan. Toh, pembacaan Burdah memang bisa dilakukan sendiri-sendiri atau secara berjamaah. Dengan pembacaan Burdah, kita bisa berikhtiar baik secara lahir maupun batin dalam menghadapi wabah Covid-19 ini.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan