Urgensi Menolak Penceramah Radikal

817 kali dibaca

Di media massa, nama Presiden Joko Widodo seketika menjadi buah bibir. Hal ini tidak terlepas dari arahan yang disampaikan Jokowi dalam rapat pimpinan TNI-Polri yang digelar di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, pada Selasa (1/3), dengan tema “TNI-Polri Siap Mendukung Pemulihan Ekonomi Nasional dan Reformasi Struktural”.

Dalam arahannya, Jokowi, mengingatkan TNI-Polri ihwal kedisiplinan nasional. Alih-alih berbicara tentang demokrasi dan kultur di tubuh TNI-Polri, ia justru memperingati para anggota TNI-Polri agar mengoordinasi keluarga mereka dari ancaman radikalisme. Bahkan, Jokowi mewanti-wanti kepada para istri anggota TNI-Polri supaya tidak asal memanggil penceramah.

Advertisements

“Ini bukan hanya bagi bapak-bapak atau ibu-ibu yang bekerja, tetapi yang di rumah juga sama. Hati-hati, ibu-ibu juga sama, kedisiplinannya harus sama. Nggak bisa, menurut saya, nggak bisa ibu-ibu itu memanggil misalnya, ngumpulin ibu-ibu yang lain, memanggil penceramah semaunya, atas nama demokrasi. Juga kesatuan harus koordinir hal-hal kecil tadi yang saya sampaikan, makro dan mikro. Ini makronya harus kita urus juga. Tahu-tahu mengundang penceramah radikal, nah kan nggak bisa begitu,” ujar Jokowi, seperti dikutip dari berbagai media.

Dari arahan Presiden Joko Widodo tersebut, kita bisa menduga bahwa betapa pentingnya sosok penceramah yang santun, toleran, penuh kasih sayang, serta menebarkan keharmonisan antar-setiap warga negara. Juga, mengingatkan kita perihal bahaya dari para penceramah radikal-intoleran, karena dapat memecah-belah bangsa, melahirkan konflik, serta acap berseberangan dengan ideologi dan falsafah bangsa Indonesia.

Menolak Penceramah Radikal

Diakui atau tidak, beberapa tahun terakhir ini kita melihat wajah dakwah yang dilakukan sebagian penceramah tidak lazim atau berbeda. Pasalnya, pesan-pesan dakwah seharusnya disampaikan dengan penuh kasih sayang, ramah, santun, toleran, dan lain sebagainya, kini justru menampilkan wajah yang sebaliknya; kasar, penuh ujaran kebencian, serta saling mencaci dan memaki kelompok yang berbeda mewarnai realitas kehidupan masyarakat.

Fenomena dakwah atau ceramah seperti ini, tentu saja, menjadi bukti konkret ihwal adanya penceramah radikal di tengah-tengah kita. Ironisnya, masih banyak dari kalangan masyarakat kita yang gemar menonton puluhan ribu hingga ratusan ribu kali. Bahkan, mereka tidak segan-segan menjadikannya sebagai parameter dalam ber-Islam. Juga dijadikan sebuah pedoman atau tuntunan menjalankan ajaran Islam.

Tak pelak, beragam aksi bernuansa kekerasan, memaksakan kehendak, sikap intoleran hingga aksi teror muncul ke permukaan. Alih-alih mereka menyebarkan ajaran Islam, justru dalam praktiknya acap bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam itu sendiri. Karena itulah, kita perlu mewaspadai bahkan menolak para penceramah radikal-intoleran tersebut, guna melahirkan hubungan yang harmonis di tengah perbedaan dan keberagamaan masyarakat Indonesia.

Sementara itu, terdapat aktivitas ceramah yang ditunggangi oleh kepentingan ideologis-politis: menyebarkan ajaran atau paham yang kerap kali bertentangan dengan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), falsafah Pancasila, dan konstitusi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Hal ini bisa dilihat dari adanya sebagian para penceramah yang justru santer mengampanyekan paham khilafah dan ideologi radikal sejenisnya di kalangan umat Islam.

Pun, adanya sebagian penceramah yang minim akan pengetahuan tentang agama (Islam), sehingga dalam menerjemahkan ajaran Islam acapkali keliru dan salah. Alhasil, pesan-pesan yang dilontarkannya sering kali memantik kegaduhan publik, menimbulkan kontroversial, bahkan dapat memecah belah masyarakat. Umumnya, fenomena ini muncul lantaran para penceramah memiliki pandangan keislaman yang eksklusif dan enggan untuk menerima setiap perbedaan yang niscaya adanya.

Jika ditelisik lebih jauh lagi, dalam menyebarkan ajaran agama seharusnya dilakukan secara hikmah. Dengan kalimat lain, dilakukan tanpa unsur kebencian, paksaan, kedengkian, dan permusuhan. Juga, dengan cara merangkul, sejuk, ramah, santun, toleran, dan lain-lain, yang tentu saja harus sesuai model dakwah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw.

Bukan sebaliknya, yakni sebagai ajang provokasi massa untuk membenci kelompok yang berbeda, dan bahkan melawan terhadap pemerintah yang sah dengan maksud mengganti sistem pemerintahan dengan sistem khilafah.

Fenomena ini, tentu saja, berimplikasi pada citra agama (Islam) itu sendiri. Tidak mengherankan, apabila wajah Islam oleh sebagian orang dianggap agama yang suka berperang, penuh kekerasan, tidak toleran, dan lain sebagainya.

Padahal, dalam konteks ini agama (Islam) tengah dibajak (dijadikan instrumen) demi keuntungan pragmatis sekelompok orang. Dan aktivitas ceramah atau dakwah yang dilakukan seolah-olah menjadi ajang untuk mereproduksi ideologi radikal. Di sinilah, pentingnya kita mewaspadai bahkan menolak segala bentuk ceramah yang dapat memecah belah bangsa ini. Sebab, jika dibiarkan berlanjut, bukan tidak mungkin hal ihwal akan melahirkan problem sosial yang lebih besar. Wallahu A’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan