Urgensi Memahami Aswaja di Alam Demokrasi

1,297 kali dibaca

Indonesia merupakan negara heterogen, mulai dari ras, suku, budaya, agama, hingga kepercayaan. Perbedaan tersebut terangkum dalam satu semboyan Bhineka Tunggal Ika dalam wadah Pancasila dengan UUD sebagai aturan dalam melaksanakan kewajiban sebagai warga negara.

Dalam UUD, semua warga negara Indonesia di mata hukum memiliki kedudukan yang sama. Kebebasan untuk berekspresi dan berpendapat pun diatur dengan seimbang sehingga semua warga memiliki hak yang sama.

Advertisements

Secara teoretis, kebebasan yang diberikan kepada para warga negara sudah baik, yaitu untuk tidak membedakan satu sama lain. Akan tetapi, realitas yang terjadi malah menimbulkan sebuah ketegangan bahkan mengarah ke perpecahan dan pertikaian baik karena agama atau kepercayaan. Ketegangan yang dikarenakan perbedaan kepercayaan selalu menjadi perhatian pemerintah, ahli, akademisi, dan berbagai kalangan lainnya.

Pemerintah tidak begitu ikut campur mengenai sebuah perbedaan kepercayaan terutama kepada kelompok tertentu. Hal demikian sifatnya pribadi. Bagi pemerintah, yang terpenting masih mau mengaku sebagai WNI dan berideologi Pancasila dan melaksanakan UUD. Serta ikut membantu membangun negara menuju ke arah yang lebih baik dari sebelumnya. Akan tetapi, pemerintah akan mengambil sikap ketika perbedaan kepercayaan itu mengarah untuk merusak keutuhan negara.

Terlepas dari itu semua, perbedaan keyakinan yang terjadi lebih spesifik ke persoalan aliran atau paham (organisasi) keagamaan sangatlah wajar karena, seperti  disabdakan Nabi Muhammad, bahwa iftaraqa al-ummat pasti akan terjadi dan semuanya nanti akan memperebutkan satu kalimat, yaitu ahlussunnah waljamaah (Aswaja). Semua paham keagamaan mengaku bahwa mereka adalah Aswaja. Akan tetapi, banyak yang dalam praktik serta manhaj berpikir dan bertindaknya tidak sesuai dengan Aswaja.

Di sisi lain, beberapa aliran tidak memperebutkan persoalan Aswaja, melainkan mereka lebih mempersoalkan bahwa aliran yang mereka bawa nantinya akan menyelematkan mereka dari jurang kesesatan. Beragam cara yang dilakukan dalam menyuarakan alasan keselamatan, di antaranya; klaim kebenaran, ibadah, jihad, bidah, dan sebagainya. Mereka juga memiliki jalan dakwah serta peraturan organisasi yang jelas dan terstruktur rapi. Akan tetapi, dari itu semua mereka hanya menjustifikasi kelompok merekalah yang benar sedangkan yang lain ialah tidak benar alias sesat.

Organisasi keagamaan yang dinilai sesuai dengan Aswaja dan tidak menyesatkan organisasi atau kelompok lain ialah Nahdlatul Ulama (NU). NU merupakan paham keagamaan yang berideologi Aswaja serta tidak saling menyesatkan golongan lain bahkan mengkafirkan antarsesama. NU merupakan ormas terbesar di Indonesia atau dapat dikatakan hampir semua warga Indonesia mengikuti organisasi NU atau sebagai nadliyin.

Di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara yang begitu bebas berekspresi dan berkeryakinan dalam bingkai demokrasi ini mengakibatkan munculnya pelbagai organisasi keagamaan atau aliran, ibarat jamur di musim hujan. Aliran-aliran keagamaan tersebut ada yang lurus dan ada pula yang sesat, menyimpang, dan bertentangan dengan akidah Aswaja. Mereka memiliki sebuah konsep dakwah guna untuk menyebarluaskan paham yang mereka yakini guna menarik simpati orang lain untuk ikut dengannya. Aliran yang sesat menyesatkan yang menjadi ancaman serius bagi eksistensi Aswaja.(hal.xii-xiii).

Oleh karenanya, hadirnya buku berjudul Aswaja; Pedoman Untuk Pelajar, Guru, dan Warga NU ini dimaksudkan untuk menjawab persoalaan tersebut. Alasan tambahan yang disematkan dalam terbitnya buku ini ialah karena minimnya pemahaman dalam memahami konsep-konsep agama Islam serta persoalan kemiskinan. Sehingga dari dua aspek inilah warga NU (nahdliyin) gamang untuk ikut terjerumus ke arah aliran-aliran lainnya (hal,xii).

Bagi kalangan nahdliyin, hadirnya buku ini sangat membantu untuk memahami Aswaja secara benar. Sebab, buku ini menjelaskan tentang berbagai persoalan yang sering kali menjadi perdebatan di antara berbagai aliran. Semisal; konsep syirik, konsep bidah, pemahaman tafa’ul dan tahayul, dan pemahaman manhaj takfiri.

Yang menarik, dalam buku ini juga disertakan penjelasan seputar sejarah munculnya pelbagai aliran, karakternya, serta perbedaannya dengan Aswaja. Bagian terakhir buku ini membahas tentang amaliyah-amaliyah yang dilakukan oleh warga NU yang acapkali sering dikatakan salah oleh kelompok atau aliran lain.

Salah satu contoh kelompok atau aliran yang menyatakan bahwa dirinyalah kelompok yang benar ialah Salafi-Wahabi. Mereka mengklaim bahwa dirinya merupakan golongan yang ingin menghidupkan ajaran ulama salaf (Aswaja) yang tujuannya untuk menyelamatkan umat Islam dari “badai kesesatan” yang melanda dunia Islam saat ini. Seringkali kelompok ini menyatakan bahwa selain dari kelompok mereka tidak mendapat jaminan keselamatan. Sehingga konsekuensi dari ini ialah menafikan kelompok lain. Artinya, kelompok mereka yang benar dan lainnya sesat (hal.91).

Paham ini ialah kontruksi dari aliran Wahabi yang dibawa oleh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab yang telah mengalami kegagalan. Sehingga dibumbui dengan kata salafi guna untuk mencari simpati dari umat Islam dengan konsep dakwah yang terpuji, memerangi syirik, penyembahan berhala, pengultusan kuburan, serta membersihkan Islam dari bidaah dan khufarat. Akan tetapi, mereka salah kaprah dalam penerapannya, bahkan dapat dikatakan melenceng dari ajaran Islam itu sendiri (hal.93).

Contoh kecil mengenai perbedaan antara aliran Salafi-Wahabi dengan Aswaja dapat dilihat dari perbedaan pemahaman mengenai perbedaan paham yang dianut oleh umat Islam. Aliran Salafi-Wahabi langsung mengkafirkan orang lain yang tidak sepaham dengan dirinya. Sedangkan Aswajatidak demikian (hal.101).

Kemudian terkait amaliyah atau tradisi kaum nahdliyin (NU), dalam buku ini dijelaskan dengan dalil-dalil yang menguatkan akan hal tersebut. Salah satu contohnya terkait tawasul dan istighasah bahwa hal ini sudah berkembang sejak zaman ulama salaf, sahabat, dan tabi’in. Tidak seorang pun yang melarang hal demikian ini. Salah satu dalilnya ialah apa yang disampaikan oleh Ibn Taimiyah dalam kitabnya Al-Kalim ath-Thayyib dalam halaman 173. Di sana diterangkan bahwa pasal tentang kaki terkena mati rasa. Dari al-Haytsam ibn Hanasy, ia berkata, ‘Kami bersama Ibn Umar ra. Tiba-tiba beliau terkena mati rasa, maka salah seorang yang hadir mengatakan kepada beliau: ‘Sebutkanlah orang yang paling engkau cintai’ lalu Ibn Umar berkata: Ya Muhammad,’ maka seketika itu kaki beliau sembuh (hal.289).

Contoh lain mengenai dalil-dalil istighasah dan tawasul dalam kitab karangan Ibn Taimiyah pula dengan judul Qa’idah Jalilah fi at-Tawassul wa al-Wasilah halaman 183 dan kitab lainnya berjudul Iqtidha ash-Shirath al-Mustaqim halaman 373.

Secara keseluruhan, buku ini sangatlah berguna bagi kalangan nahdliyin yang sering mengalami pergulatan pemikiran dengan golongan lain. Terlebih jika kalangan nahdliyin tersebut bisa mematahkan argumennya nantinya mereka diajak untuk berpindah haluan dalam berkeyakinan. Akan tetapi, dalam buku ini tidak disertai penjelasan tentang golongan Syiah dan Islam Liberal (Meskipun hal ini sudah dijelaskan dalam muqaddimah buku ini.). Karena dua kelompok ini yang sering kali bermasalah dengan warga nahdliyin.

Data Buku

Nama Buku       : Aswaja; Pedoman Untuk Pelajar, Guru, dan Warga NU
Penulis              : Dr. KH Asep Saifuddin Chalim, M.A
Editor                 : Andriansyah Syihabuddin, S. Th. I dan Hijrah Saputra, S. Hum.
Tahun Terbit      : 2017
Penerbit            : Erlangga (Hak Cipta), diterbitkan oleh Emir
Nomor ISBN     : 978-602-0935-75-1
Tebal                 : 320 Halaman

Multi-Page

Tinggalkan Balasan