Umat dan Siapa Kita

817 kali dibaca

Umat. Kepada siapa sesunguhnya kata ini menuju. Dan siapa yang diwakili olehnya atau menjadi representasinya.

Pada masa Nabi Muhammad, atau setidaknya hingga masa Khulafa ar Rasyidin, alamat yang dituju oleh kata ini sangat jelas: orang-orang yang beriman atas kenabian dan kerasulan Muhammad. Tapi setelahnya, lebih-lebih pada masa belakangan, ia lebih terbaca sebagai konsep yang abstrak, dan alamat yang dituju oleh kata ini justru kian bercecabang.

Advertisements

Berasal dari Bahasa Arab, ummah, umat ternyata memiliki banyak arti dan maksud yang dituju, termasuk yang tersebut di dalam al-Quran. Dalam bentuk tunggal, al-Quran menyebutnya sebanyak 52 kali, dengan berbagai variasi arti dan maksudnya. Ia bisa berarti “masyarakat” atau “bangsa”. Tapi ada juga yang mengartikannya “menuju”, “menumpu”, atau “meneladani”. Dari akar kata yang sama, ummah bisa berubah menjadi um yang berarti “ibu” dan imam yang berarti “pemimpin”.

Karena itu, Ad-Damighani menyebut, kata umat setidaknya memiliki sembilan arti. Ia bisa berarti kelompok, kaum, generasi lalu, waktu yang panjang, pemimpin, agama (tauhid), umat Islam, orang-orang kafir, dan manusia seluruhnya.

Dalam khasanah keilmuan dan tradisi Islam, kata umat kemudian dipakai untuk menyebut seluruh orang-orang atau komunitas beriman, ummatul mu’minin, yang beriman kepada Allah sebagai Tuhan yang Esa dan kerasulan Muhammad. Sampai di sini alamat yang dirujuk terang-benderang. Tapi, ketika disebut sebagai umat yang satu, ummatul wahidah, ia menjadi konsep yang abstrak, sesuatu yang hanya bisa dibayangkan, diimajinasikan.

Seperti halnya pada soal sistem kenegaraan dan pemerintahan, Nabi Muhammad juga tidak meninggalkan warisan yang baku tentang bagaimana mengelola “sistem keumatan” ini —bahkan menyatukannya sebagai umat yang satu dalam praksis. Sebab, dalam praksis, umat Islam memang tak pernah “satu sebagai kesatuan”. Bahkan, sejak Nabi hijrah dari Mekkah ke Madinah, irisan-irisan atau cecabangnya sudah mulai muncul dengan adanya sebutan kaum Muhajirin dan kaum Anshor.

Selama masih ada Nabi Muhammad, seluruh kaum beriman ini, umat, yang masih menjadi satu kesatuan di bawah bendera kerasulan. Namun setelahnya, ketika para khalifah berganti, kesatuan umat itu mulai cair dan semakin mencair seiring munculnya banyak firqah atau aliran-aliran dalam Islam.

Praktis, dalam praksis, apa yang disebut sebagai umat yang satu, ummatul wahidah, benar-benar hanya bisa dibayangkan atau diimajinasikan. Apa yang semula disebut umat yang satu, kaum beriman, mulai terpecah-pecah ke dalam banyak firqah. Kalau kita berseru bahwa “kami umat Islam”, maka yang diwakili oleh seruan itu sebenarnya adalah orang-orang yang berada di barisan yang sama, di bawah panji firqah yang sama. Sejak itu, sebutan umat tidak lagi mewakili kesatuannya, keseluruhannya.

Dalam sejarah modern, berbagai upaya telah dilakukan oleh banyak kelompok untuk mencoba menyatukan umat Islam di bawah satu bendera, apakah itu bendera kenegaraan atau bendera keagamaan, tapi tetap tak bisa terwujud, baik dengan pedang atau pun bedil —sekali lagi, hanya bisa dibayangkan atau diimajinasikan.

Ini, misalnya, berbeda dengan istilah “rakyat” atau “the people” yang muncul dalam negara modern, nation state. Dalam praksis, tersedia sistem yang bisa mewakili atau sebagai representasi dari apa yang disebut “rakyat” atau “the people”, dan itu legitimate. Mekanismenya melalui pemilihan umum, dan orang-orang yang terpilih sebagai legislator, senator, atau wakil rakyat memiliki hak dan kewenangan untuk mewakili dan berbicara atas nama rakyat (the people) secara sah dan legitimate. Ada institusi atau lembaga atau simbol-simbol yang menjadi representasi the people itu. Di Indonesia kita mengenalnya dengan sebutan Majelis Permusyawartaan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Karena itulah, dalam Islam sesungguhnya tidak ada orang, kelompok orang, atau institusi yang secara legitimate merupakan representasi dan mewakili keberadaan umat dalam pengertiannya yang menyeluruh; seluruh umat Islam. Kalau sekarang, misalnya, ada orang, atau sekelompok orang, atau institusi apa pun, berseru “kami umat Islam” atau “atas nama umat Islam”, pasti yang dirujuk sebenarnya adalah dirinya sendiri dan anggota kelompoknya.

Lihatlah, misalnya, apa yang ditradisikan oleh dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Sejak dari awal, NU tak pernah berpretensi menjadi representasi dan mewakili umat Islam secara keseluruhan. Karena itu, anggota NU disebut nahdliyin, merujuk pada anggota atau jamaah NU. Begitu juga dengan Muhammadiyah, yang anggotanya disebut jamaah Muhammadiyah. NU dan Muhammadiyah, ketika mengeluarkan seruan, pasti untuk dan atas nama warga nadhliyin atau jamaah Muhammadiyah. Tak pernah mengatasnamakan umat Islam seluruh Indonesia, atau bahkan dunia.

Apa yang ditradisikan NU dan Muhammadiyah membuktikan bahwa memang tidak ada sistem dan mekanisme representasi keumatan dalam Islam. Eksistensi umat benar-benar cair. Begitu bersyahadat, kita telah menjadi bagian dari umat. Tapi itu tak mambuat kita punya hak untuk berbicara atas nama umat dan menjadi representasinya. Maka, jika akhir-akhir ini banyak orang, atau sekelompok orang, sering berbicara atas nama umat dan mengaku-ngaku mewakili umat, kalau bukan karena kesombongan ya pasti kebohongan.

Mungkin, jika bisa disebut demikian, satu-satunya representasi umat Islam sebagai ummatul wahidah adalah pemandangan ketika jutaan orang melepas semua atributnya dan kemudian mengelilingi Kakbah di bulan haji.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan