Ukhuwah Islamiyah, untuk Siapa?

4,268 kali dibaca

“Ukhuwah Islamiyah itu bukan persaudaraan sesama muslim, tetapi persaudaraan muslim  dengan non-muslim. Persaudaraan yang didasari oleh kemusliman demi mewujudkan rahmat lil alamin”, tegas KH Wahab Zarkasy menanggapi pandangan seorang santri senior (ustadz) dari pesantren di Polmas dalam sebuah halaqah budaya di Makassar pada 2006. Kontroversi, memang, penafsiran kiai dari pesantren DDI Mangkoso, Barru, Sulawesi Selatan, ini jika ditarik garis pemaknaan umum yang selalu diungkap para dai, mubaligh, juru khutbah, dan kebanyakan ulama.

Tetapi, juga masuk akal. Bukankah dari sudut bahasa, misalnya, ukhuwah Islamiyah adalah rangkaian dua kata yang berjalin shifat-maushuf, berarti persaudaraan yang Islami, bukan persaudaraan sesama atau di antara para muslim. Ia adalah seperangkat etik sosial dan kultural yang sesuai dengan misi kehadiran Islam bagi kehidupan eksternal kaum muslim.

Advertisements

Ukhuwah Islamiyah, dalam arti shifat-maushuf tadi, adalah tata-gaul atau tata-krama yang mengikat setiap muslim ketika berhadapan dengan pemeluk agama dan pemangku adat yang berbeda. Bukankah, jika yang dikehendaki adalah solidaritas sesama kaum muslim, kata ikhwanul muslimin lebih tepat, sekali lagi dari sudut bahasa.

Dengan demikian, ia lebih untuk kepentingan eksternal, bukan untuk kepentingan internal kaum muslim seperti yang selama ini dimaknai dan diyakini. Bagaimana kaum muslim memandang, menyikapi, dan menggauli apa dan siapa pun yang berbeda dari dirinya dengan semangat memberi manfaat dan rahmat (misi Islam yang paling utama) adalah substansi dari ukhuwah Islamiyah. Dan manfaat maupun rahmat di sini pun tidak mungkin atas dasar klaim sepihak, melainkan sangat menyentuh atau terkait dengan eksistensi dan hak-hak yang bukan saja tak mungkin disumbat atau dipasung, tetapi juga mesti dihormati, dan dijamin eksistensinya.

Tentu saja penekanan pada pemberian manfaat dan rahmat tidak dalam pengertian mengalah dan kehilangan diri. Justru dengan itu, seorang muslim yang konsisten melakukan ukhuwah Islamiyah akan lebih menampakkan kemuslimannya. Bukankah tanda terpenting dari Islam itu sendiri adalah rahmat lil alamin dan tegaknya akhlaq al-karimah.

Entah bagaimana cerita awalnya, ukhuwah Islamiyah kini, seperti yang dikumandangkan kebanyakan mubaligh dan khatib Jumat, hanya untuk menggalang persaudaraan dan solidaritas sesama muslim. Bahkan tak jarang ungkapan itu diserukan justru ketika, seolah-olah, menghadapi orang lain atau malahan [yang dianggap] musuh dari luar. Rangkaian shifat-maushuf itu kemudian diyakini sebagai tali-erat, saling membahu, persatuan – dan kesatuan – di antara sesama muslim yang secara teologis menjadi niscaya. Bukankah kita sering mendengar ungkapan itu mengemuka dari seorang muslim saat percakapan mengenai hubungan muslim-nonmuslim atau bahkan siapa dan apa pun (yang dianggap musuh muslim).

Sangat politis memang perumusan dan pemaksaan itu, dan implikasinya pun menukik ke relung kemusliman yang terdalam. Meski dengan kadar yang berbeda, nalar dan psikologi kebanyakan kaum muslim yang mendengar seruan memperkokoh ukhuwah Islamiyah tergiring untuk merumuskan identitas dan tergugah menegaskan imajinasi ingroup dan outgroup, “kami” dan “mereka”, atau minna dan mink[h]um, diri dan sang liyan.

Dua kategori yang bukan saja berbeda tetapi juga berlawanan dan berposisi biner. ”Kami adalah…” dan “mereka adalah…” merupakan rumusan terakhir dari implikasi diserukannya ungkapan diatas yang tak mustahil akan mempengaruhi tindak sosial dalam kehidupan lebih konkret, sebuah kenyataan yang dalam situasi tertentu menjadi sangat serius. Ukhuwah Islamiyah, kemudian, ternyata menjadi semacam pembangkit semangat bahkan etik untuk hidup terbelah, terkotak, dan eksklusif.

Bisa jadi ungkapan itu telah mengalami degradasi pemaknaan sedemikian rupa. Tetapi juga tak mustahil jika ungkapan itu sendiri memang muncul dalam setting politik tertentu dan untuk kepentingan politik tertentu pula. Persis seperti konsep Khilafah Islamiyah yang muncul di akhir masa Abbasiyah atau Daulah Islamiyah yang terbit setelah kaum muslim menderita kekalahan dari Turki Utsmani di awal abad 20. Seperti halnya ukhuwah Islamiyah yang memeroleh legitimasi teologis sebagai pembangkit semangat eksklusif, kedua ungkapan dan konsep yang terakhir itupun hingga sekarang sangat diyakini sebagai kebenaran negara Islam.

Tidak berlebihan, justru ukhuwah Islamiyah seperti yang diungkap Kiai Wahab di awal tulisan ini sangat relevan ketika sekat-sekat kehidupan manusia seperti sekarang ini menjadi semakin menipis dan batas-batasnya terlintasi. Kehidupan plural dan semakin menguatnya kenyataan multikultural di semua wilayah geografis menantang Islam – dan kita kaum muslim – untuk bukan saja menjawab persoalan-persoalan konseptual dan praksis ekonomi maupun politik, tetapi juga pergaulan antarsesama yang lebih manusiawi. Cara bergaul kaum muslim yang bermatra rahmat demi manusia dan kemanusiaan seperti yang dimengerti dari ukhuwah Islamiyah di atas merupakan kemestian apabila Islam dikehendaki tetap eksis sebagai rahmat lil alamin.

Multikultural dan pluralisme memang dianggap mengancam, merobek, dan memudarkan kemurnian dan keaslian Islam, paling tidak oleh sebagian kaum muslim. Tetapi, apakah demi kemurnian dan keaslian yang sepenuhnya imajiner itu, kita lalu mengorbankan kerahmatan termasuk dengan tetap mempertahankan ukhuwah Islamiyah sebagai pembangkit semangat eksklusif dan menyerukannya setiap saat? Ada baiknya kita renungkan kembali tafsir dan tesis Kiai Wahab tersebut.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan