Turun Gunung

852 kali dibaca

Saya langsung teringat sebuah buku yang sudah agak lama tersimpan rapi di lemari. Musababnya adalah ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merasa dirinya harus turun gunung.

SBY yang pernah menjadi presiden selama 10 tahun ini mengaku mengetahui, bahwa Pemilihan Umum yang baru akan dilaksanakan pada 2024 itu akan berlangsung secara tidak jujur dan tidak adil. Karena itu SBY harus turun gunung untuk membereskan situasi.

Advertisements

Pernyataan SBY tersebut disampaikan dalam Rapat Pimpinan Nasional Partai Demokrat di Jakarta pada Kamis, 15 September 2022. Pernyataan SBY itu kemudian diunggah di akun Tiktok @demokrat.sumut, lalu dikutip sejumlah media massa.

Pada bagian awal pernyataannya, SBY mengungkap alasannya kenapa ia merasa harus turun gunung. “Saya harus turun gunung menghadapi Pemilu 2024. Saya mendengar, mengetahui, bahwa ada tanda-tanda Pemilu 2024 bisa tidak jujur dan tidak adil.”

“Tanda-tanda” yang dimaksud oleh SBY tersebut adalah, konon, adanya skenario agar hanya ada dua pasangan calon presiden-wakil presiden pada Pemilu 2024. Skenario ini ditenggarai untuk menjegal partai-partai oposisi agar tidak bisa mengajukan calon presiden-wakil presiden.

“Jahat bukan? Menginjak-injak hak rakyat bukan? Pikiran seperti itu batil. Itu bukan hak mereka. Pemilu adalah hak rakyat, hak untuk memilih dan dipilih…,” demikian kutipan dari pernyataan SBY tersebut.

Apakah pelaksanaan Pemilu yang baru akan berlangsung dua tahun lagi, yaitu pada 2024, bisa dinilai hari ini? Apakah jika hanya ada dua pasangan calon presiden-wakil presiden berarti inkonstitusional dan batil? Bukankah pada pemilu-pemilu sebelumnya juga pernah hanya ada dua pasangan calon presiden-wakil presiden? Bukankah semua partai memang dibentuk untuk berebut kekuasaan, dan untuk itu antarpartai politik harus selalu siap beradu strategi dan skenario?

Tulisan ini tak berniat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Tulisan ini hanya ingin menempatkan pernyataan-pernyataan SBY tersebut dalam konteks penyelenggaraan demokrasi dalam sebuah negara demokratis. Itulah kenapa, begitu membaca pernyataan-pernyataan SBY tersebut, saya langsung teringat sebuah buku yang sudah agak lama tersimpan di lemari.

Buku yang saya maksud adalah karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt yang berjudul How Democracies Die. Buku ini kemudian diterbitkan oleh Gramedia pada 2019 dengan judul Bagaimana Demokrasi Mati. Buku ini merupakan hasil riset di berbagai negara yang dalam perjalanannya sistem demokrasi mati atau dimatikan.

Buku ini menggambarkan dengan gamblang bagaimana, di banyak negara, demokrasi akhirnya mati atau dimatikan. Di masa lalu, pembunuh demokrasi hanya satu: pemerintahan otoriter-totaliter. Caranya juga cukup satu: bisa dengan moncong meriam atau kudeta militer. Sekarang banyak cara yang bisa digunakan untuk membunuh demokrasi, di antaranya dengan cara-cara yang demokratis atau seolah-olah demokratis.

Sekali lagi, saya teringat buku ini karena pernyataan-pernyataan SBY tersebut sama persis dengan salah satu indikator yang disebut oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt sebagai tanda-tanda akan terjadinya pembunuhan atau pembusukan demokrasi. Yaitu, adanya tokoh-tokoh politik yang tidak siap kalah, dan jika kalah langsung mengaku sebagai pihak yang dicurangi, juga menuduh penyelenggara pemilu atau lawan politik melakukan kecurangan bahkan sebelum pertandingan dimulai.

Dalam pernyataan sederhana, kira-kira begini rumusannya: “Pokoknya, kalau aku kalah, atau calonku kalah, atau partaiku kalah, pasti telah terjadi kecurangan dan karena itu pemilunya tidak sah.” Bahkan, pernyataan seperti ini seringkali justru diungkapkan sebelum pemilunya sendiri dimulai. Menurut Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, kelompok yang sering membuat pernyataan seperti ini cenderung akan menolak hasil pemilu. Dan jika dikawinkan dengan indikator-indikator lain, gejala seperti ini akan mematikan demokrasi justru melalui cara-cara yang seolah-olah demokratis.

Mungkin, bagi sebagian orang, pernyataan-pernyataan seperti yang disampaikan oleh SBY itu adalah hal biasa. Mungkin sekadar pengingat atau juga “kebaperan” belaka. Mungkin sebagai “bumbu-bumbu” di alam demokrasi. Tapi, berdasarkan hasil riset Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, pernyataan-pernyataan seperti itu memiliki implikasi yang sangat serius, dan tujuan yang tendensius.

Sebab, jika pernyataan-pernyataan seperti itu, yang nota bene belum ada data dan bukti faktualnya, terus diulang di berbagai kesempatan, ia akan dipercaya sebagai kebenaran. Persis seperti sebuah hukum dari ungkapan lama: kebohongan yang diulang-ulang akan diperlakukan sebagai kebenaran.

Paling tidak, dalam derajat tertentu, sebagian publik akan mulai meragukan kredibilitas penyelenggara dan penyelenggaraan pemilu. Dalam derajat yang lain, opini publik akan digiring untuk mendelegitimasi penyelenggara dan penyelenggaraan pemilu, hingga pada puncaknya publik akan diajak untuk menolak hasil pemilu. Situasi seperti ini akan membuka peluang terjadinya kekacauan.

Kita tahu, seperti digambarkan dalam buku Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt tersebut, kekacauan bisa menjadi pintu masuk bagi kekuatan-kekuatan atau kelompok-kelompok antidemokrasi untuk mengambil alih kekuasaan. Siapa yang dirujuk sebagai kekuatan-kekuatan atau kelompok-kelompok antidemokrasi itu, Levitsky dan Ziblatt punya jawabannya. Setidaknya, kelompok-kelompok atau partai-partai politik yang memberi panggung kepada tokoh-tokoh yang ekstremis-radikalis, yang mengafirmasi tindak kekerasan, yang mengamini penebaran rasa benci terhadap kelompok lain, adalah bagian dari kekuatan antidemokrasi itu.

Dalam alam demokrasi, partai politik masih dianggap sebagai pintu terakhir yang konstitusional untuk menyaring masuknya orang atau kelompok kekuatan yang antidemokrasi demi berebut kekuasaan dalam suatu pemerintahan demokratis. Jika partai politik kebobolan atau malah memberi panggung kepada kekuatan-kekuatan antidemokrasi yang seringkali berwajah populis hanya demi mendulang suara, Levitsky dan Ziblatt memastikan bahwa demokrasi dalam bahaya. Pelan-pelan demokrasi akan mati atau dimatikan.

Karena itu, selain harus berkontestasi berebut dukungan rakyat dalam setiap pemilu, partai politik juga memiliki tugas lebih penting, yaitu membentengi diri agar tidak dimasuki atau disusupi kelompok-kelompok kekuatan yang antidemokrasi itu. Jangan malah memberi panggung.

Dalam konteks Indonesia, bisa jadi manuver partai-partai politik dalam membangun koalisi antarpartai menghadapi Pemilu 2024 dalam kerangka seperti yang diteorikan Levitsky dan Ziblatt tersebut: menutup pintu dari kelompok kekuatan antidemokrasi. Dengan demikian, tidak ada yang salah, dan tetap akan konstitusional, jika pada akhirnya yang muncul dalam Pemilu 2024 hanya dua pasangan calon presiden-wakil presiden, misalnya.

Dari kaca mata seperti inilah seharusnya kita memandang dinamika politik nasional menjelang Pemilu 2024. Tak perlu ada seorang negarawan yang harus turun gunung. Dan ini memang bukan ranahnya negarawan untuk turun gunung memasuki medan laga.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan