Tulah

247 kali dibaca

Sadarkah kau bahwa semua ini terjadi sebagai tulah atas perbuatanmu? 

Masih melekat dalam ingatanku sewaktu kekasihku limbung lalu meregang nyawa. Benturan tubuhnya dengan lantai terus mengiang di kepalaku dan bunyi gesekan saat kau melumatnya dengan sepatu begerigi menyulut bara di dada. Tinggal menunggu waktu menjadi api.

Advertisements

Ilustrasi: pikbest.

Asal kamu tahu. Bulan depan, kami berencana menikah. Kami telah merencanakan tanggal, waktu, dan tempat serta mahkota yang akan dia kenakan. Kami juga terbayang akan mendidik anak-anak kami, mengajaknya jalan-jalan sebagaimana yang kau lakukan pada anakmu dan istrimu dulu. Lihatlah, sekarang, istrimu itu, tengah menangis melihatmu terbujur kaku di rumah sakit dengan selang menancap di dada dan tanganmu. Kepalamu dibalut perban sampai hampir menutupi wajah. Aku melihat dia mengguncangkan punggung.

Kurasa, semuanya hampir sebanding dan tinggal menunggu dirimu meregang nyawa sebagaimana kekasihku waktu itu. Baru aku akan merasa impas jika kau mati. Aku memang belum merasa puas sebelum kau mati melalui jamahan kaki-kakiku. Aku bernyanyi-nyanyi saat ini. Puasa dan doa-doaku yang kupanjatkan dari langit-langit sudut kamarmu terkabul. Aku bermunajat pada Tuhan semoga kau cepat mati agar jeritan pilu kekasihku segera sirna dari kepala, meski sebenarnya aku bisa terbang ke mana saja.

Aku heran. Entah mengapa kau tidak hirau pada jamahan kaki-kakiku di atas rambutmu malam itu atau kau memang tidak mendengar doa-doa yang kurapal sebelum kau mengempasku ke lantai. Tetap saja, kau bersikeras untuk pergi malam Jumat itu padahal istrimu, Rasih, sudah mengingatkanmu. Tangannya saling kepal. Dia merasa cemas. Aku bersaksi bahwa dia adalah perempuan yang tak akan menjadi benalu. Dia bagai anggrek yang hidup dalam comberan.

“Mas, kenapa kau…”

“Diam atau kusobek mulutmu!!” Beberapa jenak kemudian, terdengar deru mesin meninggalkan halaman.

Halaman: First 1 2 3 ... Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan