Tukang Sayur dan Impiannya

1,396 kali dibaca

Kurang apalagi, sudah bekerja dari pagi hingga malam, sarapan singkong rebus, makan cuma sekali sehari, sampai-sampai terlampau pelit pada diri sendiri, tapi masih miskin juga. Lagian, siapa yang ingin hidup miskin? Sudah miskin harta, miskin muka pula. Duh, nasib-nasib. Tetapi, memang benar kata orang bijak yang sering manggung di acara seminar-seminar; bahwa tidak guna ada meratapi nasib.

Mau bagaimana lagi, gelar sarjana yang aku dapat setahun lalu hanya menjadi pajangan semata. Makin kompleks ketika aku mendapat gelar itu saat Corona sedang merebak tinggi-tingginya. Akhirnya, menghidupi diri sendiri dengan berjualan sayur keliling adalah jalan terbaik daripada mati kelaparan.

Advertisements

Sudahlah, kelamaan mengeluh, sayuranku malah tidak ada yang beli. Aku gegas berkeliling kampung, usai merapikan barang dagangan di rombong sayur. Hari masih terlampau pagi, namun aku tak mau rezekiku dipatuk ayam. Dari rumah ke rumah, dari kampung ke kampung, aku jelajahi tiap sudutnya. Ya mau bagaimana lagi kalau tidak begitu, tidak akan habis sayuranku.

Menjadi tukang sayur membuatku selalu update berita di kampung. Tentulah karena ibu-ibu sering lupa mengerem bibirnya ketika sedang bergosip. Kadang si Mirna, janda kaya itu, selalu menjadi bulan-bulanan mereka. Ibu-ibu takut kalau si Mirna akan menggoda suami mereka. Sampai-sampai menuduhnya memelihara pesugihan. Padahal yang kutahu, Mirna adalah seorang operator online shop. Ia jarang ke luar rumah karena memang bekerja dari rumah. Ada pula yang sedang hangat-hangatnya, perihal harga minyak goreng yang setara emas. Sedangkan, aku hanya diam sembari melayani mereka dengan baik.

Sepuluh menit perjalanan, sudah ada kerumunan ibu-ibu di depan gang. Mereka sudah menjadi pelanggan tetap. Seperti biasa, mereka antusias menyambut kadatanganku. Seperti biasa, ibu-ibu tersebut langsung berebut memilih dan memilah sayuran yang masih segar.

“Anakku kemarin katanya mau ikut CPNS tahun ini. Doain ya semuanya, semoga anakku berhasil,” Bu Wati memulai pembicaraan sembari membandingkan beberapa ikat kangkung untuk dipilih mana yang lebih besar ikatannya. Kemudian, disambut ibu-ibu lainnya dengan mengamininya. Tiba-tiba, Bu Dian menyenggol lenganku.

“Mas Fahmi enggak ikut tes CPNS juga? Sayang, loh, ijazahnya kalau cuma disimpan di lemari,” celetuknya.

Perkataan Bu Dian membuatku tercekat. Aku masih diam, seolah tak peduli dengan apa yang sedang diperbincangkan. Tetapi, dalam hati aku mulai memikirkan perkataannya. Sementara Bagas, anak Bu Wati, saja ikut melamar CPNS, masa aku enggak? Sebenarnya tak heran kalau Bagas ikut melamar CPNS, apalagi notabene dia adalah anak Pak Lurah. Tentu orangtuanya menginginkan anaknya menjadi orang yang lebih sukses daripada dirinya, termasuk pegawai negeri.

Aku mengenal Bagas sedari kecil, karena memang kami satu angkatan sejak SD. Namun, Bagas selalu lebih beruntung daripada aku. Bagas sudah kaya sejak lahir, sedangkan aku hanya anak petani biasa. Tidak hanya masalah materi, dalam hal percintaan pun Bagas selalu mengungguliku. Maya, perempuan idaman yang sudah aku incar sejak SMA, dlebih memilih Bagas daripada aku. Alasannya karena Bagas dinilai lebih pintar, sedangkan aku tidak pintar, tetapi juga tidak terlalu bodoh. Namun, tetap saja, posisiku masih di bawah Bagas.

Setelah ibu-ibu tersebut selesai berbelanja, aku lanjut berkeliling ke tempat lainnya. Saat itu pula aku masih merenungkan kembali perkataan Bu Dian. Kupikir-pikir benar juga. Gelar sarjana ekonomi yang kudapat tahun lalu tidak berarti apa-apa kalau akhirnya hanya menjadi tukang sayur. Belum lagi penghasilannya tidak menentu. Kalau menjadi PNS, kan, bisa hidup enak dan ada jaminan pensiun untuk hari tua.

Suatu ketika akhirnya aku mencoba peruntungan dengan melamar CPNS. Usai seleksi administrasi dinyatakan lolos, berhari-hari aku memutuskan untuk berhenti jualan. Waktuku untuk persiapan menghadapi ujian SKD. Siang malam aku belajar. Terus belajar. Tak kenal waktu.

Saat ujian tiba, aku mengerjakan soal semampunya. Sisa dua menit, aku klik selesai, lantas nilai langsung muncul. Aku hanya catat begitu saja di kartu ujian. Aku tidak bisa berpikir lagi, kepalaku benar-benar pening. Tiba di luar ruangan, Bagas, yang kebetulan tes di hari yang sama denganku,  menanyakan nilaiku. Aku tidak banyak bicara, kuserahkan saja kartu ujian tadi padanya.

Aku memijat-mijat kening untuk mengurangi rasa sakit. Beberapa saat kemudian, Bagas kembali membuka suara, “Sepertinya kamu harus banyak belajar lagi,” celetuknya usai mengamati nilai dalam kartu ujianku.

Rupanya ia telah menghitung nilaiku. Dari hasil analisanya, ternyata nilai tersebut belum mencapai passing grade. Aku melirik sebentar, benar saja, kemungkinan untuk lulus sangat berat. Aku bergeming sambil merenung. Dada terasa sesak. Agak berat di tengkuk belakang. Sebelum pulang, aku istirahat sejenak di tempat yang agak sepi sambil menyulut sebatang rokok.

Semenjak saat itu, pikiranku benar-benar kalut. Seiring berjalannya waktu, sembari menunggu pengumuman kelulusan, aku hanya terlunta-lunta di rumah. Bahkan, untuk berjualan sayur pun tidak ada hasrat sama sekali.

Ketika pengumuman tiba, aku sama sekali tidak bernafsu membuka akun SSCASN. Sebab, mustahil rasanya aku akan lulus. Saat itu pula, Bagas sedang bersamaku. Ia memaksaku untuk segera membuka pengumuman hasil SKD. Aku tidak mau. Bagas terus memaksa. Ia menawarkan diri untuk membuka akun SSCASN-ku melalui gawainya. Akhirnya, aku menyetujui dan memberinya akses.

Sepersekian detik kemudian, Bagas menepuk pundakku, “Sabar ya, Mas, masih ada tahun depan, kok,” katanya menguatkanku.

Sudah kuduga hasilnya tidak sesuai harapan. Aku berusaha mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan balik hasil ujiannya. Kulihat dia tenang-tenang saja sedari tadi. Terlintas dalam benakku bahwa Bagas telah dinyatakan lolos. Kalau pun benar, aku harus berlapang dada, tanpa rasa iri.

“Kalau aku sih jelas nggak lolos, Mas. Ya tapi enggak apa-apa, soalnya kemarin bapak sudah ngomong sama Pak Camat, buat nawarin aku kerja di kantor kecamatan,” tandasnya.

Entah mengapa perkataan Bagas membuat ulu hatiku nyeri. Nyeri sekali. Sesaat kemudian, aku teringat gerobak sayurku yang barangkali sudah berdebu karena lama tidak dipakai jualan. Esok akan kubersihkan.

Pacitan, November 2021.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan