Masyarakat akar rumput, remaja pedesaan, pedagang kecil, buruh tani, buruh lepas, hingga orang miskin perkotaan kini seolah mendapat “angin harapan” di tengah arus digitalisasi.
Platform-platform media sosial, seperti: YouTube, Facebook, Tiktok, dan Instagram, menjadi wadah untuk mengekspresikan diri. Bukan hanya mengekspresikan diri, lebih dari itu bahkan sampai “mendagangkan diri”.

Apa yang saya maksud “mendagangkan diri” adalah, menjadikan diri sendiri atau mengekspos urusan privat (domestik) ke ruang publik, untuk meraup pendapatan. Tubuh menjadi alat komoditi. Viralitas dianggap sebagai jalan pintas, untuk keluar dari lingkar kemiskinan.
Fenomena ini, disebut oleh Byung Chul Han, sebagai The Transparency Society (masyarakat transparansi). Kaburnya batas, antara ruang privat dan ruang publik dalam masyarakat.
Viralitas dan Jeratan Kemiskinan
Tentu saja, persoalan ini tidak berdiri sendiri. Ia terkait satu sama lain. Mulai dari keterbatasan akses pendidikan, kurangnya lapangan kerja, hingga jeratan kemiskinan.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik, diketahui bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia mencapai 9,36% atau sekitar 26,36 juta jiwa. Kemudian, sebanyak 7,45 juta jiwa yang tidak mendapatkan pekerjaan (pengangguran). Serta sekitar 3,98 juta jiwa mulai usia 16 sampai 24 tahun tidak melanjutkan pendidikan maupun bekerja (BPS, 2024).
Di tengah ketidakpastian hidup tersebut, negara seolah lepas tangan dari persoalan rakyatnya. Pada saat yang sama, media sosial hadir menawarkan ilusi, bahwa viralitas dapat mengangkat derajat ekonomi mereka.
Maka, tontonan seperti: prank merendahkan diri, konflik keluarga, aib suami istri, joget-joget vulgar, dan sebagainya, menjadi ramai memenuhi beranda-beranda media sosial kita hari-hari ini.
Prinsipnya, semakin ramai pemirsanya, maka semakin besar pula penghasilan yang akan didapatkan. Sebab, logika ekonomi-kapitalisme tidak membayar berdasarkan kualitas, tapi berdasarkan kuantitas atau viralitas. Dan algoritma media sosial cenderung lebih mengarusutamakan konten-konten kontroversial daripada konten-konten yang bersifat edukatif.
Kehadiran Negara
Dalam situasi ini, individu-individu yang viral dengan cara-cara ekstrem disalahkan karena dianggap menabrak norma-norma sosial. Tetapi, tanpa memperhatikan struktur sosial yang melingkupi mereka, menurut saya, juga kurang bijak. Sebab masalahnya bukan sekadar soal personal, melainkan persoalan struktural.
Oleh karena itu, sebelum turut andil dalam menyalahkan individu-individu yang dianggap telah menodai nilai-nilai, atau norma-norma yang dianut di masyarakat, terlebih dahulu saya ingin mendudukkan persoalan bahwa negara punya tanggung jawab dalam masalah ini.
Negara tidak boleh lepas tangan. Negara, tidak boleh hanya memberi judgement, kemudian sekadar menetapkan sanksi kepada para pelanggar (atau yang dianggap melanggar). Tetapi, lebih dari itu harus ada upaya untuk menyelesaikan persoalan dari akarnya yang paling fundamental, yakni: pendidikan, pekerjaan, dan kesejahteraan.
Negara wajib menjamin kemudahan akses terhadap pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali. Selanjutnya, menciptakan dan memperluas lapangan pekerjaan yang produktif dan berkelanjutan. Serta menciptakan dan menjalankan kebijakan yang mendukung terciptanya kesejahteraan bagi masyarakatnya. Semua itu sejatinya merupakan amanat dari konstitusi.
Dengan demikian, ketika masyarakat terdidik dengan baik, bekerja dengan layak, dan kehidupan ekonominya terjamin, mereka tidak perlu lagi mendagangkan diri untuk memperoleh kesejahteraan hidup.
Harapan Kita
Setelah melakukan ikhtiar ini, kita berharap, semoga fenomena mengeksploitasi diri-sendiri yang kita saksikan hari-hari ini bisa diminimalisasi atau bahkan tidak ada lagi.
Semoga setiap individu masyarakat Indonesia memiliki kesadaran secara kolektif untuk mengisi ruang digital dengan cara yang bermartabat. Aamiin.*