Trilogi Pemikiran Abah Kiai Siddiq Pungging

4,766 kali dibaca

Pesantren merupakan salah satu kawah candradimuka dalam mendidik santri, lebih-lebih di tengah maraknya teknologi yang canggih dan serba instan. Pendidikan yang ditanamkan di pesantren memberikan pengaruh positif dalam diri santri secara komprehensif, meliputi cara bersosial, beretika dengan yang lebih tua, dan seni berkomunikasi sesama maupun dengan para guru.

Kondisi demikian dipengaruhi tidak lain dengan hadirnya sosok kiai/guru/pengasuh yang menjadi role model dalam menjalankan aksentuasi kehidupan pesantren sebagaimana mestinya. Role model yang dilihatnya membawa segenap santri meniru tingkah laku serta gaya sosok yang ada pada diri pengasuh pondok. Kondisi demikian mengantarkan santri mencapai titik puncak kesuksesan dalam berakhlak sebagai seorang santri.

Advertisements

Seperti halnya sosok Dr KH Ahmad Siddiq SE, M.M, pengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam Pungging Mojokerto, Jawa Timur. Di tangan Abah Kiai Siddiq, sapaan KH Ahmad Siddiq, Pesantren Nurul Islam pelan-pelan mampu membentuk akhlak santri yang berkualitas, mampu mengimbangi kondisi zaman serta tetap memegang teguh nilai-nilai pesantren seperti yang sudah ditetapkan.

Seperti yang sudah jamak dipahami bahwa pendiri Pondok Pesantren Nurul Islam Pungging Mojokerto ini mengambil pola pembentukan karakter santri dengan menggabungkan metode salafiyah terintegrasi dengan kurikulum pendidikan nasional yang unggul. Dengan begitu, Pondok Pesantren Nurul Islam tidak hanya sebagai institusi pendidikan semata, melainkan juga sebagai lembaga kepelatihan, keilmuan, bimbingan keagamaan, pemberdayaan masyarakat, dan pada gilirannya menjadi simpul budaya.

Dalam tulisan ini, saya mencoba mengulas bagaimana pemikiran Abah Kiai Siddiq sebagai pengasuh sekaligus ulama Mojokerto yang intelek. Dalam beberapa kesempatan ceramah, Abah Kiai Siddiq mengulas tentang trilogi pemikiran khas Nurul Islam, yaitu olahrasio, olahrasa, dan olahraga.

Ketiga konsep trilogi semacam itu ditanamkan sedini mungkin kepada segenap santri baru secara khusus dan seluruh civitas akademika Nurul Islam dari berbagai jenjang pendidikan. Dalam konteks akademis, ketiga konsep tersebut mencerminkan bagaimana Abah Kiai Siddiq menggabungkan aspek rasional sebagai panglima dalam melihat realitas kehidupan dengan menekankan aspek intuisi yang tertanam pada diri santri melalui olah tirakat maupun aurod- aurod khusus yang dibaca setelah salat dengan tetap menanamkan bahwa kesehatan menjadi sangat penting dalam menggabungkan semuanya.

Dalam beberapa pertemuan dan ceramahnya, Abah Kiai Siddiq memaparkan tentang pentingnya rasionalitas sebagai harga mati yang harus dioptimalkan pada diri santri. Tidak heran ketika trilogi konsep tersebut dilihat dalam perspektif akademis mempunyai relasi dan titik temu dengan konsep pemikir Timur Tengah, Mohammad Abed Al-Jabiri dengan trilogi konsepnya, bayani, irfani, dan burhani yang sama-sama saling terkait satu dengan lainnya.

Abah Kiai Siddiq menekankan pertama adalah olahrasio. Tidak berlebihan jika olahrasio menempati deretan pertama mengingat banyak teks-teks kitab suci dan juga qaul ulama tentang rasio/akal manusia. Bahkan, dalam literasi pesantren, manusia disebut hayawan natiq, hewan yang berfikir, makhluk yang mengoptimalkan daya nalarnya. Bahkan, di dalam Al-Quran  seringkali disebut afala tatafakkarun, afala ta’qilun, dan lain sebagainya.

Dalam pemahaman saya, landasan teologis inilah yang mengilhami pemikiran Abah Kiai Siddiq dalam merumuskan santri Nurul Islam untuk mendayagunakan akal/rasionalitas secara maksimal. Karenam hanya dengan akal pikiranlah yang membedakan dengan makhluk yang lainnya.

Kedua, olahrasa. Dalam penafsiran saya, olahrasa ini lebih cenderung kepada bagaimana amaliyah santri yang bersifat eskatologis/ukhrawi. Para santri ditekankan untuk disiplin dalam melaksanakan perintah agama beserta amaliyah sunnah lainnya. Tujuannya semata-mata agar hati dan rasa yang tertanam dalam diri santri maupun keluarga besar Nurul Islam semakin terasah dengan lemah lembut melalui media tersebut. Atau, olahrasa bisa diterjemahkan dengan istilah tirakatnya para santri.

Senada dengan gagasan Abah Kiai Siddiq, Nur Khijja Fiddari dalam jurnal Indonesian Journal Of Humanities and Sosial Sciences mengurai bahwa ada dua unsur penting dalam masyarakat, yaitu agama dan budaya, yang mana di antara keduanya saling mempengaruhi. Ketika ajaran agama masuk dalam sebuah komunitas berbudaya, akan terjadi tarik menarik antara kepentingan agama di satu sisi dengan kepentingan budaya di sisi lain. Budaya tirakat merupakan bentuk terjadinya akulturasi Islam dengan budaya lokal. Tirakat menjadi salah satu tradisi yang telah berkembang jauh sebelum datangnya Islam ke tanah Jawa dengan berbagai tujuan. Penghayat kejawen percaya seseorang yang telah melakukan tirakat kelak akan mendapatkan pahala.

Ketiga, olahraga. Di tengah pandemi yang membahayan setiap orang, dibutuhkan sinergitas imunitas dan imanitas yang baik. Dalam hal ini, abah Kiai Siddiq menekankan bahwa olahraga menjadi aktivitas penting dalam diri santri maupun dewan guru. Tujuannya, di samping untuk kesehatan badan serta kebugaran, juga bisa menguatkan imunitas dengan berolahraga secara rutin dan berkala.

Trilogi pemikiran tersebut mencerminkan betapa refleksi kehidupan yang dilakukan oleh Abah Kiai Siddiq kepada para santri untuk kebaikan di depan. Tidak hanya cakap dalam aspek lahir dan batin , melainkan juga aspek kesehatan menjadi faktor penting di tengah wabah yang belum berakhir. Harapannya, seluruh keluarga besar Nurul Islam terhindar dari penyakit maupun wabah seperti Covid 19 yang melanda negeri tercinta ini. Wallahu A’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan