Tren Mahasiswa Berbisnis: Antara Gaya Hidup dan Belajar Mandiri

Di zaman serba digital ini, memulai usaha tidak lagi harus menunggu menyelesaikan pendidikan terlebih dahulu ataupun memiliki modal yang besar. Namun, cukup dengan telepon pintar serta jaringan internet yang memadai, setiap orang dapat memulai usaha.

Kini mulai banyak ide-ide bisnis baru yang menggunakan modal sedemikian adanya, namun dapat menghasilkan pendapatan yang cukup besar. Seperti, usaha menjual produk maupun membuka jasa hingga merintis startup. Ide-ide tersebut banyak yang diawali dari gagasan para mahasiswa yang masih menempuh pendidikan.

Advertisements

Fenomena ini bukan hanya terjadi di kota-kota besar, tapi juga mulai tumbuh di kalangan mahasiswa kampus Islam, termasuk para santri yang tengah menempuh pendidikan tinggi. Ada berbagai macam faktor pendorong akan meningkatnya antusiasme para mahasiswa untuk memulai bisnis sejak dini. Banyak mahasiswa kini tak sekadar ingin belajar di kelas, tapi juga ingin belajar langsung di medan nyata: dunia bisnis.

Kelas entrepreneurship oleh dosen UIN Jakarta untuk para mahasiswa memulai bisnis di masa muda. Sumber : dokumentasi pribadi

Kampus pun mulai membuka ruang: program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), pelatihan bisnis, hingga inkubasi usaha. Bagi sebagian mahasiswa, berwirausaha bukan lagi sekadar pelarian atau alternatif, tapi bagian dari cara hidup. Cuan sambil kuliah dianggap lebih realistis daripada hanya mengejar nilai tinggi. Apalagi, melihat realitas dunia kerja yang makin padat dan keras, banyak mahasiswa mulai berpikir: lebih baik mandiri sejak sekarang.

Namun di balik semangat itu, tidak sedikit pula yang terjebak dalam euforia “jadi bos sejak muda”. Banyak yang terjun tanpa ilmu dasar soal manajemen, pemasaran, atau tata kelola keuangan. Bisnis dibangun karena ikut-ikutan, bukan karena visi. Akibatnya, ketika hasil tak sesuai harapan atau tugas kuliah makin menumpuk, usahanya pun kandas begitu saja. Tak hanya itu, dukungan dari kampus juga masih minim. Ada yang membuka program inkubasi bisnis, tapi hanya aktif saat lomba atau seremonial. Bimbingan pun kadang masih bersifat teori, tanpa pendampingan lapangan yang berkelanjutan. Mahasiswa dibiarkan berjalan sendiri dalam dunia yang keras, tanpa mentor atau arahan jelas.

Kegiatan bazar kewirausahaan di Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Jakarta sebagai wadah pelatihan mahasiswa agar terjun langsung dalam proses membangun bisnis. Sumber : dokumentasi pribadi

Di sinilah peran kampus, pemerintah, dan lembaga keislaman menjadi penting. Mahasiswa butuh pendampingan nyata, bukan hanya seminar. Mereka perlu dibimbing dalam urusan legalitas, pencatatan keuangan, dan yang lebih penting: mental bertahan.

Dunia usaha bukan sekadar soal untung dan rugi, tapi juga soal nilai, keberkahan, dan kebermanfaatan. Dalam Islam, usaha bukan hanya urusan dunia, tapi juga amal. Nabi Muhammad ﷺ sendiri adalah seorang pedagang yang jujur dan amanah. Maka, mahasiswa Muslim termasuk para santri di perguruan tinggi—perlu melihat wirausaha bukan hanya sebagai cara mencari rezeki, tapi juga sebagai ladang ibadah dan sarana menciptakan perubahan.

Bisnis mahasiswa tidak seharusnya dimaknai sebagai tren sesaat. Justru ini bisa menjadi jalan menuju kemandirian ekonomi umat dan kebangkitan ekonomi kreatif nasional asal dibangun dengan ekosistem yang sehat dan nilai-nilai yang kuat. Dunia usaha bukan jalan pintas, tapi jalan panjang. Bila mahasiswa hari ini memilih memulainya lebih awal, maka tugas kita bersama dosen, pembina pesantren, pemerintah, hingga masyarakat adalah memastikan mereka melangkah di jalan yang benar. Bukan sekadar ikut tren, tapi benar-benar membangun kebermanfaatan.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan