Tradisi Tirakat di Pondok Pesantren Tegalrejo

9,734 kali dibaca

Jika Anda sedang berada di wilayah Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, maka Anda akan menemukan sebuah wilayah bernama Tegalrejo. Tegalrejo merupakan sebuah kecamatan yang berada di bawah kaki Gunung Merbabu.

Selain dikenal dengan pasarnya yang ramai setiap waktu, di Tegalrejo juga berdiri Pondok Pesantren dengan nama Asrama Perguruan Islam (API). Orang-orang di Magelang dan sekitarnya sering menyebut dengan sebutan “Pondok Pesantren Tegalrejo” atau “Pondok Tegalrejo”.

Advertisements

Pondok ini didirikan pada tahun 1944 oleh KH Chudlori, seorang ulama karismatik asli Tegalrejo yang juga salah satu murid dari HadratuSyaikh Muhammad Hasyim Asy’ari. Metode pembelajaran di pesantren ini mengacu pada kurikulum nonformal dengan mengkaji kitab-kitab ulama salaf.

Seperti halnya pondok pesantren tradisional yang lain, dengan bimbingan kiai dan ustaz, para santri mengaji kitab kuning dengan cara menghafal, sorogan, bandongan, dan juga diskusi atau bahstul masail.

Namun, selain mengasah keilmuan yang berbasis intelektualitas, di pesantren ini para santri juga sangat dianjurkan untuk tirakat atau riyadhah. Tak heran jika banyak dijumpai santri-santri yang melakukan tirakat dengan minat dan kemampuannya masing-masing.

Dikutip dari laman nu.online, bahwa tirakat merupakan penjawaan dari bahasa Arab, thariqah yang mempunyai makna “jalan yang dilalui”. Bahasa Indonesia kemudian menyerap kata tersebut menjadi tirakat. Maka tirakat bisa didefinisikan sebagai proses menjalankan suatu laku spiritual untuk mencapai sesuatu yang diinginkan. Di kalangan pesantren, tirakat juga sering disebut riyadhah, yaitu menjalani laku mengendalikan dan mengekang hawa nafsu.

Di pondok pesantren Tegalrejo sendiri, ada beberapa model tirakat yang diamalkan oleh para santri. Di antaranya, ada yang melakukan tirakat puasa senin kamis, puasa dawud, puasa mutih, puasa yaman huwa, ngrowot, dan puasa dalailul khairat. Saat melaksanakan tirakat, biasanya akan diberikan doa atau wirid oleh mujiz (orang yang memberikan ijazah) sebagai pengiringnya.

Namun, dari sekian banyak laku tirakat yang diamalkan, ada beberapa jenis tirakat yang mendominasi  para santri Pondok Tegalrejo. Pertama, puasa daud, yakni jenis puasa yang dilakukan oleh Nabi Dawud. Puasa ini dilaksanakan dengan cara sehari berpuasa dan sehari berikutnya tidak puasa (selang-seling).

Santri-santri di Pesantren Tegalrejo sangat banyak yang melakukan tirakat puasa daud. Waktu lama pelaksanaannya tergantung pada yang memberikan ijazah (izin), tapi biasanya dilakukan selama kurang lebih tiga tahun. Dalam kurun waktu pelaksananya tersebut juga diiringi dengan doa dan wirid-wirid tertentu yang harus dibaca oleh pengamal tirakat.

Tirakat yang juga tak kalah banyak diamalkan oleh para santri Tegalrejo adalah puasa ngrowot atau biasanya disebut ‘ngrowot’ saja. Bagi sebagian orang mungkin masih asing dengan istilah ngrowot, tapi tidak untuk para santri Tegalrejo.

Puasa ngrowot merupakan jenis tirakat yang dilaksanakan dengan cara tidak makan nasi atau sesuatu yang berasal dari beras (baik beras ketan, beras putih, ataupun beras merah). Begitu juga jenis olahan makanan yang berasal dari beras atau terdapat campuran beras, dan diganti dalam bentuk umbi-umbian, jagung, dan terigu.

Meskipun banyak opsi makanan yang bisa dimakan selain beras, tapi pondok pesantren Tegalrejo hanya menyediakan nasi jagung kuning untuk dikonsumsi oleh para santri yang sedang menjalankan tirakat ngrowot.

Sebelum melaksanakan tirakkat ini, para santri biasanya mendapatkan ijazah (izin) dari Munjiz (orang yang memberikan ijazah) terlebih dahulu. Di Pondok Tegalrejo, tirakat ngrowot rata-rata dilaksanakan minimal tiga tahun, dan selama itu juga harus diiringi dengan membaca doa dan juga wirid yang sudah ditentukan.

Jenis tirakat terakhir yang sangat dianjurkan di Pesantren Tegalrejo adalah puasa dalail. Puasa dalail sebetulnya adalah amalan pengiring dari para pengamal wirid dalailul khairat. Yaitu, sebuah wirid atau doa yang disusun oleh Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Jazuli.

Tata cara dalam melaksanakan laku tirakat ini diawali dengan pemberian ijazah wirid dalailul khairat dari Mujiz (orang yang memberi ijazah), kemudian setelah itu para pengamal wirid dianjurkan untuk puasa dahr ( puasa setiap hari) selama kurang lebih tiga tahun. Dan dalam kurun waktu tiga tahun berpuasa, para santri diharuskan untuk membaca wirid dalailul khairat

Pondok Pesantren API Tegalrejo memang mempunyai ciri khas yang unik dari berbagai macam model tirakat atau riyadhahnya. Hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari sosok sang pendiri pesantren, KH Chudlori. Kiai Chudlori dikenal sebagai ulama yang ahli riyadhah. Dikatakan bahwa Kiai Chudlori menjalani puasa sampai akhir hayatnya. Sampai saat ini para pengasuh dan masayikh, yang tak lain adalah putra-putri dan cucu Kiai Chudlori, tetap mengamalkan berbagai macam riyadhah sebagai upaya tabarukan dan melestarikan amalan dari sang pendiri pesantren.

Salah satu putra Kiai Chudlori, KH Yusuf Chudlori yang akrab disapa Gus Yusuf, pernah menuturkan dalam kanal youtube Gus Yusuf Chanel, bahwa di pesantrennya, selain tradisi utamanya adalah ta’lim atau belajar, tapi juga terdapat tradisi lain yang sangat penting, yaitu mujahadah dan tirakat atau riyadlatun nafs (mengekang hawa nafsu). Tujuan dan faedahnya adalah untuk menyucikan hati, dengan harapan agar transformasi keilmuan dari otak menuju hati menjadi lancar dan kemudian juga menjadikan hati menjadi terang.

Keterangan: Informasi tentang tradisi tirakat dan tata cara melakukannya di pesantren Tegalrejo didapat melalui observasi langsung dan juga wawancara alumni Pesantren Tegalrejo.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan