TONDU’ MAJANG

960 kali dibaca

EPITAF DI TANAH KAMBINGAN
: Ruhaniyah

#1
Tubuh itu tak lagi berharap pada kehidupan. Meski dipaksa dengan pertanyaan-pertanyaan tentang kota yang dipenuhi almanak kesunyian, masih membisu.

Advertisements

#2
Tersisa sebuah nama di batu yang sunyi, membiarkan nasib memelas pada gundukan tanah. Sebab, baru saja terjadi tragedi kehilangan di tanah Kambingan, “siapa?”

Kambingan, 06 Juli 2022

NYANYIAN LAUT UNTUK MAGHFIROH

#1
Ole olang, tubuh menyatu dengan batu karang, membiarkan letik matamu terangkai pada pasir-pasir tepi. Menyanjung senandung Tondu’ Majâng* di rinai kesunyian yang tempias pada jiwamu. Gelombang menyambut detak di masa lalu subuh, bernyanyi dengan irama cinta. “Ole olang, perahu berlayar membawa kasih.”

#2
Ole olang, laut meriwayatkan lagu-lagu surga di sepanjang waktu kesunyian. Saat gelombang telah membawa senja menyapa jantungmu di ruang malam. Sekadar melintasi sebuah pertemuan yang tak pernah abadi di suatu hikayat. Amboi, karang-karang pecah menyerupai lirik-lirik kecemasan. Mematri namamu di setiap senandung, Maghfiroh.

Jate, 14 Juli 2022

DOA LANGIT, ATAS NAMA LAUT

#1
Jemari waktu telah membidik langit yang menengadah. Melafalkan doa-doa kesunyian di antara dua musim. Berharap air matanya menjadi pelita bagi kehidupan. Meski tak dapat diterjemahkan mendung. Terik harapan memancarkan ingin pada debur air laut, serta batu-batu yang merawat hujan di telapak kemarau. Tubuh bersemayam dalam lipur keabadian, berdiri pada gelombang yang pasrah. Mencari hiruk-pikuk kota di kedalaman lautan. Ada kehidupan tak terduga dalam arti yang mencipta kecemasan. Setelah layar-layar berdebar; merayu angin, menipu langit. “Hanya pada waktu kota ditenggelamkan pada kesunyian laut.”

#2
Atas nama laut, orang-orang mengejar harapan di tubuh ombak. Sebelum kaki mereka menjadi batu yang memanjang, menghadang debur. Ada cerita terkoyak dalam kisah pergantian malam dan siang. Setelah kerinduan dinobatkan sebagai doa paling dalam antara jarak dan waktu. Tubuh-tubuh menyimpan gelora ingin pada sampan yang berlayar ke pulau para camar. Anginpun bersaksi pada suatu percakapan, “atas nama laut, aku adalah pelukan bagi jantung pelayaran.” Air terus berdebur dengan terjemahan banyak kisah di tubuh kota, setelah kecemasan terhanyut ke peradaban sunyi.

Jate, 18 Juli 2022

Halaman: 1 2 Show All

Tinggalkan Balasan