Toleransi di Masa Nabi

758 kali dibaca

Diyakini atau tidak, Al-Qur’an sejak awal memang telah meletakkan pesan-pesan toleransi. Sebenarnya hal tersebut telah termaktub dalam ayat-ayatnya, yang di dalamnya berintikan mengenai pengakuan antarumat beragama, menghargai eksistensi penganut lintas agama dan kepercayaan. Al-Qur’an sebagai dasar utama umat Islam sejatinya telah mengatur interaksi sosial dalam keberagaman sehingga kemudian lahir sebuah kerukunan yang dinamis.

Apa yang tersurat dan tersirat dalam Al-Qur’an ihwal toleransi tersebut ternyata telah diimplementasikan oleh Rasulullah SAW pada masanya. Termasuk para sahabat yang juga mempraktikkan apa yang menjadi tuntunan Al-Qur’an tersebut agar tetap hidup damai di tengah perbedaan. Rasul dan para sahabat waktu itu membuat dialog dan perjanjian untuk hidup berdampingan dengan kelompok lain.

Advertisements

Rasulullah SAW —secara kedudukan— memang diberikan wewenang untuk menjadi penjelas (bayan) terhadap tafsir atau interpretasi Al-Qur’an. Maknanya, apa yang dikatakan Nabi (qaul), yang dilakukan (fi’l), dan yang menjadi ketetapannya (taqrir) adalah semata-mata apa yang telah dicerminkan oleh Al-Qur’an.

Sehingga, penjelasan dari Nabi Muhammad SAW (hadis), baik berupa ucapan, perbuatan, dan taqrir harus selalu menjadi acuan dalam memahami Al-Qur’an. Sebab, Nabi selalu berada dalam pengawasan Allah SWT. Sehingga, meskipun statusnya sebagai manusia yang bisa saja salah, namun dirinya terjaga karena berada dalam pengawasan-Nya.

Bahkan, Mufassir Ibnu Katsir sendiri menilai, setiap sesuatu yang keluar dari Nabi SAW harus diterima. Apa pun yang diperintahkan Nabi, menurut Ibnu Katsir, harus dijalankan. Sebab, Nabi hanya senantiasa memerintahkan yang baik saja dan melarang apa-apa yang buruk. Termasuk dalam mencari penjelasan dan interpretasi mengenai ayat-ayat toleransi, maka harus berpangku dan mencontoh terhadap apa yang dilakukan Nabi SAW ketika berinteraksi dengan komunitas yang berbeda (beda agama, misalkan).

Hubungan Nabi SAW dengan komunitas Kristen di Makkah bisa dibilang cukup erat. Bahkan, Nabi SAW juga menjalin hubungan yang baik dengan komunitas tersebut. Sebut saja Waraqah bin Naufal, yang dalam kitab Tajridus Sharih dikenal sebagai tokoh agama Kristen di Makkah. Dijelaskan dalam kitab tersebut bahwa ketika Nabi SAW menerima wahyu melalui sebuah mimpi, Waraqah yang mencoba menafsirkannya. Inilah salah satu indikator bahwa Nabi memang sejak awal telah mencitrakan hubungan toleransi.

Dan ternyata, kaum intoleran yang ada pada masa itu—sebagaimana dijelaskan Galib, dalam tulisannya bertajuk Toleransi dan Kerukunan Antar Umat Beragama dalam Perspektif Al-Qur’an sebenarnya datang dari kelompok elite Quraisy yang memiliki latar belakang paham politeis. Mereka sama sekali tidak menerima agama yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Bahkan, Rasul juga menerima penghinaan dan penyiksaan karena agama yang dibawanya tersebut. Tidak ada kebebasan sama sekali.

Oleh sebab itu, Rasul menyarankan kepada beberapa sahabatnya agar terhindar dari penganiayaan tersebut dengan hijrah (melakukan perpindahan) ke Euthopia, yang notabene masyarakatnya adalah pemeluk agama Kristen. Rasul menyarankan demikian, sebab rupanya penguasa Euthopia pada saat itu—an-Najasyi—dikenal sebagai penguasa yang adil.

Itulah salah satu bentuk toleransi yang dicontohkan Rasul sebagai sebuah manifestasi dari interpretasi terhadap ayat-ayat ihwal toleransi dalam Al-Qur’an. Contoh lain yang berhasil dicitrakan oleh Rasul adalah ketika dibuatnya Piagam Madinah, aturan-aturan yang memuat mengenai perjanjian dalam masyarakat Madinah. Adanya piagam tersebut juga merupakan langkah Rasul saat itu untuk menjalin kerja sama, interaksi, dan hubungan timbal balik dengan semua elemen masyarakat Madinah dalam membangun sebuah wilayah (negara atau kota).

Keadaan Madinah yang majemuk, terdiri dari ragam perbedaan dalam masyarakatnya, ternyata dipahami oleh Rasulullah. Sehingga, di dalam piagam itu, aturan-aturan yang dibuat  bersifat ramah terhadap perbedaan yang ada dan mengatur interaksi sosial dengan begitu apik. Sebagaimana yang dikatakan oleh Munawir Syadzali, bahwa piagam Madinah telah meletakkan dasar-dasar yang bisa dijadikan landasan untuk mengatur masyarakat Madinah yang majemuk.

Menurut Syadzali, dasar-dasar yang bisa dijadikan landasan tersebut antara lain; pemeluk Islam adalah komunitas meskipun terdiri dari beberapa suku; hubungan dalam intern komunitas Islam, dan antarkomunitas Islam denga anggota lain didasarkan atas beberapa prinsip, antara lain: bertetangga yang baik, saling membantu menghadapi musuh, membela yang teraniaya, saling menasihati, dan menghormati kebebasan beragama.

Nilai-nilai yang —bagi saya sendiri— sangat bisa diterapkan dalam negara-negara majemuk lain, misal Indonesia. Tentunya, nilai-nilai tersebut juga senantiasa menjadi kesadaran kolektif masyarakat untuk meminimalisasi tindakan-tindakan intoleran, yang akhir-akhir ini masih marak terjadi.

Selanjutnya, Rasulullah, dalam kepemimpinannya juga telah melakukan dialog antaragama. Sebagaimana dijelaskan M Galib, bahwa Rasul pernah menyelenggarakan pertemuan antara Islam, Yahudi, dan Kristen, yang pada akhirnya berujung pada debat teologis. Debat itupun berlangsung dengan masing-masing agama tetap kuat dengan pendiriannya masing-masing.

Yahudi tetap saja menolak Islam dan Muhammad SAW. Kristen tetap mengakui adanya trinitas. Namun, yang lebih penting dari itu semua, Rasul tidak menekan mereka untuk mengubah kepercayaannya. Rasul pun bahkan memberi izin kedua agama tersebut melakukan sebuah dialog tanpa upaya intoleransi sedikitpun. Wallahu a’lam

 

Multi-Page

Tinggalkan Balasan