(Sebuah catatan perjalanan menuju Ciamis)
Gue kira semua yang menulis di media duniasantri dibayar dari hasil Adsense atau minimal dari traffic viral medsos. Tapi, makin lama gue bergaul dan menyimak geliat gerakan ini, makin gue sadar: ternyata bukan. Bukan itu karakteristik mereka.

“Bukan begitu cara alam semesta bekerja, Bro,” tukas salah satu pendiri duniasantri sambil ngelepus Djanger cerutu favoritnya.
Di balik komisi (honor) untuk para penulis, tidak ada iklan berseliweran, tidak ada konten-konten clickbait, tidak ada juga model monetisasi yang menjadikan santri sekadar alat. Yang ada justru patungan diam-diam, sumbangan seikhlasnya, dan ketulusan yang susah banget dijelaskan dengan logika kapitalisme.
Kekaguman gue makin dalam ketika tahu bahwa para penggerak duniasantri dan para donatur yang tak pernah mau disebutkan namanya, sebenarnya sedang membangun peradaban kecil, pondasi baru bagi lahirnya kembali semangat menulis ala santri—yang jujur, dalam, kritis, dan tetap spiritual.
Mereka menolak iklan-iklan yang mengganggu ruh laman, walaupun bisa saja menghasilkan uang besar. “Kita gak mau pembaca terganggu sama iklan obat kuat, pembesar penis, atau judol,” kata salah satu pendiri duniasantri itu sambil ketawa miris. Tapi dalam tawa itu ada prinsip yang kokoh. Ada etika yang dijaga. Ada nilai yang dikurbankan demi menjaga maqam kemuliaan kata.
Dan di situlah gue merasa: mereka adalah potret nyata dari orang-orang yang berkurban bukan dengan kambing, bukan dengan sapi, tapi dengan waktu, uang, tenaga, bahkan ketenangan pribadi. Mereka tidak mencolok, tidak menjual kesalehan, tapi diam-diam menjadi kendaraan Tuhan untuk menjaga naskah-naskah santri tetap hidup. Ternyata, keikhlasan yang diajarkan dalam agama gue, hidup dalam gerak mereka. Mereka tidak banyak bicara, tapi tulus memberi ruang agar setiap tulisan bisa hidup, dan setiap suara bisa didengar.
Dalam semangat Idul Adha ini, kisah mereka mengingatkan kita pada kisah kurban Nabi Ibrahim. Saat diminta menyembelih Ismail—atau dalam sebagian riwayat, Ishaq—bukan darah yang diuji Tuhan, tapi keikhlasan. Bukan tentang tajamnya pisau, tapi tentang seberapa dalam manusia mampu menyerahkan ego, rasa memiliki, dan keinginannya di altar perintah Ilahi.
Dalam Surat Ash-Shaffat ayat 102–107, Allah menggambarkan peristiwa itu dengan begitu indah:
> فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ • وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ • قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا ۚ إِنَّا كَذَٰلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ • إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ • وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ
“Maka tatkala keduanya telah berserah diri, dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya (untuk disembelih), Kami panggil dia: ‘Wahai Ibrahim! Sungguh engkau telah membenarkan mimpi itu.’ Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sungguh, ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.”
Dan hari ini, tafsir dari “ذِبْحٍ عَظِيمٍ” itu barangkali bukan hanya kambing dan sapi yang dibaringkan, tapi juga ego yang ditundukkan, kenyamanan yang disembelih, dan kepentingan diri yang diletakkan di bawah kepentingan ummat.
Esensi kurban bukan hanya soal menyembelih hewan, tapi menyembelih ambisi pribadi demi kemaslahatan bersama. Bukan tentang darah yang mengalir, tapi tentang makna yang mengakar.
Maka siapa pun yang hari ini masih rela menyumbang untuk media yang tak memberi balik materi, siapa pun yang masih semangat menulis untuk santri meski tak viral, mereka semua sedang menjalani ritual kurban dengan bentuk yang sangat dalam dan kontemporer.
Mereka tak muncul di layar-layar nasional, tak diundang ke forum-forum besar, tak tercantum dalam daftar pahlawan yang digaji negara. Tapi di sudut-sudut sunyi, mereka menjaga bara literasi dengan napas dan cinta. Sementara banyak yang sibuk selfie dengan kitab, mereka diam-diam menyalin ilmu ke hati para santri. Dan ketika para influencer berlomba cari viewer, mereka justru memikirkan nasib lembaran kertas dan harga tinta. Tak terdengar, tapi terasa. Tak viral, tapi abadi.
Seperti mereka yang kini diam-diam menjaga literasi santri, mungkin malaikat pencatat Lauhul Mahfudz pun diam-diam menjaga nama mereka—dan mengukirnya dengan tinta emas yang tak bisa di-like oleh penduduk bumi, tapi akan kekal dibaca Tuhan dan di-like penduduk langit.
Cipasung 1 Juni 2025.