“Tawashow” Ala Zastrouw di Negeri Sarung

2,266 kali dibaca

Padahal hari Sabtu (27/8/2022) sudah berlalu. Namun kenangan dari perhelatan puncak acara hari jadi duniasantri ketiga itu tetap membekas dalam benak. Memang begitulah realita peristiwa di hari istimewa, tidak dapat beranjak begitu saja. Berbanding terbalik dengan insiden di hari biasa yang dilewati dengan biasa-biasa saja, maka akan ditanggapi pula dengan ekspresi yang juga biasa.

Sabtu kemarin bukanlah Sabtu yang biasa. Sejak pukul 11.00 WIB hingga pukul 14.00 WIB digelar acara yang spektakuler, dengan dihadiri para tokoh yang luar biasa. Acara tersebut dikemas dalam tajuk Monolog Negeri Sarung.

Advertisements

Monolog berarti pembicaraan yang dilakukan dengan diri sendiri. Arti lain menyatakan monolog sebagai adegan sandiwara dengan pelaku tunggal yang membawakan percakapan seorang diri. Ya, begitulah makna monolog, seperti yang telah diperagakan oleh Ngatawi Al-Zastrouw di panggung Monolog Negeri Sarung siang itu.

Monolog yang dipertunjukkan oleh budayawan Nahdliyin sekaligus Ketua Dewan Pembina jejaring duniasantri itu sungguh memiliki kekhasan. Sangat menghibur hadirin. Setiap kalimat yang diucapkannya mampu menggelitik dan mengocok perut. Namun, tetap bersahaja dan tidak keluar dari tema.

Dalam Monolog Negeri Sarung, Ngatawi Al-Zastrouw membidikkan kata “negeri” dan “sarung”. Tetapi, rupanya ia lebih tertarik dengan sarung, maka ia memulai monolognya dengan mengangkat perihal sarung.

“Sarung itu praktis, ekonomis dan demokratis. Praktis artinya bisa dibawa ke mana-mana. Ekonomis, harganya terjangkau. Sedangkan demokratis maksudnya bisa dipakai siapa saja. Bisa dipakai bersama,” ujarnya.

Lalu, dengan antusias level tinggi, ia berkisah saat masih nyantri. Bahwa sarung biasa dipakai oleh para santri untuk mengikuti aktivitas di pesantren, salah satunya ketika mau setoran hafalan kepada kiai.

“Santri satu per satu maju ke hadapan kiai. Tidak lupa beliau tanya nama para santri. Siapa namanya? Anas, Kiai. Kiai kemudian menyuruhnya membaca surah An-Nas. Dengan sigap ia membacanya sampai tuntas. Ini siapa namanya? Tanya kiai ke santri yang berada di belakang Anas. Nama saya Al-Kautsar. Oh, silakan baca surah Al-Kautsar, perintah kiai. Si santri pun dengan cepat menyelesaikan bacaannya. Lalu, kiai tanya kepada santri urutan ketiga. Kamu siapa namanya? Si santri yang bersangkutan menjawab, nama saya Yasin, tapi biasa dipanggil Qulhu. Karena dipanggil Qulhu, jadi hafalan saya hanya Qulhu (surah Al-Ikhlas),” kisah Ngatawi Al-Zastrouw. “Geeeer” hadirin menyesaki ruang Makara Art Center Universitas Indonesia.

Ngatawi Al-Zastrouw juga berkisah tentang pengalaman santri saat memanjat pohon kelapa milik kiai dengan mengenakan sarung. Begitu dirinya sampai di atas pohon, tiba-tiba kiai melihatnya sembari berdehem. Ia pun kaget dan langsung turun dari pohon kelapa.

“Akhirnya, saya langsung melorot karena ketahuan Pak Kiai. Saya melorot, eh, sarung saya ketinggalan di atas,” imbuhnya. Disambut gelak tawa hadirin yang semakin pecah.

Begitu pula di kala Al-Zastrouw berbicara mengenai negeri. Negeri sebagai tanah tempat tinggal suatu bangsa, dan sarung sebagai lambang kesantrian, tidaklah bisa dipisahkan. Sebab, kemerdekaan negeri ini tidak lepas dari semangat juang kaum sarungan alias para santri. Oleh karena itu, semangat mencintai negeri ini tidak pernah luntur dari jiwa seorang santri.

Al-Zastrouw berkisah tentang Kiai Tuban di masa Gus Dur. Ketika Gus Dur datang ke Pesantren Tuban, kiai tersebut bercerita bahwa santrinya setiap hari Senin selalu menggelar upacara bendera sebagai wujud kecintaan para santri terhadap Tanah Air Indonesia.

“Kami selalu menyanyikan lagu Indonesia Raya, Gus,” kata sang kiai kepada Gus Dur. “Besok upacara. Untuk sementara, kami nyanyi pakai kaset dulu.”

Keesokan harinya, tepat hari Senin, upacara bendera benar-benar digelar. Kaset dan tape dibawa ke arena upacara. Protokol membacakan susunan upacara, “Menyanyikan lagu Indonesia Raya.” Kiai langsung menekan tombol play pada tape tersebut. Namun, tidak disangka, lagu yang muncul dari tape itu berbunyi, “Boneka cantik, dari India.” Suasana jadi heboh. Kiai langsung mencari santri yang telah berani mengganti posisi kaset tape itu. Ruang gedung Makara Art Center kembali riuh dengan suara tawa hadirin.

Al-Zastrouw menambahkan kisah kecintaan santri kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang salah satunya bisa ditemukan dalam penyelenggaraan apel setia kepada NKRI.

“Kebetulan komandannya adalah santri senior. Sedangkan inspektur upacaranya, kiai sendiri. Ketika komandan melapor kepada inspektur dengan ucapan, ‘Lapor. Upacara siap dimulai. Laporan selesai.’

Kiai yang menjadi inspektur upacara menimpali dengan menjawab, ‘Kerjakan!’ Lalu, si santri menanggapinya dengan jawaban, ‘Insya Allah, Gus!’ sambil mengangguk kepala,” begitu ia berkisah. Tawa hadirin kembali gempar.

Masih mengenai pelaksanaan upacara, pada kesempatan tersebut Ngatawi Al-Zastrouw juga berkisah kocak nan koplak di panggung monolognya. Ia bercerita terkait temannya yang ditunjuk untuk menjadi komandan upacara. Saking takzimnya kepada guru, meski tidak siap dan belum berpengalaman, si santri yang ditunjuk mendadak menjadi komandan itu, seketika belajar dan bertanya kepada teman sejawatnya yang lebih berpengalaman.

“Saat hormat kepada bendera, bagaimana bilangnya, ya?”

“Kepada Sang Saka Merah Putih, hormaaaaaat, grak!”

Sekonyong-konyong si santri itu menghafalkan kalimat tersebut ke mana pun ia pergi. “Kepada Sang Saka Merah Putih. Kepada Sang Saka Merah Putih. Kepada Sang Saka Merah Putih.” Terus begitu.

Namun, pada pelaksanaan upacara, ia tiba-tiba tidak ingat dan bingung. Protokol upacara pun mengomando, “Penghormatan kepada Sang Merah Putih.” Komandan upacara itu gelagapan, kemudian berucap, “Kepada Sang Merah disangka Putih, hormaaaat, grak!” Hahaha… Hehehe…

Begitulah santri. Biar pun bingung dan tidak siap, tetap dijalankan demi kecintaan kepada Tanah Air. Meski demikian, keinginan untuk terus belajar dan tampil maksimal senantiasa terpatri dalam sanubari. Maka, jangan remehkan kecintaan santri kepada negara Indonesia. Hidup santri! Merdeka!

Multi-Page

Tinggalkan Balasan