“Tawashow” Ala Zastrouw di Negeri Sarung

2,243 kali dibaca

Padahal hari Sabtu (27/8/2022) sudah berlalu. Namun kenangan dari perhelatan puncak acara hari jadi duniasantri ketiga itu tetap membekas dalam benak. Memang begitulah realita peristiwa di hari istimewa, tidak dapat beranjak begitu saja. Berbanding terbalik dengan insiden di hari biasa yang dilewati dengan biasa-biasa saja, maka akan ditanggapi pula dengan ekspresi yang juga biasa.

Sabtu kemarin bukanlah Sabtu yang biasa. Sejak pukul 11.00 WIB hingga pukul 14.00 WIB digelar acara yang spektakuler, dengan dihadiri para tokoh yang luar biasa. Acara tersebut dikemas dalam tajuk Monolog Negeri Sarung.

Advertisements

Monolog berarti pembicaraan yang dilakukan dengan diri sendiri. Arti lain menyatakan monolog sebagai adegan sandiwara dengan pelaku tunggal yang membawakan percakapan seorang diri. Ya, begitulah makna monolog, seperti yang telah diperagakan oleh Ngatawi Al-Zastrouw di panggung Monolog Negeri Sarung siang itu.

Monolog yang dipertunjukkan oleh budayawan Nahdliyin sekaligus Ketua Dewan Pembina jejaring duniasantri itu sungguh memiliki kekhasan. Sangat menghibur hadirin. Setiap kalimat yang diucapkannya mampu menggelitik dan mengocok perut. Namun, tetap bersahaja dan tidak keluar dari tema.

Dalam Monolog Negeri Sarung, Ngatawi Al-Zastrouw membidikkan kata “negeri” dan “sarung”. Tetapi, rupanya ia lebih tertarik dengan sarung, maka ia memulai monolognya dengan mengangkat perihal sarung.

“Sarung itu praktis, ekonomis dan demokratis. Praktis artinya bisa dibawa ke mana-mana. Ekonomis, harganya terjangkau. Sedangkan demokratis maksudnya bisa dipakai siapa saja. Bisa dipakai bersama,” ujarnya.

Lalu, dengan antusias level tinggi, ia berkisah saat masih nyantri. Bahwa sarung biasa dipakai oleh para santri untuk mengikuti aktivitas di pesantren, salah satunya ketika mau setoran hafalan kepada kiai.

“Santri satu per satu maju ke hadapan kiai. Tidak lupa beliau tanya nama para santri. Siapa namanya? Anas, Kiai. Kiai kemudian menyuruhnya membaca surah An-Nas. Dengan sigap ia membacanya sampai tuntas. Ini siapa namanya? Tanya kiai ke santri yang berada di belakang Anas. Nama saya Al-Kautsar. Oh, silakan baca surah Al-Kautsar, perintah kiai. Si santri pun dengan cepat menyelesaikan bacaannya. Lalu, kiai tanya kepada santri urutan ketiga. Kamu siapa namanya? Si santri yang bersangkutan menjawab, nama saya Yasin, tapi biasa dipanggil Qulhu. Karena dipanggil Qulhu, jadi hafalan saya hanya Qulhu (surah Al-Ikhlas),” kisah Ngatawi Al-Zastrouw. “Geeeer” hadirin menyesaki ruang Makara Art Center Universitas Indonesia.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan