Tantangan Santri Masa Kini

1,318 kali dibaca

Gemuruh kegembiraan Peringatan Hari Santri Nasional begitu semarak dirayakan di berbagai tempat. Sejak 2015, tanggal 22 Oktober memang resmi diperingati sebagai hari santri. Penetapannya dilakukan melalui Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015.

Ada beberapa pertimbangan mengapa hari santri kemudian diperingati. Pertama, ulama dan santri berkontribusi besar dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kedua, mengenang serta meneladani ulama dan santri dalam membela, mempertahankan, dan berkontribusi untuk pembangunan bangsa. Ketiga, sebagai pengingat, bahwa pada tanggal tersebut resolusi jihad dikumandangkan oleh para ulama sebagai bentuk perlawanan terhadap agresi militer Belanda.

Advertisements

Dengan torehan sejarah tersebut, tentu saja jejak langkah pesantren dalam mendidik anak bangsa tak usah diragukan. Latif (2013) mencatat, hingga paro pertama abad ke-19 sekolah-sekolah Islam tradisional mampu berperan sebagai institusi-institusi pendidikan yang utama di Hindia Belanda. Juga, catatan dari Steenbrink, pada tahun 1873 merujuk pada laporan Kantor Inspeksi Pendidikan Pribumi (didirikan J.A. van der Chijs), jumlah pesantren ketika itu sekitar 20.000-25.000 dengan santri sekitar 300.000 orang.

Beberapa pesantren yang didirikan pada era tersebut masih eksis hingga saat ini. Pesantren Tremas di Pacitan (1823), Pesantren Jampes dan Bendo di Kediri dan Pelangitan di Babat (1855), Pesantren Teglasari di Semarang (1870), Pesantren Tebuireng di Jombang (1899) (Soekardi, 1979; Dhofier, 1982 dalam Latif, 2013).

Di masa itu, para santri dan kiai merupakan agen penting perlawanan bagi pemerintah kolonial. Seruan hubbul wathon minal iman menjadi penguat bagi para santri untuk memperjuangkan kemerdekaan.

Para santri yang lahir dari rahim pesantren, memang dididik dengan teladan terbaik para ulama atau para pewaris nabi yang mengedepankan uswatun hasanah. Mereka digembleng melalui disiplin tinggi dalam sistem pendidikan pesantren. Disiapkan untuk menjadi sosok terbaik yang mampu bermanfaat sesuai hadits Rasullah, khoirunnas anfauhum linnas —sebaiknya manusia adalah mereka yang bermanfaat bagi sesamanya.

Sebab itu, pijakan pendidikan pesantren selalu berorientasi pada kemaslahatan umat dan kebaikan semesta. Karena itu pesantren berfokus pada penempaan diri para santri menjadi sebaik-baiknya manusia penebar kasih bagi sesamanya.

Jumlah santri yang tercatat oleh Kemenag (2012) sebesar 3.759.198 adalah aset besar bagi bangsa ini. Jumlah tersebut dirilis tahun 2012. Jumlah yang sebesar itu tentu akan berkontribusi positif bagi negeri ini jika mendapatkan pendidikan di pesantren secara optimal. Santri tentu punya peran yang amat strategis bagi keberlangsungan bangsa ini.

Di pesantren, para santri ditempa dengan beragam keilmuan, baik ilmu agama maupun  pengetahuan praksis keseharian. Kondisi tersebut dapat menjadi salah satu keunggulan sistem pembelajaran di pesantren. Pembelajaran di pesantren menitikberatkan pada penguasaan permasalahan keagamaan dari beragam referensi yang disusun ulama-ulama terdahulu. Mereka dibiasakan dengan beragam perdebatan beragam ulama. Kondisi tersebut membuat para santri sejak awal dibiasakan dengan ragam cara pandang yang tentu saja tidak monolitik.

Di pesantren, para santri juga dikondisikan untuk mengenal lingkungan masyarakat yang ada di sekitarnya. Pendidikan pesantren memang ditujukan mendekatkan para santri dengan realitas kehidupan masyarakat, sebab mereka memang disiapkan untuk mengabdi di masyarakat setelah lulus nanti, apa pun profesinya.

Jihad para santri saat ini tentu semakin berat. Selain kemampuan pada penguasaan keislaman, juga diharapkan memiliki keluasan cakrawala dalam beragam perspektif keilmuan. Sebab, mereka akan dihadapkan pada penyelesaian persoalan masyarakat di mana mereka hidup.

Dan saat ini, tantangan bagi para santri tentu lebih kompleks dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Mereka akan bergelut dengan isu-isu sosial kemasyarakatan, lingkungan, politik, ekonomi, dan kebangsaan yang lebih rumit dibanding dengan masa lalu. Modalitas yang didapat para santri ketika ditempa di pesantren sesungguhnya sangat berarti bagi realitas kebangsaan kini. Apalagi jika dikuatkan dengan kapasitas yang dimiliki di beragam bidang kehidupan.

Di era digital, misalnya saja, para santri bisa mengisi ruang diskusi di dunia maya dengan beragam konten yang mencerahkan. Ruang-ruang media sosial yang selama ini cenderung gaduh sepatutnya diisi oleh beragam konten yang lebih produktif. Peluang santri mengisi beragam konten tersebut sangatlah terbuka.

Kehadiran kanal daring, misalnya, menjadi dapat menjadi ruang yang amat strategis untuk menyerukan ajaran Islam yang rahmatan lil alamin. Islam yang ramah, bukan yang marah. Ajaran dan ujaran yang meneduhkan bukan malah menimbulkan kemarahan, yang merangkul bukan memukul. Konten-konten tersebut harus diisi oleh para santri dengan beragam telaahan yang lebih konstruktif. Ruang-ruang yang dapat digunakan untuk menebar kasih dan kebermanfaatan bukan oleh konten yang penuh rasa benci.

Semoga ke depan, pendidikan pesantren semakin banyak melahirkan kader-kader terbaik bagi bangsa ini. Seperti para pendahulu yang sudah membaktikan dirinya untuk bangsa sebaik-baiknya, sekuat-kuatnya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan