Tantangan Fikih Beragama dan Etika Bermedia

934 kali dibaca

Diskursus berislam kian kompleks dewasa ini. Terdapat pergeseran nilai-nilai prinsipil yang terjadi secara mendasar dan besar-besaran. Dari waktu ke waktu, yang dahulunya agama dinamis, bertranformasi pada fanatisme agama yang purifikatif, hingga mewujud agama ekstrem dan koersif. Wajah agama adalah sebuah ketakutan karena bukan lagi ihwal wahyu tuhan, melainkan konstruksi doktrin paham.

Nalar (fikrah) dan gerakan (halaqah) beragama mengalami degradasi nilai dan dekadensi moral. Nalar ekstremisme, gerakan propaganda, dan ujaran kebencian (hate speech) melalui sistem jaringan terbuka sangat akrab identik dengan agama. Agama dengan dogma-dogma religiositasnya itu sangat ampuh melegitimasi suatu kepentingan, baik kekuasaan yang politis, pengusungan ideologi agama dengan nalar yang dialektika-dikotomis, atau urusan perut dan bisnis yang sifatnya ekonomis. Tidak dimungkiri jika muncul belakangan isu Islamofobia di negara-negara sekularistik, bahkan Indonesia.

Advertisements

Di tengah karut-marut wajah agama, dibutuhkan suatu halakah dakwah digital yang dipromotori oleh mujahid digital. Menjadikan para pemuda sebagai penggerak dakwah di ruang maya (mujahid digital) adalah suatu keniscayaan dewasa ini. Kemampuan intelektual dan kompetensi digital menempatkan mujahid digital dalam posisi sentral dalam halakah dakwah Islam. Mujahid digital harus mampu merestorasi, merestrukturisasi, dan merefungsionalisasi konstruksi dakwah yang moderat dalam aksebilitas jaringan secara besar-besaran.

Hal ini adalah bentuk ikhtiar untuk mengampanyekan Islam moderat (wasathiyah) di ruang-ruang digital. Mujahid digital perlu menyadari bahwa Islam Wasathiyah sudah termajinalkan di Indonesia. Selaras dengan pendapat Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, beragama (berislam) di Indonesia masih cenderung kekanak-kanakan (Kompas, 22/08/2022).

Halakah digital tentu menjadi oase kehangatan di tengah perang dingin antarpaham. Isu propaganda, hoaks, fitnah, bullying, dan narasi adu domba sangat akrab dengan kehidupan umat. Survei terbaru Digital Civility Index (DCI) yang dilakukan oleh Microsoft menunjukkan kesantunan masyarakat Indonesia dalam bemedsos semakin menurun. Dari 11.067 responden yang disurvei selama pandemi, sebanyak 82 persen menyatakan bahwa tingkat kesopanan online memburuk (The Official Micrisoft Blog, edisi Februari 2020).

Dari realitas bermedsos itu, mujahid digital dengan halakah dakwah digital diharapkan hadir dengan konten-konten dakwah yang unik dan menarik bermuatan nilai dan prinsip pluraralisme dan multikulturalisme beragama. Islam perlu mengasosiasikan nilai kearifan lokal dan keluhuran prinsip tradisional di masa lampau dengan visi peradaban digital di era sekarang.

Jika diterminkan, dakwah digital adalah bentuk praksis dari ‘al-muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah’, yakni ‘memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik’. Mengampanyekan Islam moderat di ruang digital adalah suatu ijtihad eksidensial (‘aridhi). Ia adalah bentuk dorongan moral (imperative of morality) dari adanya media informasi yang berkembang. Mujahid digital harus mengarahkan dakwah Islam ke sana mengingat kedewasaan dan keadaban umat yang rendah dalam melakukan kegiatan interaktif di media sosial.

Merumuskan Fikih Beragama

Terdapat tantangan besar yang dihadapi para mujahid digital dalam pergerakan dakwah digital saat ini. Pertama, urgensi perumusan konsep moderasi agama berbasis kesetaraan (equality) sebagai tuntunah Fikih Beragama yang nondiskriminatif terhadap kelompok manapun. Rumusan itu harus memuat konsep kesetaraan, hubungan mayoritas-minoritas, terminologi jihad, teologi inklusif, interaksi paham dalam konteks keindonesiaan yang heterogen, dan yang paling penting adalah objektivitas dakwah.

Dalam birokrasi pemerintahan akan ditemui sisi diskriminatif dari konsep moderasi agama. Peraturan Presiden (PNPS) Nomor 1 Tahun 1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, misalnya, terjadi penyempitan makna terhadap agama. Pijakan epistimologi terhadap pemaknaan agama terbatas pada agama ‘yang enam’ saja. Hitung-hitungan ‘mayoritas-minoritas’ pun tak dapat dihindari karena memang berangkat dari perspektif yang dominan. Di luar dari pada agama itu, kendati memiliki sesembahan Yang Maha Esa, eyang guru, ajaran, ritual, aliran kepercayaan, dan tempat peribadatan hanya diinterpretasi secara kultural sebagai produk kebudayaan.

Misalnya, adalah Komunitas Penghayat Spiritual yang dialienasi secara ironis disatupadukan dalam satu rumpun bersama unit Eselon I Direktorat Perfilman, Musik, dan Media Baru. Di sinilah kita melihat bagaimana transformasi diskriminatif konsep moderasi agama; dari diskriminasi normatif, menjadi diskriminasi paradigmatik, hingga menjadi wajah semu budaya kolektif. Imbasnya, objek pengarusutamaan moderasi beragama selama ini oleh pemerintah menjadi sempit dan terbatas dalam kungkungan norma perundang-undangan.

Dibutuhkan adanya rumusan ‘Fikih Beragama’ sebagai pijakan sistemik haluan dakwah digital. Dalam hal ini, fikih memiliki kelenturan dalam menjawab dinamika kekinian melalui ijtihad (istinbath al-ahkam) para fuqaha. Rumusan fikih itu harus setara, egalitar dan berkeadilan. Setidaknya, Fikih Beragama memuat enam pilar yang pernah ditawarkan oleh Jasser Auda, yaitu nalar (al-idrakiyyah), universalitas (al-kulliyat), keterbukaan (al-infitahiyyah), keterpautan satu dengan lainnya (al-harakiriyyah al-mutamadah tabadduliyyan), serta multidimensi dan multiperspektif (ta’addud al-ab’ad) (Asep Salahudin, 2022; 08).

Pemujaan Digital

Tantangan selanjutnya adalah wajah ‘digital ghost’ yang menawarkan penghambaan pada akumulasi jumlah monetisasi media. Damhuri Muhammad (2022) dalam “Berani Mati Demi Konten YouTube”, menguraikan aneka fakta tragis kematian yang merenggut nyawa seseorang akibat suatu ‘pemujaan konten’. Orientasi materialistik yang bisa diraup dengan penghambaan terhadap konten-konten mendorong seseorang apatis terhadap esensi bermedia.

Misalnya, di Nasvhille, AS Desember 2021, Timothy Wilks (20) meregang nyawa akibat konten prank perampokan yang dia buat, atau di Halstad, AS Juni 2017, Pedro Ruiz (28) mati akibat konten prank penembakan terhadap dirinya, atau seorang youtuber asal Rusia, Stanislav Reshetnikov (30) membuat konten dengan menyiksa kekasihnya yang sedang hamil hingga mengembuskan nafas di tempat. Aksi maut itu dengan rela dilakukan untuk mengejar monetisasi pada jumlah pemirsa (viewers) melalui platform yang menggiurkan.

Petaka itu juga menimpa seorang remaja yang tertindas teruk di Jalan Otista, Karawica, Tangerang, Banten (Aguido Agri, Kompas 8/6/2022). Sekolompok remaja itu melakukan aksi jalanan yang mereka namai tantangan malaikat berani mati atau BM. Satu-dua remaja menghadang truk yang sedang malaju. Jika truk bisa berhenti dan penghadang tidak luka, itulah aksi BM yang sukses. Sementara hasil rekaman aksi maut itu diunggah di kanal YouTube. Tapi nahas, dari mereka ada yang tidak beruntung sehingga terlindas truk yang mereka adang.

Saat ini, esensi bermedia sudah mengalami degradasi etika dari waktu ke waktu. Para aktivis media saat ini cenderung sensasional dari pada berbagi pengetahuan. Youtuber, misalnya, lebih tertarik membuat konten prank atau aksi ekstrem seperti mengadang truk, tantangan makan kripik mahapedas, atau bercengkrama dengan hewan predator, yang pada kenyataannya lebih memukau dan sensasional ketimbang konten-konten dakwah dan edukatif seperti ide awal tiga pendiri YouTube, yaitu Chad Hurley, Steve Chen, dan Jawed Karim. Fakta inilah yang penulis maksud dengan ‘pemujaan digital’ di mana konstruksi kesadaran esensi dan etika bermedia dibutuhkan.

Pergeseran nilai bermedsos itu tentu menjadi tantangan tersendiri bagi halakah dakwah digital mujahid digital. Konten-konten keagamaan dakwah digital tentu harus lebih mainstream keberadaannya. Dakwah digital harus bisa merevitalisasi pemahaman dan kesadaran esensi dan etika bermedia umat. Salah satunya, dengan mensosialisasikan Fatwa MUI Nomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah melalui Media Sosial melalui dakwah yang unik dan menarik sehingga tertanam dalam hati, pikiran, dan tindakan.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan