ilustrasi gambar oleh Meta AI

TANGIS SUNGAI TIGRIS

MEMBACA BUKU YANG TERKATUP

I

Advertisements

Kubuka buku lusuh
Yang berimpit
Di antara jejal buku
Yang rapat.
Saat kubuka;
kulihat
Kapal-kapal berlayar
dari Arab, Gujarat dan Persi
Menyapu kalimat agung
pada tiap gelombang laut
dan tanah yang dipijak.

Kepulauan besar
Meramu keyakinan roh dan moyang
Diakulturasi perlahan

tibalah di sana,
singgah dan sungguh
menetap atap
di bawah langit Fansur
mengikat akad
pada tali pernikahan
menancapkan Islam
pada nadi
trah anak cucu.

Melewati batas-batas laut
Menyinggahi gugus pulau
Yang bertebar
Dari ujung Sabang

II

Tanah Jawa,
Tanah mistik yang ciamik
Datang para wali
Mendendang tembang dan lagu
Menyisip wayang
Di antara rekat dakwah yang dipadu
Warga meng-gugu
Mendengar rempak
Di atas tatah laku
Yang dititah

Berduyun-duyun
Menyusur lampah
Di antara remang rembulan
Dan oncor api

III

Sang Raden—trah Majapahit yang misuwur.
Mendirikan Masjid
Tuk menyambung kalam
Dari kitab yang dititah.
Menyebar luas
Akidah Islam

Bintoro masyhur
Meninggi di atas menara Demak
Meruas luas wilayah
Hingga terbentuk
Kesultanan Islam pertama
Di tanah Jawi.

IV

Kisah belum ditutup
Namun lembar buku telah terkatup
Berpulang lengang
Bersama lembar yang hangus
Di belakang perpustakaan
Dan toko buku
Yang sepi.

Gunung Kawi, 28 Juni 2025.

TANGIS SUNGAI TIGRIS (1258)

1258 adalah sejarah tragis,
pengetahuan telah hanyut
bersama aliran Sungai Tigris.
Huruf-hurufnya tak lagi termaktub,
sehingga tak dapat dibaca dengan seksama.
Huruf-huruf itu
perlahan meninggalkan tuannya,
mengalir begitu saja
dengan penuh keterpaksaan.

Sungai Tigris menangis,
namun ia tak kuasa
membalas pasukan sadis nan bengis.
Gulungan kertas perlahan melayu,
selayu masa depan
yang telah diluluhlantakkan.

1258 adalah kisah langit yang penuh tangis
menyaksikan pembantaian yang tiada habis.
Api berkobar menahan pilu.
Terpaksa membakar buku-buku
demi hasrat nafsu Pasukan Mongol.

Api hendak memadamkan diri,
namun Hulaghu Khan menyihirnya
menjadi amarah yang tak terkendali.

Langit Kota Baghdad seketika menjadi abu,
awannya terlihat sayu.
Kekayaan intelektual yang telah diramu
beberapa dekade hangus menjadi butiran debu.

Kota menjadi sunyi pengetahuan,
Namun riuh teriakan bergema
di semua sudut kota.

Sungai Tigris tak lagi jernih,
sejernih keemasan yang diidamkan.
Sungai itu menghitam,
tinta dalam buku itu mengalir bersama kesedihan.

1258 adalah catatan yang amat membekas,
masa depan t’lah kehilangan kompas
untuk membangun peradaban.
Ia luluh lantak bersama amarah dan api.

***

Di sudut perpustakaan,
pemuda berbaju hijau itu membuka buku,
mengamati gambar yang begitu menyita perhatian.

Pemuda itu bernama Amir.
Ia tengah membolak-balik buku,
ditemukannya sebuah gambar bertuliskan,
“tragedi pembakaran perpustakaan Baghdad tahun 1258.”

Ia larut dalam angan,
membawanya pada lorong waktu
yang amat suram.

Dari balik almari buku,
Hasan menyadarkan Amir.
Ia sadar, bahwa buku adalah senjata
untuk membangun peradaban.
“Janganlah terulang kisah 1258
di dunia modern
dengan matinya buku dan pengetahuan!”

Oktober 2024.

BUYA HAMKA DAN SECARIK KERTAS*

Mentari siang tak bersahabat,
teriknya begitu menyengat.
Di tengah keringnya tenggorokan,
ia bersikeras memanas.
Jam dinding rumah Buya berdentang,
pertanda pukul 11.00 siang.
Waktu berpuasa masih berlanjut
hingga mentari terbenam.
Di tengah penungguan,
tiba-tiba segerombol orang datang,
memasang wajah garang.
Buya tengah bersantai dan membaca buku.
Sang istri membukakan pintu,
menyilakan mereka bertemu.
Buya masih mengenakan sorban
pada leher yang penuh perjuangan.
Tepat 27 Januari 1964,
orang-orang itu membawa paksa Buya
dilarikan ke Sukabumi.
Buya diperiksa tanpa henti,
pagi-petang hingga bergulir kembali petang-pagi.
Siang-malam silih berganti.
Waktu-waktu tak tersisa
untuk membaca buku
apalagi menyeduh secangkir kopi.
Biasanya Buya menghabiskan malam
untuk menuliskan ilmu dan pengetahuan.

Namun hari ini,
Buya pasrah diri.
Waktu tersisa untuk makan
dan sembahyang menghadap Gusti.
Kesalahan mana yang hendak dicari?
Mereka memaksakan hal yang sama
berulang kali.
Buya bukan pengkhianat negeri sendiri.
Polisi itu menyimpan pistol
yang sigap menembak sasaran,
membuka bukti, katanya.

Ruang hati Buya mengelam,
telinganya menuli
Kalimat kasar itu menyayat
dan merobek hati.
“Saudara pengkhianat!”
Mata Buya menatap tajam,
keringat dinginnya mengucur,
tubuhnya bergetar.
Buya menahan amarah
yang hendak menuntut balas.
Namun sabarnya amat luas,
Ia menghela napas.

Bisik iblis menghampiri;
“Gulirkan saja silet pada nadi!”
“Nyawa hilang, mati!”

Nadi itu bergeming; “imanku bukan abal-abal
Yang seenaknya saja diobral.”

Tak patah, tak henti
pena menyapu tinta begitu lihai.
Buya mencurahkan pikir;
Pada carik demi carik kertas.

Malam demi malam silih berganti,
hari demi hari silih berhilir.
Satu judul buku telah usai, “Tafsir Al Azhar”
“Adakah pujangga seberani Buya ber-reinkarnasi?”

Wonosari, 15 Oktober 2024.

*puisi ini diambil dari kisah Buya Hamka yang dituduh mengkhianati NKRI karena merencanakan pembunuhan kepada Menteri Agama dan Presiden Soekarno atas sokongan Perdana Menteri Malaysia, Tengku Abdurrahman. Namun semua tuduhan itu salah, tetap saja Buya Hamka dipaksa buka mulut. Dalam penjara yang begitu menderita, Buya Hamka menuliskan sebuah karya fenomenal dan luar biasa, Tafsir Al Azhar, yang sampai sekarang masih santer dikaji oleh kalangan santri maupun akademisi dalam negeri dan luar negeri.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan