Tandak: Perempuan Madura Mendefinisikan Diri Melalui Seni

2,783 kali dibaca

Tandak, begitulah nama perempuan seni di Madura Timur itu disebut. Sederhana memang, bahkan begitu terkesan ndeso, tetapi teramat menyulitkan kepentingan teoretik dan pengetahuan (akademis). Betapa tidak, begitu nama itu disebut, seribu makna berseliweran yang tidak mungkin dihentikan untuk dibakukan sebagai definisi dan konsep. Jami’-mani’ sebagaimana dikenal dalam ilmu mantiq, tidak mungkin diterapkan untuk mendefinisikan tandak sebagai fenomena sosial.

Dalam wujudnya yang paling konkret, ia adalah seorang perempuan, ndeso dalam pengertian harfiah (dari desa), tidak terpelajar, pekerja (lebih sering) malam, menari bersama dengan siapa saja yang meminatinya, “menuntut” bayaran (sawer) dan terserah mau ditaruh di bagian mana di tubuhnya, bercerai (atau dicerai) sebanyak ia dikawin, dan seterusnya. Itu baru pengertian-pengertian yang mudah ditangkap mata dan telinga. Tetapi, tandak tentu bukan sekadar itu, karena dari tangkapan mata dan telinga lalu merasuk dan bergulat menjadikannya sebuah pengertian lain yang lebih maknawi.

Advertisements

Tidak sedikit – kalau tidak semua – para santri, kaum terpelajar kota, peneliti, dan aktivis gerakan perempuan memandang (memaknai) tandak sebagai pelacur, penebar maksiat, penggoda suami, prostitusi terselubung, perempuan rendahan, tidak estetis, dan yang sejenis. Sementara orang atau kelompok sosial yang lain memaknai tandak sebagai perempuan tertindas, perempuan terlunta, perempuan tereksploitasi, perempuan marjinal, perempuan tak berdaya, dan sebutan-sebutan lain yang mengartikan powerless.

Baik yang menstigma dan menghujat maupun yang “belas kasihan” tampaknya justru berangkat dari cara berpikir yang kategoris dan tidak membaca tandak sebagai orang yang terbekali oleh potensi, kekuatan, kemampuan, dan hak-hak untuk hidup di tengah keramaian kehidupan.

Ada memang yang memaknai tandak tidak dalam pengertian mencaci atau meremehkan. Ronggeng Dukuh Paruk (karya Ahmad Tohari) dan Santet Kerudung Gandrung (karya Hasnan Singodimayan), sebagai contoh, memaknai tandak (persamaan di tempat lain adalah gandrung, lengger, waranggono, teledhek, ronggeng) adalah perempuan yang berjibaku dalam silih bergantinya dikuasai-menguasai, ditekan-menekan, bahkan ditindas-menindas. Resistensi merupakan agenda penting dalam hidup seorang tandak, karena hanya dengan begitu ia berada dan menjadi eksis.

Pengertian maknawi rupanya sangat tergantung siapa yang merumuskannya. Dan siapa, tidaklah berarti hanya sosok kosong tak berisi, melainkan seseorang yang dilengkapi sederet referensi dan kepentingan yang tali-temali dengan posisi dan eksistensinya dalam pergaulan sosial yang lebih luas. Justru, referensi dan kepentingan itulah yang mungkin lebih intensif terlibat dalam proses perumusan. Apakah tandak itu pelacur terang-terangan, pelacur terselubung, perempuan terlunta, atau perempuan yang gagah-berani hanyalah makna-makna yang dirumuskan orang lain, tentu, dengan tingkat keabsahan yang terbatas.

“Biarkan dia mendefinisikan diri” adalah pesan paling penting untuk dikemukakan. Dengan mengungkap liku-liku kesaksian (pengalaman) dan sejarah hidup seorang tandak, catatan ini tak hendak mengajukan definisi, apalagi mengklaim sebagai satu-satunya yang benar. Sebaliknya, ia hanyalah bermaksud menyampaikan kekayaan etnografis tandak, sesuatu yang akan selalu diperlukan untuk memahaminya lebih arif dan bijak.

Justru, peran-peran tandak dalam formasi sosial (kungkungan patriarkhi), seperti yang tersaji dalam berbagai laporan jurnalistik selama ini, haruslah dipahami sebagai upaya serius para tandak, sadar atau tidak sadar, untuk merumuskan dan mendefinisikan diri dalam konteks kehidupan yang dinamik dan kompleks. Tandak memang tidak terbiasa membuat rumusan-rumusan “sistematis” seperti layaknya seorang ilmuwan atau teknokrat, tetapi langkah-langkah dan kepakan sayap seorang tandak menyisir hidup sudah cukup menjadi bukti betapa ia serius berusaha dan mampu merumuskan diri, bahkan rumusan itu tampak lebih genial.

Membaca kesaksian tandak dari waktu ke waktu, terkesan kuat bahwa rumusan dan definisi tentang dirinya selalu berubah, tidak membeku dalam suatu titik, dan selalu plural. Jika kesan itu benar, maka bukankah rumusan dan definisi tandak oleh dirinya sendiri itu yang sebenarnya lebih realistis, di samping lebih manusiawi. Dengan demikian, membiarkan tandak mendefinisikan diri bukan hanya sekadar kemestian, tetapi juga lebih penting ketimbang mengungkungnya dalam rumusan dan definisi kita, orang-orang eksternal. Karena, pada sisi yang lain, hal itu berarti kita telah menempatkan tandak sebagai subyek sejarah.

Akhirnya, biarkan dia mendefinisikan diri dan biarkan pula dia menentukan sejarahnya sendiri, karena ia adalah subyek sejarah.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan