Tanazu’ul Baqo’

4,424 kali dibaca

Dalam pelajaran Muthola’ah wal Insya’ yang saya pelajari semasa kelas dua Madrasah Aliyah, ada sebuah judul tanazu’ul baqo yang artinya saling beradu menunjukkan eksistensi. Ketika dipinta oleh guru untuk menghafalkannya, saya tidak pernah hafal. Tapi kala itu, judul tersebut terlalu menarik buat saya. Anehnya, justru tidak dapat saya taklukkan. Seperti analogi bahwa kamu orang yang gantengnya minimalis, namun menginginkan wanita yang seksi, manis, dan cantiknya maksimal. Mungkin kamu bisa; bisa ditolak lebih tepatnya atas berbagai alasan.

Balik ke judul tadi. Hingga suatu ketika saya buka lagi buku tersebut. Sesuai judul bukunya, muthola’ah yang artinya ditelaah. Kemudian saya baca secara seksama buku tersebut dan bukan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Alias lama.

Advertisements

Kemudian saya menyimpulkan bahwa segala sesuatu memiliki dua wajah berbeda. Secara sederhananya, ada pro dan kontra. Siapa pun dan apa pun bisa menilai dirinya pro maupun kontra. Seperti kata Bang Pandji Pragiwaksono, “Kadang-kadang kita suka bilang kita Pancasila banget, tapi kita masih membeda-bedakan. (Contoh: pengakuan) kita sebagai orang baik dan orang lain jahat”. Sudah terjadi di masyarakat kita hal-hal seperti itu. Jelas bukan? Siapa pun bisa mengklaim pribadi mereka masing-masing.

Tapi nyatanya hal-hal demikianlah yang menunjukkan eksistensi makhluk hidup itu benar-benar hidup. Ketika ada orang dengan idealisme mewujudkan keadlian berupa kesetaraan, justru itulah yang menusuk-nusuk nilai keadilan. Seorang anak TK tidak mungkin disamakan uang jajannya dengan anak kuliahan. Di satu sisi logika kita mengatakan hal tersebut masuk akal, namun jangan lupa sisi lain (empati) juga punya pandangan tersendiri. Seberapa pun kita bersikukuh ingin menegakkan idealisme kita, realita akan mengadang dengan berbagai macam cara. Yang bahkan tidak pernah kita kira bagaimana caranya.

Terkait dengan judul dalam buku muthola’ah tadi. Gelap berseteru dengan terang. Terbit saling kejar dengan terbenam. Baik beradu tinju dengan buruk, dsb. Semua sifat tadi saling menunjukkan bahwa mereka ada. Dan yang paling rakus mengadopsi sifat-sifat tadi adalah manusia. Sampai-sampai Allah utus dua malaikatnya untuk menjaga mereka. Di kiri dan di kanan, Raqib dan Atid.

Dalam menentukan apa yang akan manusia perbuat, pasti selalu melibatkan dua wajah tadi yang kita bahas di awal. Ada sisi malaikat dan ada sisi setan. Bukan hanya sifat keduanya yang menemani manusia, melainkan juga sosoknya. Selama ini kita hanya bisa merasakan. Tak pernah bisa melihat bagaimana perwujudan setan dan malaikat, kecuali hanya dari gambaran kisah. Drummer SID, Jering, mengatakan di postingan instagram-nya sambil berkaca, “Lama-lama jadi mikir apa visual “setan” sengaja dibikin seram (seperti saya) oleh ‘mereka’ supaya gak ada yg nyangka jika setan yang sebenarnya kebanyakan polos, sopan, pemalu, kikuk, dan pakai kaca mata ya?”

Kita tidak pernah benar-benar tahu akan hal itu. Karena Allah sendiri mengklasifikasikan setan dalam sam’iyyat. Tidak bisa dilihat tapi harus dipercayai bahwa mereka punya eksistensi. Di masa-masa pandemi seperti ini, saya sempat terpikir ketika merenung di bawah pohon rindang depan kamar saya.

Apakah setan tadi (yang mana mereka juga punya andil dalam konsep tanazu’ul baqo’) layaknya manusia? Merasakan dampak virus ini atau tidak? Atau mungkinkah hal seperti ini terjadi di dunia mereka juga? Atau bisa jadi yang sebenarnya setan adalah mereka yang globalis, yang ikut berjibaku meramaikan pandemi ini?

Multi-Page

Tinggalkan Balasan