Pernyataan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ulil Abshar Abdalla, yang menyebut bahwa “menjaga lingkungan itu penting, tetapi mengelola tambang itu juga maslahat”, menjadi topik yang menggugah perbincangan publik.
Gus Ulil menekankan bahwa penambangan pada dasarnya baik, selama tidak dilakukan secara buruk atau dalam istilah beliau, bad mining.

Namun, dalam perspektif yang lain, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, menyebut penambangan sebagai bentuk kejahatan ekologis yang mewariskan luka bagi generasi mendatang, terutama jika keuntungan hanya mengalir ke kota-kota besar sementara masyarakat lokal menanggung kerusakan dan kehilangan ruang hidup.
Di sinilah pertanyaan besar muncul: apakah maslahat yang disebutkan oleh Gus Ulil bisa benar-benar adil tanpa menimbang sisi ekologis, sosial, dan spiritual dari praktik pertambangan?
Pesantren dan Kearifan Ekologis
Pesantren sebagai pusat pendidikan Islam tradisional, memiliki relasi teologis yang kuat dengan bumi. Dalam banyak tradisi pesantren, bumi bukan hanya hamparan material, tetapi juga amanah Ilahi.
Al-Qur’an telah menyebut manusia sebagai khalifah fi al-ardh, wakil Tuhan di muka bumi. Dalam tafsir-tafsir klasik seperti Tafsir al-Mahalli hingga Tafsir al-Maraghi, amanah kekhalifahan itu menuntut tanggung jawab etis atas keberlangsungan kehidupan dan keteraturan alam.
Kiai-kiai kampung sejak dulu telah mengajarkan nilai qana’ah (berkecukupan) dan ‘iffah (menahan diri), yang sejatinya adalah fondasi etika lingkungan dalam Islam.
Maka, ketika pertambangan dilakukan dengan logika ekstraktif — mengambil tanpa memulihkan — maka praktik itu berlawanan dengan prinsip keberlanjutan (istidamah) dalam ajaran Islam. Bukan hanya bad mining, tetapi model ekonomi tambang itu sendiri harus dipertanyakan apabila hanya menyejahterakan segelintir pihak dengan mengorbankan komunitas adat dan ekologis.
Kritik terhadap Narasi PBNU
Maslahat, sebagai salah satu prinsip dalam maqashid al-syari’ah, memang menjadi instrumen penting dalam merumuskan kebijakan publik yang sesuai dengan syariat. Namun, maslahat tidak boleh hanya dilihat dari sisi ekonomi atau kebermanfaatan semu. Ia harus memenuhi syarat: nyata (haqiqiyyah), menyeluruh (kulliyyah), dan tidak melanggar prinsip-prinsip syariah lainnya.
Jika penambangan merusak lingkungan, memiskinkan masyarakat lokal, dan memperparah ketimpangan sosial, maka maslahat yang dimaksud bisa saja masuk kategori maslahat wahmiyyah, maslahat semu yang dibangun di atas ilusi pembangunan.
Sayangnya, PBNU sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia belum sepenuhnya menunjukkan sikap kritis terhadap model pembangunan ekstraktif yang terbukti merusak. Dalam konteks tambang, NU seharusnya tidak hanya menjadi penyeimbang wacana pemerintah, tetapi juga menjadi pembela mustadh’afin, kaum lemah dan termarjinalkan akibat kebijakan yang tidak adil terhadap alam. Bukankah nilai al-‘adl (keadilan) adalah salah satu asas utama dalam Islam?
Pernyataan Gus Ulil mungkin dimaksudkan sebagai jalan tengah, namun dalam praktiknya berpotensi melegitimasi aktivitas pertambangan yang selama ini menyisakan kehancuran ekologis. Kritik Iqbal Damanik yang menyebut sistem saat ini sebagai “no viral, no justice” mencerminkan kekecewaan atas sistem yang tak mendengar suara rakyat kecuali jika disuarakan lewat popularitas media. Seharusnya PBNU peka terhadap suara-suara dari pinggiran ini, bukan hanya sibuk di meja kebijakan.
Viral Satu-Satunya Jalan Keadilan
Kemenangan rakyat Raja Ampat melalui gerakan #SaveRajaAmpat yang berhasil memaksa pemerintah mencabut sebagian besar izin tambang adalah bukti bahwa kekuatan rakyat masih hidup. Namun, sebagaimana disampaikan Iqbal, kemenangan ini tetap menyisakan luka karena harus diraih dengan susah payah, melalui tekanan publik, bukan dari kebijakan yang berpihak secara natural.
Dalam logika Islam, ruang hidup yang layak adalah bagian dari haqq al-insan, hak asasi manusia. Jika negara dan lembaga-lembaga besar agama abai terhadap hak ini, maka mereka sedang menggugurkan salah satu amanah tertingginya. Suara rakyat kecil, komunitas adat, dan alam semesta seharusnya didengar sebelum mereka terpaksa viral. Keadilan ekologis tidak boleh menunggu trending topic.
Etika Tambang dari Pesantren
Pesantren hari ini dituntut untuk tidak hanya menjadi tempat belajar kitab kuning, tetapi juga pusat advokasi keberlanjutan hidup. Dunia pesantren punya modal besar: etika spiritual, keberpihakan terhadap yang lemah, dan jarak yang dekat dengan realitas sosial. Maka, pesantren harus berani bicara: bukan hanya menolak bad mining, tapi juga menolak sistem yang melanggengkan bad governance, bad justice, dan bad faith dalam pembangunan.
Sudah saatnya NU sebagai organisasi mereposisi ulang keberpihakannya dalam isu tambang: apakah ingin berpihak kepada maslahat jangka pendek, atau maslahat hakiki yang menjamin kelestarian bumi, keadilan sosial, dan keberlanjutan generasi?
Jika bumi ini amanah, maka pengkhianatan terhadapnya adalah dosa berjamaah. Dan diam terhadap kejahatan ekologis bukanlah netralitas, tapi bentuk keterlibatan yang halus. Maka, pesantren harus menjadi suara kenabian yang berani bersuara: bumi bukan untuk ditambang, tapi untuk dijaga.