Tambang, Maslahat, dan Luka Ekologis: Pandangan Pesantren

55 views

Pernyataan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ulil Abshar Abdalla, yang menyebut bahwa “menjaga lingkungan itu penting, tetapi mengelola tambang itu juga maslahat”, menjadi topik yang menggugah perbincangan publik.

Gus Ulil menekankan bahwa penambangan pada dasarnya baik, selama tidak dilakukan secara buruk atau dalam istilah beliau, bad mining.

Advertisements

Namun, dalam perspektif yang lain, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, menyebut penambangan sebagai bentuk kejahatan ekologis yang mewariskan luka bagi generasi mendatang, terutama jika keuntungan hanya mengalir ke kota-kota besar sementara masyarakat lokal menanggung kerusakan dan kehilangan ruang hidup.

Di sinilah pertanyaan besar muncul: apakah maslahat yang disebutkan oleh Gus Ulil bisa benar-benar adil tanpa menimbang sisi ekologis, sosial, dan spiritual dari praktik pertambangan?

Pesantren dan Kearifan Ekologis

Pesantren sebagai pusat pendidikan Islam tradisional, memiliki relasi teologis yang kuat dengan bumi. Dalam banyak tradisi pesantren, bumi bukan hanya hamparan material, tetapi juga amanah Ilahi.

Al-Qur’an telah menyebut manusia sebagai khalifah fi al-ardh, wakil Tuhan di muka bumi. Dalam tafsir-tafsir klasik seperti Tafsir al-Mahalli hingga Tafsir al-Maraghi, amanah kekhalifahan itu menuntut tanggung jawab etis atas keberlangsungan kehidupan dan keteraturan alam.

Kiai-kiai kampung sejak dulu telah mengajarkan nilai qana’ah (berkecukupan) dan ‘iffah (menahan diri), yang sejatinya adalah fondasi etika lingkungan dalam Islam.

Maka, ketika pertambangan dilakukan dengan logika ekstraktif — mengambil tanpa memulihkan — maka praktik itu berlawanan dengan prinsip keberlanjutan (istidamah) dalam ajaran Islam. Bukan hanya bad mining, tetapi model ekonomi tambang itu sendiri harus dipertanyakan apabila hanya menyejahterakan segelintir pihak dengan mengorbankan komunitas adat dan ekologis.

Kritik terhadap Narasi PBNU

Maslahat, sebagai salah satu prinsip dalam maqashid al-syari’ah, memang menjadi instrumen penting dalam merumuskan kebijakan publik yang sesuai dengan syariat. Namun, maslahat tidak boleh hanya dilihat dari sisi ekonomi atau kebermanfaatan semu. Ia harus memenuhi syarat: nyata (haqiqiyyah), menyeluruh (kulliyyah), dan tidak melanggar prinsip-prinsip syariah lainnya.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan