Talak dan Logika Fikihnya

1,233 kali dibaca

Sebagai tokoh agama yang sekaligus figur publik, wajar jika sosok KH Abdullah Gymnastiar memang menjadi sorotan publik. Pendakwah yang kondang dengan sapaan Aa Gym itu baru-baru ini kembali menjadi sorotan publik lantaran mengajukan gugatan cerai talak tiga ke Pengadilan Agama atas istrinya, Ninih Muthmainnah.

Publik kemudian bertanya-tanya tentang status pernikahannya tersebut setelah, tanpa diduga, Aa Gym menarik kembali gugatan perceraiannya. Dalam banyak keterangan fikih, talak tiga merupakan salah satu bentuk talak yang harus melalui tahapan khusus untuk merujuknya (kembali ke dalam keluarga suami-istri).

Advertisements

Berdasarkan keterangan fikih tersebut, istri yang telah dijatuhi talak tiga baru bisa diajak rujuk jika telah pernah menikah lagi dengan lelaki lain. Tapi, dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia, penjatuhan talak baru dianggap sah jika telah memperoleh penetapan dari Pengadilan Agama. Karena itulah, publik kemudian bertanya-tanya, sudah menjatuhkan talak tiga, tapi kemudian menarik kembali gugatannya. Lalu, bagaimana status perkawinannya?

Talak Menurut Fikih

Menurut ketentuan hukum Islam, talak diperbolehkan demi sebuah kemaslahatan dalam rumah tangga. Di dalam Al-Quran, Allah berfirman, “Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik” (QS. Al-Baqarah: 229).

Ayat ini menjelaskan bahwa talak dalam hubungan pernikahan hanya boleh terjadi satu kali hingga dua kali. Talak yang seperti ini disebut talak raj’i, yaitu talak yang boleh rujuk (kembali). Talak raj’i merupakan talak yang menurut hukum fikih masih diperbolehkan rujuk tanpa ada syarat-syarat tertentu.

Ini berbeda dengan talak tiga talak tiga (bain. Talak tiga mengharuskan adanya syarat-syarat khusus jika suami yang menalak berniat kembali (rujuk) kepada istrinya yang telah ditalak tiga.  Dalam hal ini, setelah terjadi talak yang ketiga, maka jika suami ingin kembali (rujuk), mantan istri harus menikah lebih dahulu dengan laki-laki lain dan sudah terjadi jimak. Jika kemudian terjadi talak dari suami tersebut, yang dalam fikih disebut muhallil, maka setelah iddah suami pertama boleh kembali lagi atau menikah lagi dengan mantan istri yang telah ditalak sebanyak tiga kali tersebut.

Talak dalam KHI

Namun, berdasarkan hukum positif yang berlaku di Peradilan Agama yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), talak harus dilakukan di depan Pengadilan Agama. Sebagaimana pernikahan yang dianggap tidak sah kalau dilakukan di luar pengadilan agama. Maka, secara hukum positif, perceraian dalam suatu pernikahan akan menjadi sah jika sudah terdapat legalitas atau penetapan dari Pengadilan Agama.

Mengenai talak diatur lebih lanjut dalam Pasal 129, Pasal 130, dan Pasal 131 KHI. Pasal 129 KHI berbunyi, “Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.

Jadi, menurut KHI, perceraian itu terjadi jika ada legalitas atau disahkan oleh Pengadilan Agama. Perceraian di luar Pengadilan Agama tidak dianggap sebagai sebuah perceraian atau perceraiannya tidak sah menurut KHI.

Sementara itu, dalam KHI yang dimaksud talak tiga adalah talak yang dilakukan untuk ketiga-kalinya. “Talak ba’in kubraa adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da al dukhul dan habis masa iddahnya.” (KHI padal 120).

Berdasarkan ketentuan KHI tersebut, talak tiga tidak dapat dijatuhkan dalam sekali pengucapan penalakan. Melainkan, talak tiga adalah talak yang dijatuhkan untuk ketiga kalinya.

Sementara di dalam Al-Quran, Allah berfirman, “Jika dia menceraikan perempuannya (sesudah talak dua kali), maka tiadalah halal perempuan itu baginya, kecuali jika perempuan itu telah kawin dengan lelaki yang lain. Dan jika diceraikan pula oleh lelaki lain itu, tiada berdosa keduanya kalau keduanya rujuk kembali, jika keduanya menduga akan menegakkan batas-batas Allah. Demikian itulah batas-batas Allah, diterangkannya kepada kaum yang akan mengetahuinya” (QS. Al-Baqarah: 230).

Jadi, terdapat kesesuaian antara KHI dengan Al-Quran, bahwa talak tiga (bain) merupakan talak yang terdapat perlakuan khusus jika suami ingin kembali (rujuk). Dalam hal ini, setelah terjadi talak yang ketiga, maka jika suami ingin kembali (rujuk), mantan istri harus menikah lebih dahulu dengan laki-laki lain dan sudah terjadi jimak.

Lalu, bagaimana dengan status talak tiga yang diucapkan sekaligus? Dalam hal ini semisal seorang suami mengatakan kepada istrinya, “Kutalak kamu dengan talak tiga.”

Maka terkait dengan masalah ini, ulama fikih berbeda pendapat. Ada yang mengatakan bahwa itu sah sebagai talak tiga (bain), tetapi ada juga yang berpendapat bahwa itu tetap disebut sebagai satu kali talak (raj’i). Dan pendapat yang terakhir ini yang lebih kuat.

Terkait dengan talak tiga yang diucapkan dalam satu kali ungkapan, ada yang berpendapat boleh dilakukan talak langsung talak tiga dengan merujuk pada hadis berikut: “Di masa Rasulullah SAW, Abu Bakar, lalu dua tahun di masa khilafah ‘Umar muncul ucapan talak tiga dalam sekali ucap. ‘Umar pun berkata, “Manusia sekarang ini sungguh tergesa-gesa dalam mengucapkan talak tidak sesuai dengan aturan Islam yang dulu pernah berlaku, yaitu talak itu masih ada kesempatan untuk rujuk. Karena ketergesa-gesaan ini, aku berharap bisa mensahkan talak tiga sekali ucap.” Akhirnya ‘Umar pun mensahkan talak tiga sekali ucap dianggap telah jatuh tiga kali talak.” (HR Muslim no 1472).

Namun, jika kita kembali pada hukum positif tentang perkawinan yang diatur dalam KHI, sepanjang belum ada penetapan dari Pengadilan Agama, maka suatu talak atau perceraian secara resmi belum dianggap sah dan diakui oleh negara.

Perbuatan yang Dibenci Allah

Dalam Islam memang tidak halangan bagi pasangan suami-istri untuk berpisah. Namun, perceraian merupakan perbuatan yang dibenci oleh Allah. Hal ini didasarkan pada suatu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dud dan Ibnu Majah, yang berbunyi, “Perkara halal yang dibenci Allah swt adalah talak.”

Meskipun hadis ini menjadi perdebatan dalam kualitasnya, tetapi tidak sedikit ulama yang tetap mengambil dalil dari hadis ini sebagai istimbat hukum (maqasidus syar’i). Namun, dalam pandangan kehidupan sosial, talak atau perceraian dianggap sebagai sebuah kegagalan dalam membina rumah tangga. Sehingga pelaku dianggap negatif dan etika kerumahtanggaannya dianggap tidak baik. Maka kemudian timbul berbagai argumen bahwa perceraian itu terjadi karena berbagai sebab. Pergunjingan dari tetangga kanan-kiri selalu mengiringi adanya perceraian.

Namun, yang terpenting dari sebuah nilai perceraian adalah keinginan untuk memberikan dan atau mendapatkan kemaslahatan hidup, khususnya dalam rumah tangga. Ketika komunikasi buntu dan sudah tidak ada jalan keluar, dan perceraian merupakan alternatif terakhir, maka hal tersebut dianggap sebagai salah satu pilihan. Yang terpenting dari akibat perceraian itu tidak meninggalkan luka yang berkepanjangan dan kebutuhan pendidikan anak menjadi prioritas. Sehingga anak-anak yang tidak berdosa pun tetap mendapat perhatian sebagaimana layaknya.

Perceraian harus dijadikan jalan terakhir. Jika masih ada solusi untuk membina rumah tangga, maka jangan sampai terjadi perceraian. Sebaik-baiknya pernikahan adalah dengan tanpa adanya perceraian. Dan sebaik-baiknya perceraian adalah jika tidak meninggalkan problem lain di belakang nanti. Sehingga kita harus menghindari perceraian, karena hal ini merupakan kehalalan yang paling dibenci oleh Allah swt. Wallahu A’lam!

Multi-Page

Tinggalkan Balasan