Tafsir Jalalain dan Kejumudan Intelektual

40 views

Tafsir merupakan jembatan utama bagi umat Islam dalam memahami firman Allah. Di antara karya tafsir yang paling luas digunakan dalam dunia Islam, khususnya dalam pendidikan tradisional, adalah Tafsiral-Jalalain. Disebut jalalain yang berarti dua orang, karena tafsir ini merupakan karya dua ulama, yaitu Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi.

Tafsir ini menjadi rujukan utama dalam banyak madrasah dan pesantren karena penyajiannya yang ringkas dan padat.
Namun, dalam perkembangan wacana pemikiran Islam kontemporer, muncul kritik terhadap keberadaan unsur mistis dan mitologis dalam Tafsir Jalalain, terutama dalam penafsiran kisah-kisah Al-Qur’an.

Advertisements

Kepercayaan terhadap hal-hal gaib, seperti makhluk aneh, burung yang membawa nabi, atau peristiwa supernatural yang tidak memiliki pijakan rasional atau historis yang kuat, kerap dipertahankan tanpa proses klarifikasi kritis.

Fenomena ini dianggap sebagai salah satu penyebab terjadinya kejumudan intelektual di kalangan umat Islam, yakni ketika daya kritis, nalar ilmiah, dan semangat ijtihad tergantikan oleh sikap taqlid buta dan pengagungan terhadap teks klasik secara ahistoris.

Mistis dalam konteks ini merujuk pada unsur spiritual atau supranatural yang tidak terverifikasi secara empiris, tetapi dianggap sebagai bagian dari kebenaran. Sedangkan, mitologis merujuk pada cerita-cerita atau narasi yang bersifat legendaris atau simbolik, tetapi diperlakukan sebagai kebenaran historis.

Dalam Tafsir Jalalain, banyak dijumpai kisah-kisah yang beraroma mistis atau mitologis. Misalnya, dalam penafsiran QS. Al-Kahf: 9-26 tentang Ashhabul Kahfi, disebutkan pemuda yang tidur selama 309 tahun, seekor anjing yang berjaga di pintu gua, serta berbagai perkiraan jumlah pemuda yang semuanya dianggap valid.

Tak hanya itu, dalam penafsiran QS. Saba’: 12-14 tentang Nabi Sulaiman, disebutkan bahwa jin bekerja atas perintahnya dan kematiannya tidak diketahui sampai tongkatnya dimakan rayap. Juga dalam QS. Al-Baqarah: 19, dijelaskan petir adalah suara malaikat.

Penafsiran-penafsiran ini seringkali dipahami secara literal oleh sebagian besar umat Islam, bahkan diinstitusionalisasikan dalam sistem pendidikan agama, tanpa ruang untuk pendekatan simbolik atau hermeneutik kritis.

Menurut pemikir Islam progresif Fazlur Rahman, kejumudan terjadi ketika umat Islam berhenti menggali makna Al-Qur’an secara dinamis dan hanya mengandalkan otoritas masa lalu. Ini menyebabkan stagnasi epistemologis. Ia menyebutkan bahwa tradisi intelektual Islam membeku ketika akal digantikan oleh imitasi (taqlid).

Kondisi tersebut diperparah dengan kurangnya pembaruan metode penafsiran di lembaga-lembaga pendidikan Islam. Sebab, dari data LIPI menunjukkan hanya 27% institusi keislaman di Indonesia yang mengajarkan metode tafsir tematik atau kontekstual. Sisanya masih bergantung pada pendekatan literal klasik.

Akibatnya, rasionalitas umat Islam melemah. Mereka lebih mudah terjebak pada narasi-narasi takhayul, kehilangan daya kritis, serta tidak memiliki kepekaan terhadap konteks zaman. Padahal, Al-Qur’an mendorong manusia untuk berpikir dan menggunakan akalnya.

Tafsir Jalalain tidak salah dalam konteks zamannya. Metode penafsiran yang digunakan sesuai dengan budaya dan kapasitas keilmuan saat itu. Namun, dalam konteks modern, penafsiran mistis harus dilihat sebagai ekspresi budaya yang perlu dikritisi, bukan sebagai kebenaran tunggal yang absolut.

Mistis dan mitologis dalam Tafsir Jalalain adalah realitas teks yang perlu ditempatkan dalam konteks sejarah intelektual Islam. Namun, mempertahankan tafsir tersebut tanpa kritik atau pembaruan hanya akan memperparah kejumudan berpikir umat Islam.

Reformasi pemahaman keagamaan, penyegaran kurikulum tafsir, dan penguatan nalar kritis di kalangan umat menjadi langkah penting untuk membawa Islam kembali menjadi agama yang mencerdaskan dan membebaskan.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan