Tafsir Al-Qur’an, sebagai upaya fundamental untuk memahami dan menggali makna kitab suci, telah mengalami evolusi signifikan seiring perkembangan zaman. Dari corak bayani yang berpusat pada aspek kebahasaan, burhani yang mengedepankan logika dan rasionalitas, hingga irfani yang menyelami kedalaman spiritual, setiap pendekatan memiliki kekhasan dan relevansinya tersendiri.
Dalam konteks ini, tafsir falsafi tampil sebagai metode yang berupaya menyelaraskan pemahaman ayat-ayat suci dengan penalaran filosofis, menyingkap hikmah di balik teks yang tersurat, dan mengaitkannya dengan persoalan-persoalan kontemporer.

Nadirsyah Hosen, seorang cendekiawan Muslim kontemporer yang dikenal luas, menawarkan perspektif menarik mengenai tafsir falsafi, khususnya melalui kacamata fenomena media sosial dalam bukunya yang provokatif, Tafsir Medsos.
Nadirsyah Hosen, atau yang akrab disapa Gus Nadir, tidak secara eksplisit mengkategorikan Tafsir Medsos sebagai karya tafsir falsafi murni dalam pengertian tradisional. Namun demikian, melalui metode analisisnya yang mendalam dan kritis terhadap berbagai fenomena di media sosial, ia secara implisit mengadopsi dan mengembangkan pendekatan falsafi.
Gus Nadir tidak hanya berhenti pada penafsiran harfiah ayat-ayat, melainkan berusaha menyingkap nilai-nilai universal dan prinsip-prinsip nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an untuk kemudian diaplikasikan pada realitas digital yang kompleks. Inilah esensi dari tafsir falsafi: kemampuan untuk “berfilsafat” dengan teks suci, menembus permukaan, dan menemukan relevansi abadi di tengah perubahan zaman.
Ayat dan Realitas: Relevansi yang Abadi
Salah satu ciri khas tafsir falsafi adalah kemampuannya untuk melampaui batasan tekstual dan terhubung dengan isu-isu kontemporer. Gus Nadir dengan cermat menunjukkan hal ini dalam Tafsir Medsos.
Ia tidak hanya menukil ayat, tetapi juga secara cermat menganalisis bagaimana ayat-ayat tersebut dapat memberikan panduan etis dalam berinteraksi di ranah digital.
Sebagai contoh, ketika membahas tentang hoaks dan ujaran kebencian, Gus Nadir tidak hanya mengacu pada larangan berbohong atau memfitnah secara umum, tetapi juga menggali implikasi filosofis dari kejujuran dan tanggung jawab moral dalam konteks kecepatan penyebaran informasi di media sosial. Ini adalah corak tafsir yang mengajak pembaca untuk berpikir kritis dan mendalam tentang konsekuensi dari setiap unggahan atau komentar yang dibuat di dunia maya.
Lebih lanjut, tafsir falsafi sering kali melibatkan dialektika antara teks suci dan akal budi. Gus Nadir dalam Tafsir Medsos menunjukkan ini melalui upaya untuk mencari titik temu antara narasi Al-Qur’an dan realitas sosial-budaya yang terbentuk oleh media sosial. Ia tidak mengesampingkan akal sehat atau pengalaman empiris, melainkan justru menggunakannya sebagai lensa untuk memahami pesan-pesan ilahi secara lebih komprehensif.
Misalnya, dalam membahas fenomena “buzzer” atau polarisasi opini, Gus Nadir tidak hanya merujuk pada ayat-ayat tentang persatuan, tetapi juga mengajak pembaca untuk mempertanyakan secara filosofis motivasi di balik tindakan-tindakan tersebut dan dampaknya terhadap aspek sosial. Ini adalah tafsir yang mendorong pada refleksi mendalam, bukan sekadar penerimaan dogmatis.
Namun, penting untuk dicatat bahwa tafsir falsafi yang diusung Gus Nadir bukanlah tafsir yang mengedepankan akal secara absolut hingga mengabaikan otoritas wahyu. Sebaliknya, ia berusaha menempatkan akal sebagai alat untuk mengungkap kedalaman makna wahyu dan mengaktualisasikannya dalam kehidupan modern. Ia menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip qur’ani, seperti keadilan, kasih sayang, dan kebijaksanaan, tetap relevan dan dapat menjadi pedoman etis yang kokoh di tengah hiruk-pikuk dunia digital. Dalam hal ini, tafsir falsafi ala Gus Nadir berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan keabadian pesan ilahi dengan kompleksitas tantangan kontemporer.
Kesimpulan
Kesimpulannya, meskipun Tafsir Medsos tidak secara eksplisit mendeklarasikan diri sebagai karya tafsir falsafi, pemikiran Nadirsyah Hosen dalam buku tersebut secara gamblang merepresentasikan semangat dan metodologi tafsir falsafi. Kemampuannya untuk melampaui tekstualitas, menghubungkan ayat dengan realitas kontemporer, serta melibatkan dialektika antara wahyu dan akal budi, menjadikan karyanya sebuah contoh kontemporer yang relevan tentang bagaimana Al-Qur’an dapat terus menjadi sumber inspirasi dan pedoman etis di era digital.
Gus Nadir telah berhasil menunjukkan bahwa tafsir falsafi, alih-alih menjadi metode yang usang, justru semakin relevan di tengah banjir informasi, mengajak kita untuk berpikir lebih dalam dan bertanggung jawab dalam setiap interaksi di dunia maya.
Ini resensi ya? Apakah bukunya sudah terbit?