Tabib Palsu

2,826 kali dibaca

Agus dibuat jengah dengan polah tingkah bapaknya yang sejak tadi pagi memarahi anak-anaknya.

“Kakek jahat, Yah,” dengus putra keduanya yang masih berumur tiga tahun.

Advertisements

“Kami disuruh main di luar rumah,” putra pertamanya ikut mengadu.

Dengan keringat yang masih membasahi kausnya, Agus menaruh keranjang sayur yang baru dipakai jualan keliling kampung. Dia bergegas menuju kamar bapaknya. Orang tua itu sedang meringkuk berselimut sarung. Dipegangnya tubuh orang tua itu. Ternyata dia sedang sakit gigi. Muncullah rasa kasihan mengganti rasa jengah itu. Sejenak ia teringat pada saat masih mondok, belasan tahun yang lalu. Saat itu dia sedang sakit gigi. Lalu Kiai Majid menyuruhnya mencari daun sirih. Benda itu dia kunyah, lalu dioleskan pada gigi Agus. Seketika sakit giginya berangsur-angsur sembuh.

Agus kemudian mencari daun itu. Anaknya yang pertama dia suruh mencari di pekarangan rumah Mak Nyus. Ketika tiga benda itu telah didapat, cepat-cepat ia mengunyahnya. Ia minta bapaknya mengolesi giginya yang sakit itu dengan obat yang baru ia kunyah. Dan benar, bapaknya sembuh menjelang sore itu. Bahkan ia ajak cucunya bermain.

“Ternyata kamu punya bakat tabib, Mas,” puji istrinya. Bangga hati Agus mendengar pujian itu.
“Kenapa Mas nggak buka pengobatan sakit gigi saja? Kemarin Yu Yam dan beberapa hari sebelumnya Mbok Sar juga mengeluhkan sakit gigi. Hmmm. Taruhlah satu pasien tiga puluh ribu. Berapa penghasilanmu dalam sehari jika per hari minimal ada dua pasien yang berobat padamu Mas? Bandingkan dengan penghasilanmu menjadi tukang sayur selama ini. Paling banter lima puluh ribu. Jelas menjadi tabib lebih punya masa depan cerah, Mas. Apalagi sekarang bisa promosi lewat media online. Prospek sekali itu Mas!” istri Agus meletup-letup penuh semangat.

“Encer sekali pemikiran istriku ini,” bisik Agus dalam hati.

“Kamu yakin jasa pengobatanku akan laku, Bunda?” tanya Agus, tak yakin dengan kemampuannya sendiri.

“Bukankah kamu sendiri sering menasihati orang agar yakin dengan kemampuannya?” tanya istrinya, menyentak kesadaran Agus.

Teringatlah Agus pada kata-kata sakti Syaikh Syarofuddin Yahya Al-Imrithy dalam kitab al-Imrithi yang melegenda itu. Idzil fata hasba’tiqodihi rufi’, wakullu man lam ya’takid lamyantafi’. Pemuda itu tenar lantaran teguh keyakinannya, dan setiap orang yang rapuh keyakinannya tak akan pernah berarti apa-apa. Maka terbakarlah hati Agus mengingat semua itu. Ia mantab sekali, dengan sepenuh keyakinan dia akan banting setir menjadi seorang tabib gigi.

Beberapa hari kemudian terpajang tulisan besar di depan rumahnya. “Ki Agus, Tabib Gigi- Mengobati dengan Sepenuh Hati”. Istrinya bertindak sebagai promotor yang memromosikan jasa pengobatan suaminya itu di dinding-dinding media sosial. Dan hasilnya obat racikan Ki Agus habis di hari pertama kali buka. Senyum lebar menghias bibir istri Agus. “Kenapa tak dari dulu dia kepikiran buka peluang usaha ini?” riuh hati Agus berceloteh.

Malamnya istri Agus yang memang maniak medsos itu membuka fanpage Tabib Gigi yang baru dua hari dibuatnya. Ingin dia cek bagaimana perkembangan usaha barunya itu. Kemarin malam dia unggah foto selfinya yang tersenyum manja seraya menunjukkan jamu buatan suaminya. Dia lihat seperti apa komentar netizen. Ramai sekali. Ternyata unggahannya telah di-share puluhan kali. Dan komentar-komentar miring ternyata yang memenuhi lini masanya. Kaget sekali dia melihat kenyataan itu.

“Tabib Palsu, bilang menyembuhkan. Bukannya sembuh, malah tambah parah.”

“Tabib palsu! Kembalikan uangku!”

“Diduga karena suaminya tak memberi uang saku, seorang ibu-ibu jual obat palsu.”

“Silakan saja cari uang, tapi bukan begini caranya!!!”

Komentar-komentar itu memusingkan kepalanya. Dan tatkala ia tunjukkan pada suaminya maka terperangahlah ia. Apalagi pada keesokan harinya seorang ibu-ibu yang kemarin membeli dua bungkus obat datang menuntut uangnya kembali. Suaminya semakin menjadi-jadi sakitnya setelah mengonsumsi obat itu.

Agus pun kebingungan. Beban mental karena menahan malu atas malpraktiknya itu menciutkan nyalinya. Semua orang mencaci keluarganya atas obat palsu itu. Walau kebanyakan dilayangkan melalui medsos, tapi itu cukuplah untuk menguliti wajahnya. Apalagi kini ia kehabisan uang untuk modal jualan sayur lagi. Bertambah bingunglah pikirannya.

“Bagaimana bisa begini Mas? Bagaimana bisa obatmu yang mujarab itu tiba-tiba tak mujarab lagi?” protes istrinya.

“Mana kutahu. Salahmu sendiri terlalu percaya diri!” dengus Agus kesal.

“Bukannya kamu yang selalu menyuruh orang lain untuk percaya diri? Laki-laki tak punya pendirian!”

Semakin pusinglah kepala Agus. Dan terdetiklah dalam hatinya untuk sowan pada Kiai Majid, guru yang pernah mengajarinya obat itu.

“Saya hendak bertanya kenapa resep obat itu tiba-tiba kehilangan khasiatnya, padahal hari sebelumnya bapak saya langsung sembuh dengan obat itu. Kenapa Kiai?” tanya Agus pada Kiai Majid.

Kiai sepuh itu tampak marah. Muridnya itu ia diamkan hingga beberapa saat.

“Kau tidak yakin,” ucap Kiai Majid.

“Tidak, Kiai. Saya sangat yakin sekali pada khasiat obat yang pernah Kiai berikan pada saya dulu itu,” protes Agus.

“Kau tidak yakin,” ulang Kiai Majid.

Dan Agus pun terlongok-longok kebingungan.

“Ketika mengobatimu, aku hanya berbekal keyakinan pada Allah, serta rasa kasihan padamu. Begitu pula perasaanmu ketika mengobati bapakmu. Namun, ketika kau jual obat itu keyakinanmu berubah. Niatmu pun berubah. Kamu tidak yakin pada kekuasaan Allah. Tapi cenderung condong percaya pada khasiat obat itu. Padahal yang bisa mengobati adalah Allah, bukan obat. Niatmu pun berubah dari keinginan mengobati karena welas asih menjadi niat mencari keuntungan. Paham?” gertak Kiai Majid.

Tubuh Agus gemetar. Ia terdiam menginsafi kelakuannya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan