Syarah Hadits pada Awal Peradaban Islam

1,073 kali dibaca

Hadits menempati posisi otoritas suci kedua sebagai sumber keagamaan bagi umat Islam setelah al-Quran. Komponen yang terdapat dalam hadits di antaranya adalah sanad dan matan. Sanad adalah jalur periwayatan atas tersalurkannya riwayat suatu hadits. Sedangkan, matan adalah muatan atau kandungan dalam suatu hadits.

Sanad maupun matan sama-sama memiliki disiplin bahasan sendiri dalam ilmu hadits yang disebut Ulumul Hadits, mulai dari konteks penilaian periwayat pada sanad hingga aspek pemahaman dalam matan.

Advertisements

Dalam hal ini, penulis mengajak untuk menyelami aspek yang erat dengan konsep matan. Matan sendiri memerlukan penjelasan untuk dapat dipahami maksud yang terkandung di dalamnya bagi pembaca. Upaya inilah yang selanjutnya dikenal dengan istilah syarh al hadits.

Syarah, menurut para ulama, dimaknai sebagai upaya penjelas terhadap hal-hal yang belum jelas dalam suatu matan hadits. Makna syarah sendiri memiliki kesamaan dengan arti tafsir dalam Ulumul Quran, yaitu menempati pososi sebagai al-kasyf (penggalian), al-bayan (penjelas), dan al-fahm (pemahaman).

Sesungguhnya, syarah telah ada sejak mula produksi sabda Nabi SAW. Syarah bahkan lahir dari praktik Nabi sendiri. Hal ini dapat didasarkan pada hadits riwayat Bukhari Nomor 5549. Ketika itu, Nabi memerintahkan kepada para sahabat untuk melakukan salat. Kemudian, Nabi sendiri yang memberikan penjelasan mengenai tata cara salat dengan ungkapan,

…وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي…

Artinya: “…dan salatlah sebagaimana kalian melihat aku salat….”

Konsep mengenai syarah berlanjut dengan sederhana setelah wafatnya Nabi, yang kemudian dilanjutkan oleh para sahabat. Otoritas sahabat sebagai saksi sejarah terhadap sumber utama hadits dijadikan rujukan oleh generasi-generasi selanjutnya, yakni atba’ at tabi’in. Akan tetapi, perjalanan syarah cenderung tidak berbanding lurus dengan kodifikasi hadits. Kodifikasi hadits dilakukan saat keluar perintah dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz melalui Ibn Syihab al Zuhri (w.124 H) pada kuartal pertama abad ke-1 Hijriyah.

Abad ke-2 hingga ke-4 Hijriyah

Menurut Abdullah al Qustantani dalam Kasyf al Fun ‘an Asami al Kutub wa al Funn (II/ 724), pen-syarah-an secara naratif baru dimulai pada 186 H. Pen-syarah-an dilakukan oleh Abdullah bin Nafi al Mashr al Saigh (w. 186 H). Saat itu, Abdullah bin Nafi al Mashr al Saigh men-syarah al Muwattha karya Imam Malik (w. 174 H) dengan judul Tafsir al Muwattha. Ada pula Abu Marwan Abdul Malik bin Hubaib bin Sulaiman al Qurtubi al Maliki (w. 237 H) dengan judul yang sama.

Namun, menurut Zakaria al Kandahlawi dalam Aujazu al Masalik ila Muwattha Malik (I/48), kedua kitab tersebut tidak ditemukan keberadaannya. Sementara, ada pula setelah kedua syarih (ulama syarah) di atas, muncul Muhammad bin Sahn (w. 256 H) yang juga menulis kitab syarah, namun tidak terdeteksi nama kitabnya.

Kemudian, pada kuartal terakhir abad ke-4, muncul Muhammad al Khitabi al Busthi (w. 388 H) dengan karya Ma’alim as Sunan (syarah atas Sunan Abu Dawud [w. 275H]) yang terkodifikasi dalam 4 jilid. Ia juga membuat syarah atas Shahih al Bukhari (w. 256 H) dengan judul A’lam as Sunan. Namun, belum berhasil terbukukukan dengan sempurna, karena tidak dapat dilacak dalam sumber-sumber mana pun.

Kemunculan beberapa kitab syarah pada awal peradaban Islam ini selanjutnya membangkitkan inisiasi secara besar-besaran terhadap motivasi untuk men-syarah kitab-kitab hadits yang ada.

Syarah yang digunakan pada masa klasik (Masa Nabi SAW-1200 M) hingga pertengahan (1200-1800 M) didominasi oleh metode tahlili. Dengan rincian: (1) Sajian sanad dan matan yang lengkap; (2) Untuk sanad, dijelaskan mengenai para perawi, jarh wa at ta’dil, dan tanda baca dalam nama rawi; (3) Untuk matan, penjelasan bahasa gharib, penjelasan jalur lain, penjelasan asbabul wurud, penjelasan hukum dan pendapat ulama. Metode ijmali digunakan al Khitabi (w. 388 H) dalam Ma’alim as Sunan. Sedangkan, metode maudhu’i digunakan oleh pen-syarah kontemporer (setelah 1800 M) atau modern yang didasarkan pada paradigma untuk pembaharuan Islam dan cenderung dilakukan dalam lingkup akademik.

Wallahu A’lam bi as Showaab.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan