Syair Kemerdekaan KH Muhammad Ilyas Syarqawi

2,975 kali dibaca

KH Muhammad Ilyas Syarqawi adalah keturunan pertama KH Syarqawi Al-Qudusi, pendiri Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk, Sumenep, Madura, Jawa Timur. Beliau lahir pada tahun 1889 dan wafat pada tahun 1959 dalam usia 70 tahun. Kiai Ilyas, demikian Beliau biasa dipanggil, menjadi pengasuh Pesantren Annuqayah Daerah Lubangsa sejak 1917 hingga 1959. Sebagai seorang ulama kharismatik, Kiai Ilyas juga mempunyai karakter nasionalisme yang sangat kuat dan cinta tanah air yang begitu mendalam.

Berikut ini penulis mencoba menasbihkan sikap nasionalisme Kiai Ilyas melalui karyanya, syair yang Beliau tulis untuk merayakan kemerdekaan Indonesia. Syair ini ditulis Kiai Ilyas pada 17 Agustus 1949, sebagaimana termaktub dalam buku “1889: Antologi Puisi Isyarat Gelombang III,” yang merupakan kumpulan puisi dari penyair Annuqayah, baik dari santri aktif, alumni, maupun para masyaikh Annuqayah.

Advertisements

Syair Kemerdekaan

بِالْإِسْتِقْلَالِ وَالْبَرَكَاتِ اُهْدِى # لِحَضْرَتِكَ الْهَنَّاءِ مَعَ السَّلَامِ

(Aku —KH Muhammad Ilyas Syarqawi— hadiahkan kepadamu (generasi muda) berkah kemerdekaan dengan kebahagiaan dan keselamatan). 

Dalam syair tersebut, Kiai Ilyas berperan sebagai generasi awal yang turut serta dalam memperjuangkan kemerdekaan, baik dengan cara verbal maupun nonverbal. Baik secara langsung maupun tidak langsung. Kemudian kemerdekaan yang telah diperoleh diserahkan kepada generasi muda untuk dirawat dan dipelihara agar tidak kembali lagi kepada kekuasaan kolonial.

Dalam sebuah kalimat Arab, “Subbanul yaum rijalul ghad,” bahwa generasi muda adalah pemimpin di masa yang akan datang. Maka menyerahkan kemerdekaan kepada para pemuda untuk dirawat, dipelihara, dan diisi dengan amaliah kebaikan adalah sebuah substansi kemerdekaan. Mengemban amanah kemerdekaan merupakan perwujudan atas nilai-nilai nasionalisme yang tinggi. Sehingga amanah ini harus dimanefestasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

وَأَرْجُوْ أَنْ يَعُوْدَ عَلَيْكَ دَوْمًا # بِكُلِّ مُسَرَّةٍ فِى كُلِّ عَامٍ

(Aku berharap —dalam doa— semoga kebahagiaan senantiasa bermuara kepadamu setiap tahun, dan selamanya). 

Bahwa berkah kemerdekaan adalah kebahagiaan itu sendiri. Maka, Kiai Ilyas berharap dalam narasi doa yang Beliau panjatkan semoga berkah kemerdekaan, kebahagiaan, dan kemakmuran selalu menjadi teman keseharian bagi generasi muda. Hal ini dimaksudkan bahwa doa adalah kebaikan, selama kebaikan itu sendiri yang ada di dalam doa (bukan doa keburukan).

Addu’au silahul mu’minin wa’imaduddin wanurussamawati wal ard, doa adalah senjata orang beriman, tiangnya agama (Islam), dan cahaya langit dan bumi,” (HR. Hakim). Hadis ini menjelaskan tentang keutamaan doa. Bahwa doa menempati maqam yang cukup urgen di dalam agama Islam. Maka dalam syair Kiai Ilyas, doa juga dipanjatkan agar Allah swt memberikan jalan yang terbaik dalam mengisi dan mempertahankan kemerdekaan.

لَقَدْ وَافَى كِتَابُكَ بِالتَّهَانِى # بِالْإِسْتِقْلَالِ مَعْ نَيْلِ الْأَمَانِى

(Sungguh telah menjadi bukti bagimu, bahwa dengan kemerdekaan telah menjelma menjadi takdir kebahagiaan dan mencapai cita-cita).

Hakikat kemerdekaan adalah kebahagiaan yang harus disyukuri. Karena tidak akan diperoleh kemerdekaan itu tanpa adanya catatan takdir (kitab) yang telah dianugerahkan ole Allah swt.

Kemerdekaan merupakan cita-cita setiap bangsa. Maka ketika suatu bangsa memperoleh kemerdekaan, saat itu juga bangsa tersebut telah bebas dari cengkeraman kolonial. Keadaan ini harus dimanfaatkan oleh seluruh bangsa untuk menanamkan kebaikan demi kemakmuran dan kejayaan bangsa itu sendiri.

Demikian juga dengan Indonesai, yang telah memproklamirkan kemerdekaan sejak 17 Agustus 1945, hingga kini, 2022, telah mencapai usia merdeka 77 tahun lamanya. Waktu yang tidak sedikit, seharusnya kita telah mencapai puncak kejayaan dan kemakmuran. Momentum kemerdekaan ini menjadi pelecut bagi kita semua untuk membangun peradaban dan kemakmuran.

لَعُمْرِى حُزْتَ سَبَقًا مُسْتَطَابًا # وَمُكْتَسِيًا بِأَخْلَاقٍ حِسَانٍ

(Demi umurku, kau telah mendapatkan derajat yang tinggi, kebaikan, dan kehormatan dengan karakter akhlak yang mulia). 

Sebagaimana di dalam asas Islam, bahwa akhlak merupakan pokok dari semua prinsip kehidupan. Selama kita berpegang teguh terhadap kaidah etik, maka pada saat yang sama kita akan menjalani kehidupan yang bahagia.

Akhlak hasan, adalah manafestasi dari akhlaqul karimah. Di dalam sebuah Hadis, Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk memperbaiki akhlak yang mulia,” (HR. Al-Bihaqi). Hadis ini jelas menjadi rujukan kita bahwa akhlak adalah asas pokok di dalam membangun kehidupan yang islami. Maka sudah seharusnya di dalam mengisi kemerdekaan, dibangun di atas pondasi akhlak yang semestinya.

وَلِلْإِنْدُوْنِسِيِّيْنْ السُّرُوْرُ # بِيَوْمٍ أَغُسْطُسْ فَرْحِى الْجَنَانِ

(Kebahagiaan adalah milik rakyat Indonesia, Bulan Agustus merupakan kebahagiaan surgawi). 

Tepatnya pada 17 Agustus 1945 Indonesia telah merdeka. Maka sejak saat itu rakyat Indonesia telah lepas dari penjajahan dan kebahagiaan paling purna adalah kebebasan itu sendiri. Perlu dipahami bahwa kemerdekaan yang diraih bangsa Indonesia tidak dengan mudah. Akan tetapi, perlu pengorbanan baik secara materi bahkan dengan nyawa sekalipun.

Oleh karena itu, merawat kemerdekaan merupakan suatu keniscayaan. Harus dipelihara dengan sebaik-baiknya, dan diisi dengan kebaikan yang sepantasnya. Karena merdeka bukan sekadar bebas untuk melakukan apa saja, tetapi merdeka artinya terlepas dari kungkungan penjajah dan menjalankan kepemimpinan tanpa campur tangan orang asing.

Kemerdekaan Itu Rahmat Allah

Maka nikmat Tuhan manakah yang kau dustakan?” Adalah kemerdekaan itu sendiri yang merupakan nikmat Allah swt. Kita harus bersyukur atas nikmat kemerdekaan ini. Tentu dengan melakukan kebaikan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Berjuang untuk memakmurkan bangsa, dan berkorban demi tegaknya negara kesatuan, Republik Indonesia.

بِمَا آتَاهُمُ الْمَوْلٰى الْكَرِيْمِ # مِنَ الْأَلْطَافِ فِى ذَاكَ الأٰوَانِ

(Kemerdekaan yang telah diberikan oleh Allah Yang Mulia, adalah karunia pada masa itu). 

Kemerdekaan itu Rahmat yang diberikan oleh Allah swt. Oleh karena itu, kewajiban kita adalah menjaga, merawat, agar kemerdekaan itu menjadi wasilah (perantara) untuk membangun kehidupan yang makmur dan sejahtera. Alkarimul Maula, Allah swt telah memberikan berkah kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Suatu berkah yang wajib kita jaga dengan sepenuh cinta, dengan usaha maksimal untuk mempertahankan kemerdekaan dari rongrongan penjajah.

Nusantara adalah kawasan zamrud khatulistiwa, penuh dengan limpahan anugerah yang menjadi daya tarik tersendiri bagi negara kolonial. Tetapi, semangat menjaga bangsa dan negara harus tetap diperjuangkan dengan mempererat persatuan dan kesatuan. Hanya dengan ittihad, bersatu padu kita akan mencapai kesuksesan yang kita inginkan.

أَدَامَ اللهُ دَوْلَتَهُمْ جَمِيْعًا # وِعزَّتَهُمْ إِلٰى أَقْصَى الزَّمَانِ

(Semoga Allah melanggengkan negeri —Indonesia— dan kemuliaan —kemerdekaan— kita hingga tiada batas waktu). 

Doa senantiasa dipanjatkan, harapan pun selalu dimunajatkan. Tentu, di samping doa juga usaha yang tidak kenal lelah. Karena takdir itu bersamaan dengan usaha kita. Semakin kita berusaha dan berjuang demi bangsa, maka pada saat itu pula takdir kebaikan itu akan menyertainya. Doa dan usaha adalah dua aspek yang saling berkontribusi demi kesuksesan kita dalam berkehidupan.

Berharap bahwa kemerdekaan itu kekal dan selamanya. Tidak berbatas waktu, karena kebebasan untuk mengatur diri sendiri adalah hak asasi manusia. Kita tidak boleh menjadi pecundang di negeri kita sendiri. Karena kita mampu untuk menentukan nasib baik diri kita sendiri.

وَقَدْ خَابَ العَدَى لَهُمْ خَسَارًا # بِمَا كَانُوْا تَمَنَّوْا بِالْأَمَانِى

(Sungguh telah lenyap musuh yang merugikan kita, karena cita-cita kalian adalah untuk keamanan, kemerdekaan).

Dengan pergerakan dan perjuangan, bergerak dalam persatuan dan berjuang dengan keteguhan bersama, maka kemerdekaan itu menjadi nyata. Perlu dipahami oleh generasi muda, bahwa kemerdekaan yang didapat tidak dengan mudah dan gampang. Akan tetapi diperlukan aliran darah, air mata, bahkan nyawa pun ikut dikorbankan. Oleh karena itu, bagi para generasi penerus diperlukan semangat membangun demi tegaknya bangsa yang bermartabat dan negara yang memiliki marwah di hadapan bangsa lainnya.

Musuh kasat mata (fisik) memang telah tiada, tetapi musuh nonfisik, seperti penjajahan etik, pengebirian logika, dan kolonialisme ekonomi perlu mendapat perhatian yang serius. Musuh dalam selimut sering kali menjadi bumerang dan berakibat fatal.

أٌعَادَ عَلَى مَعَالِيْكَ المُعِيْدُ # مِآتِ أَغُسْطُسْ، دُمْ بِالْأَمَانِ

(Semoga Allah Yang Mahatahu menempatkanmu pada tempat yang paling tinggi, hingga beratus Agustus berulang dengan aman/makmur).

Berulangnya Agustus adalah memori yang tidak akan pernah lekang oleh panas dan tidak akan lapuk oleh hujan. Mengingatkan kita pada para pahlawan, pejuang yang rela berkorban demi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Semangat Agustus (baca: kemerdekaan) harus terus digemakan. Agar kita tetap dalam kewaspadaan. Supaya kita teguh untuk membangun bangsa ke depan dengan persatuan dan kesatuan. Mari kita tegakkan suasana Agustus dengan kibaran merah-putih, menembus angkasa di sepanjang kehidupan.

وَعِشْ وَاهْنَأْ وَفُزْ بِالْعِزِّ دَوْمًا # إِلَى الآبَادِ تَهْدِى بالتهانى

(Dan hiduplah, berbahagialah, bersenanglah, dengan kegembiraan selamanya, hingga berabad-abad lamanya, Engkau senantiasa dalam hidayah dan kemakmuran). 

Adalah sebuah motivasi dari generasi awal (KH Muhammad Ilyas) kepada generasi muda agar hidup bahagia dengan kegembiraan yang paling purna. Salah satu kebahagiaan itu adalah bagaimana mengisi kemerdekaan dengan amal kebaikan, perbuatan bermanfaat di dunia dan di akhirat.

Syair Kemerdekaan tersebut sebagai manifesto bahwa Kiai Ilyas memiliki sikap nasionalisme yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Nasionalisme adalah epos karakter yang harus ditekankan kepada setiap bangsa, karena cinta tanah air merupakan kewajiban setiap warga negara.

Syair Kemerdekaan Kiai Ilyas ini hanya sebagian kecil saja dari sebagian cinta Beliau terhadap Indonesia. Tentu masih banyak lagi nilai-nilai karakter kebangsaan yang Beliau miliki dan tidak terekam seperti dalam syair ini.

Sebagaimana dikatakan oleh Kiai Hasyim Asy’ari, “Hubbul Wathon minal iman, bahwa cinta tanah air adalah sebagian dari iman.” Semoga kisah cinta bangsa dan negara ini memberikan efek positif terhadap gerak langkah jiwa pemuda untuk cinta tanah air tanpa ragu. Wallahu A’lam! 

Multi-Page

Tinggalkan Balasan