Bulan Muharam, atau yang lebih dikenal dalam budaya Jawa sebagai bulan Suro, sejak lama dimaknai sebagai waktu yang sakral, penuh tirakat dan keheningan.
Bagi masyarakat Jawa, terutama di wilayah Mataraman seperti Yogyakarta, Solo, Ponorogo, hingga Blitar, Suro adalah bulan untuk menghindari hura-hura. Tidak ada pesta pernikahan, tidak ada hiburan besar, bahkan banyak yang memilih untuk menyepi atau melakukan laku spiritual tertentu. Seolah-olah waktu itu berhenti sejenak agar manusia bisa merenungi makna hidup yang lebih dalam.

Di tengah semangat modernisasi, sebagian orang menganggap larangan-larangan dalam bulan Suro sebagai warisan mitos yang tak lagi relevan. Namun, jika kita telaah lebih jernih, larangan berpesta dan kecenderungan asketik selama bulan ini bukan sekadar pantangan budaya. Ada makna historis dan spiritual yang lebih luas: bulan ini merupakan bulan berkabung, penghormatan terhadap peristiwa berdarah di padang Karbala—ketika cucu Nabi Muhammad SAW, Husain bin Ali, gugur dalam mempertahankan nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
Keheningan Historis
Peristiwa Karbala yang terjadi pada 10 Muharam 61 Hijriah, bukan hanya peristiwa sejarah biasa. Ia adalah tragedi moral yang mengajarkan kepada dunia Islam bahwa perjuangan melawan ketidakadilan seringkali menuntut harga yang sangat mahal. Husain memilih jalan sunyi dengan hanya membawa segelintir keluarga dan sahabatnya untuk menghadapi ribuan pasukan Yazid. Pilihan itu bukan untuk menang secara militer, tetapi untuk menang secara moral.
Di sisi lain dunia Islam, masyarakat Jawa justru mengekspresikan kedukaan ini dalam bentuk laku diam dan pengendalian diri. Ada tradisi tapa bisu yang dilakukan di malam satu Suro—sebuah bentuk tirakat tanpa kata-kata yang mencerminkan kontemplasi mendalam. Ada juga tradisi larung sesaji di laut atau sungai, yang menggambarkan simbol pembuangan energi buruk dan penyucian jiwa. Semua ini menunjukkan bahwa keheningan bukan berarti ketiadaan makna, melainkan bentuk spiritualitas yang dalam dan penuh penghormatan.
Melalui sudut pandang ini, larangan berpesta di bulan Suro dapat dibaca sebagai bentuk penghormatan terhadap peristiwa Karbala. Bukan sekadar ketakutan pada nasib buruk, tetapi sebagai pengakuan bahwa bulan ini pernah menjadi saksi atas gugurnya para pejuang kebenaran. Jika banyak umat Islam memperingati kematian tokoh nasional dengan hening cipta, maka tidak berlebihan jika masyarakat Jawa memuliakan bulan Suro dengan keheningan kolektif dan spiritualitas lokalnya.
Resonansi Nilai Islam dan Budaya
Sebagian orang mungkin bertanya: bukankah budaya Jawa bersifat sinkretis? Tidakkah nilai-nilainya banyak dipengaruhi oleh tradisi Hindu-Buddha atau kejawen? Hal ini memang benar secara historis. Tetapi yang menarik, ketika Islam masuk dan berkembang di Jawa, budaya tidak dihapus melainkan dipeluk dan dimaknai ulang. Islam membaur dengan tradisi lokal, lalu menghidupkannya dengan ruh nilai-nilai baru.
Inilah yang ditunjukkan para Wali Songo. Mereka tidak menolak wayang, tembang, gamelan, atau bahkan mitologi Suro. Sebaliknya, mereka memasukkan pesan-pesan Islam ke dalamnya. Akibatnya, bulan Suro bukan hanya bulan keramat dalam budaya lokal, tetapi juga menjadi bulan tafakur, zikir, dan pemurnian niat dalam bingkai keislaman.
Ketika masyarakat Jawa melakukan tirakat di bulan Suro, sesungguhnya mereka sedang meneladani semangat Husain dalam bentuknya yang khas: menjauh dari gemerlap dunia, menahan diri dari keinginan, dan memaknai hidup melalui keheningan. Ini adalah bentuk zuhud dalam tafsir budaya: menjauh bukan untuk lari, tetapi untuk menguatkan diri dalam menghadapi kenyataan.
Suro: Refleksi Sosial
Di tengah zaman yang penuh gejolak seperti sekarang—ketika masyarakat terus-menerus dihadapkan pada kegaduhan politik, kerusakan lingkungan, dan krisis moral—tradisi seperti peringatan bulan Suro bisa menjadi ruang untuk merenung bersama. Dalam kesunyian yang dipelihara selama bulan Suro, ada ajakan untuk berhenti sejenak dari hiruk-pikuk dunia, dan menengok ke dalam diri serta menelaah ulang arah hidup bersama.
Keheningan dalam bulan Suro bukan berarti melarikan diri dari kenyataan atau bersikap pasif, melainkan bisa menjadi jalan menuju kesadaran yang lebih dalam. Justru dalam diam itu, kita diajak untuk mendengar suara yang lebih jernih—suara hati nurani, suara sejarah, dan suara penderitaan umat manusia.
Tragedi Karbala yang dikenang dalam bulan Muharam, atau Suro dalam istilah budaya Jawa, menjadi pengingat bahwa kekuasaan yang zalim tidak pernah abadi, dan bahwa pengorbanan demi kebenaran adalah bentuk perlawanan yang paling kuat. Imam Husain tidak berteriak, tapi diam dan keteguhannya bergema hingga hari ini. Dari Karbala, kita belajar bahwa diam bisa lebih lantang dari teriakan, dan nilai-nilai bisa hidup lebih lama dari sekadar kekuasaan.
Oleh karena itu, menjaga tradisi Suro bukan hanya soal melestarikan adat semata. Yang jauh lebih penting adalah membaca ulang maknanya—menggali pesan sejarah dan nilai spiritual yang terkandung di dalamnya.
Bulan Suro bukan bulan sial seperti yang sering diyakini secara keliru. Justru sebaliknya, Suro adalah bulan untuk membangun kesadaran. Kesadaran bahwa dalam sejarah kita, ada luka dan penderitaan yang perlu dikenang agar tidak terulang. Bahwa dalam budaya, ada nilai-nilai spiritual dan kebijaksanaan yang patut kita rawat. Dan bahwa dalam agama, ada semangat kemanusiaan yang bisa dipadukan dengan kearifan lokal.
Dengan cara inilah, Suro bisa menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini. Ia bukan hanya bagian dari kalender budaya, tetapi juga ruang kontemplasi yang mengajak kita menjadi manusia yang lebih bijak. Bukan karena takut sial, tapi karena ingin hidup lebih sadar—sadar akan nilai-nilai, sejarah, dan tanggung jawab kita sebagai bagian dari umat manusia.
Penutup
Tulisan ini berusaha menempatkan Suro sebagai jembatan antara budaya Jawa dan sejarah Islam, khususnya peristiwa Karbala. Kita telah melihat bahwa larangan berpesta dan kecenderungan tirakat dalam bulan Suro bukan hanya soal mitos, tetapi bisa dimaknai sebagai bentuk penghormatan terhadap tragedi Husain bin Ali. Tradisi Jawa, dalam segala kekhasannya, telah menawarkan cara lokal dalam mengenang duka umat Islam.
Dari sisi budaya, kita melihat ekspresi mistik dan asketik yang membentuk identitas spiritual masyarakat Jawa. Dari sisi sejarah Islam, kita belajar bahwa Muharam adalah bulan duka, bukan selebrasi. Dan dari titik pertemuan keduanya, kita menemukan bahwa agama dan budaya bukan untuk dipertentangkan, tapi untuk disinergikan demi membangun kesadaran baru: kesadaran akan pentingnya nilai, keadilan, dan spiritualitas di tengah dunia yang makin bising.