NEGERIKU, KEKASIH YANG MENGKHIANATI
Kau mengenakan seragam
lalu menabrak lelaki muda
yang hanya ingin pulang dengan sepotong roti.

Bagaimana aku bisa jatuh cinta
kepada mata yang selalu merah oleh sirine?
Bagaimana aku bisa percaya
kepada parlemen yang tidur di kursinya
sementara aku terjaga oleh lapar?
Negeriku,
aku ingin mencintaimu
seperti seorang anak kecil
mencintai ayah yang pulang membawa jajan.
Namun engkau malah menabrak lelaki kecil itu
dengan roda besi
dan meninggalkannya di jalan
seperti cinta yang diputus dengan kasar.
Bagaimana aku bisa jatuh cinta
kepada seragam yang lebih cepat berlari
daripada menolong?
Bagaimana aku bisa percaya
kepada parlemen yang tak hadir
ketika rakyat menjerit di depan pagar mereka?
Negeriku,
cintaku padamu adalah luka terbuka.
Setiap kali aku menyebut namamu,
aku menelan darah sendiri.
DEMOKRASI YANG KUTEMUI DI JALAN
Aku pernah jatuh cinta pada sebuah kata: demokrasi.
Kudekap ia seperti seorang pemuda
mendekap kekasih pertamanya
dengan napas gugup dan mata bergetar.
Namun di negeriku,
demokrasi hanyalah perempuan lelah
yang dipaksa mengenakan gaun pesta
setiap lima tahun sekali
lalu ditinggalkan di lorong gelap
bersama janji-janji yang basi.
Negeriku berkata padaku:
“Suaramu adalah mahkota.”
Lalu ia merampasnya
menukarnya dengan kursi, proyek, dan amplop.
Bagaimana aku bisa terus jatuh cinta
kepada perempuan yang setiap hari dipukul
namun disuruh tersenyum di depan panggung?
Bagaimana aku bisa percaya
kepada ayah yang berkata adil
sambil menutup mata pada anaknya sendiri?
Demokrasi di negeriku
adalah kekasih yang cantik
namun selalu dijual murah
kepada lelaki berduit.
Aku tetap menyebut namanya
meski setiap kali kucium keningnya
yang terasa hanyalah bau darah
dan debu dari jalanan demonstrasi.
SURAT KEPADA KURSI YANG KOSONG
Aku menulis surat kepada kursi hijau yang kosong di parlemen:
‘Rakyat sedang berdesakan mencari minyak goreng, seorang pengemudi ojol terbujur kaku di jalan, mahasiswa dihujani peluru gas air mata,
sementara kalian entah di mana— bersembunyi dalam kata ‘WFH’, seolah tanggung jawab bisa dicuci seperti kemeja setelah rapat.’
Tapi kursi itu tak pernah membalas.
Ia hanya menatapku dingin,
seperti cinta yang tak pernah kembali.
Pertiwiku,
kau tidak kehilangan rakyatmu.
Kaulah yang meninggalkan mereka.
RANJANG DEMOKRASI
Di ranjang negeri ini,
seprai selalu berganti,
tapi noda tak pernah hilang.
Politisi tidur dengan undang-undang
seperti lelaki mabuk meniduri perempuan asing:
tergesa,
malu-malu,
lalu pergi sebelum fajar,
meninggalkan bau arak dan janji yang basi.
Di jendela gedung tinggi
lampu tak pernah padam
tapi rakyat terlelap
dengan perut yang keroncongan.
Polisi menyalakan strobo
bukan untuk menerangi jalan
melainkan untuk membutakan mata kita
agar tak melihat
bagaimana sebuah motor ojol
rebah di aspal
lebih setia pulang ke rumah
dengan kotak makanannya
daripada dengan tubuh pemiliknya.
Demokrasi di negeri ini
bukan seorang ibu
bukan seorang kekasih
bukan rumah tempat kita pulang.
Ia hanyalah ranjang hotel murah
yang selalu penuh
dipesan oleh mereka yang punya kuasa
sementara kita
hanya berdiri di lobi
membayar tagihan yang tak pernah kita nikmati.