Surat Kedua: Kepada Pak Dipo (28 Juni 1928–9 Mei 1982)

36 views

Bapak Mohammad Diponegoro (selanjutnya: Bapak Dipo, Pak Dipo), izinkan saya menulis dan mengirimkan surat ini sebagai bentuk pekabaran, atau barangkali sekadar tanda hormat dan rindu, kepada seorang sastrawan yang saya kagumi, Mohammad Diponegoro.

Mohammad Diponegoro

Surat ini saya tulis di tengah rasa bingung yang agak menggelikan: ketika itu saya menerima undangan menjadi pembicara dalam sesi tribute Pestarama #10. Acara ini diadakan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (14/5/2025). Sebuah acara yang secara khusus dipersembahkan untuk mengenang Bapak.

Advertisements

Dalam acara itu saya diminta untuk berbicara tentang Bapak—tentang jejak-jejak pemikiran, karya-karya, bahkan mungkin kenangan yang tak sempat saya alami.

Saya sempat berpikir, “Mengapa saya?” Sebab terus terang, saya ini bukan siapa-siapa. Jangankan menafsirkan warisan Bapak dalam dunia sastra, untuk mengucapkan nama Bapak saja saya kadang masih merasa minder.

Secara jasmani, saya sadar betul Bapak tak akan pernah membaca surat ini. Namun saya percaya, roh-roh kita senantiasa berpaut—setidaknya dalam imajinasi, dalam semangat penciptaan, dalam keyakinan bahwa sastra bukan sekadar olah kata, melainkan wasilah untuk menyampaikan nilai dan kesadaran.

Saya mafhum, puisi-puisi saya yang tak sempat saya kirimkan mungkin tak punya arti apa-apa. Tak ada kekuatan kata, apalagi mantranya. Tidak cukup sakti untuk mengubah zaman—apalagi zaman ini, yang lebih sibuk mencari “like” daripada makna. Dan saya, tak munafik, adalah bagian dari zaman itu.

Namun saya merasa beruntung. Pada suatu sore saya bertandang ke rumah guru saya, penyair Jamal D. Rahman. Saya bercerita perihal undangan dari panitia Pestarama #10, bahwa saya diminta membicarakan tentang Bapak.

Kak Jamal —demikian saya memanggil— segera meminta saya membaca buku Bapak, Pekabaran. Tanpa menunggu kopi tersaji, saya langsung membaca buku karya Bapak, Pekabaran. Berdua kami pun terlibat diskusi panjang tentang puitisasi yang Bapak tulis, berikut juga tentang terjemahan yang ditulis oleh HB Jassin dalam Bacaan Mulia.

Maka, Bapak Dipo, sebelum saya menyampaikan maksud utama surat ini, izinkan saya mengutip salah satu puitisasi Al-Qur’an dari Bapak—surat Al-Humazah [104]: 1–9:

Celakalah setiap pengumpat, si tukang cela//Yang melongok harta dan menghitung-hitungnya//Ia menyangka hartanya akan membuatnya kekal//Tidak! Ia pasti akan dilontar ke dalam Hutamah!//Tahukah kau apakah Hutamah?//Api Allah yang menyala-nyala//Yang menjilat sampai hati manusia//Terkatup menutup mereka//Pada palang-palang yang panjang.

Pak Dipo yang bijak dan saya hormati,

Saya bukan ahli tafsir. Saya bahkan belum tentu lulus ujian tafsir dasar. Namun saya tak ingin terus larut dalam kefakiran ilmu. Maka sebisa mungkin saya belajar—dan salah satu cara belajar saya adalah: menulis puisi.

Saya sadar, dunia puisi yang saya masuki hari ini adalah dunia yang dahulu Bapak geluti, dengan kesungguhan yang jauh lebih dalam dari sekadar ingin tampil di panggung-panggung kecil atau berseliweran di unggahan IG Story.

Saya kadang merasa menjadi penyair. Tapi sejujurnya, sering kali saya hanya sedang mengukuhkan gengsi, bukan menggali esensi. Sedih, tapi nyata.

Bapak Dipo, puisimu mungkin tak sebanyak karya-karya generasimu. Namun justru dari bait-baitmu yang tak banyak itu, dunia seperti terbuka. Ada kabar dari langit. Ada bisik-bisik dari ujung zaman. Dan semua terasa dekat. Puisi-puisimu tidak berangkat dari sekadar rasa, tapi dari sumber pengetahuan sejati—dari Sang Pemilik Ilmu, dari Yang Mencipta segalanya.

Terus terang, saya tidak banyak tahu tentang Bapak. Salah satu buku favorit saya adalah karya Bapak Yuk, Menulis Cerpen—panduan yang sederhana tapi menampar lembut: “Sudah nulis belum hari ini?”

Pengetahuan saya tentang Bapak hanyalah seperti kilau damar di angkringan Kotagede: terang, tapi tidak menyala terus. Namun sering saya membayangkan, bagaimana para penulis masa itu—termasuk Bapak—menulis, berkesenian, dan berorganisasi, tanpa gawai, tanpa sinyal Wi-Fi, tanpa notifikasi yang menyela tiap lima menit.

Bayangkan saja, pertemuan zaman itu adalah pertemuan sungguhan—bukan sekadar saling tatap kamera di layar kecil. Konon, saat Bapak Dipo ngangkring di Kotagede atau Kauman bersama rekan-rekan seniman, itulah saat-saat hidup terasa sungguh hidup.

Bahkan Mustofa W. Hasyim pernah berkisah: betapa ia sering berjalan menyusuri Malioboro bersama penyair Ragil Suwarna Pragolapati, Linus Suryadi AG, dan Emha Ainun Nadjib—dalam tapa bisu, menggali ide dalam diam, dalam bahasa yang bersembunyi di sela napas.

Ah, andai zaman sekarang bisa sedikit lebih sunyi…

Ketika saya berada di Jogja (2005-2014), sesekali saya mencuri dengar obrolan para penyair dan seniman di Taman Budaya. Dari sana saya tahu: Bapak adalah sosok yang sangat peduli pada penulis muda. Jika ada naskah menjanjikan, Bapak tak segan mengirim surat—memberi catatan, saran, dan semangat. Mungkin pekerjaan ini terlihat “remeh”, tapi betapa mulianya.

Umbu Landu Paranggi pun begitu. Dan saya hanya bisa berharap, ada yang meneruskan semangat ini di zaman kita—meski bentuknya tak lagi surat, bisa jadi berupa DM Instagram atau komentar di Google Docs.

Bapak Dipo, sebelum saya benar-benar menutup surat ini, izinkan saya berbagi satu kisah yang (semoga) akan membuat Bapak tersenyum dari seberang sana.

Cerpen-cerpen Bapak yang kini kita kenal dalam Zaman Perang diketik satu per satu oleh putra Bapak, Aulia Mohammad. Sumbernya? Rekaman suara Bapak sendiri saat membaca cerpen-cerpen yang dahulu disiarkan via Radio ABC Australia.

Bayangkan: mengetik ulang suara ayah sendiri, mendengar ulang masa lalu yang bersuara. Sunyi, tekun, dan—saya yakin—penuh cinta. Mesin ketik milik Bapak pun konon masih terawat. Dan beberapa naskah cerpen bersumber dari dokumen yang pernah disimpan oleh Ajip Rosidi. Begitulah, dari yang tercecer, akhirnya terkumpul dan menjadi warisan.

Selain Zaman Perang, tiga jilid lainnya juga terbit. Salah satunya berjudul Odah dan Cerita Lainnya—sederhana, jujur, dan hidup. Masih satu napas dengan jiwa penulisnya.

Oh, dan satu lagi: drama Iblis (1963)—drama yang mungkin bisa bikin setan merasa tidak enak hati. Sebab dua iblis dalam cerita itu gagal total menghadapi iman keluarga Nabi Ibrahim. Bukan sekadar naskah, tapi doa yang dibacakan lewat lakon.

Ah, maafkan saya, Bapak Dipo—kadang saya memang suka berlebih-lebihan dalam berkhayal. Termasuk ketika membayangkan naskah drama Iblis yang menceritakan kisah Nabi Ibrahim, yang menerima wahyu lewat untuk menyembelih anaknya, Ismail. Betapa menusuknya! Tapi saya paham, bukan soal membunuh melainkan soal cinta dan kepatuhan yang nyaris tak masuk akal dari seorang hamba kepada Sang Pencipta.

Kadang, dalam khayalan saya yang cetek ini, muncul harapan: andaikan naskah drama berjudul Iblis itu—ya, karya Bapak yang penuh daya itu—dibacakan di hadapan para calon jemaah haji, atau bahkan di depan pejabat-pejabat yang mengurus segala urusan haji, barangkali mereka bisa merenung sejenak. Bahwa ada peristiwa agung di balik ibadah itu—ada pengorbanan yang tidak ringan, tidak instan, dan sungguh bukan tentang koper premium dan hotel bintang lima.

Siapa tahu, setelah itu, mereka tak lagi berpikir aneh-aneh soal biaya haji. Apalagi, duh… mohon ampun, Pak Dipo, apalagi sampai dikurangi dengan cara yang tidak halal. Iya, saya tahu itu kalimat yang agak getir. Tapi semoga getir itu bisa menyadarkan. Sebab drama Iblis, sebagaimana karya Bapak lainnya, tidak sedang bermain-main. Ia sedang menyentuh inti: iman dan nurani.

Drama Iblis itu pertama kali muncul di Budaja edisi Januari–Februari 1963, dan dipentaskan pada 25 September 1961, di gedung Chung Hwa Chung Hui, Yogyakarta. Dan dari sana, lahirlah Teater Muslim—tonggak yang tak hanya bersuara, tapi juga bersujud.

Demikian surat saya, Bapak Dipo. Mungkin suatu hari nanti saya akan menulis lagi—entah kepada Bapak, entah kepada siapa pun penyair yang bisa menggerakkan pikiran dan hati dalam kejujuran yang lirih namun menggelegar.

Terima kasih telah menjadi cahaya dalam gelap. Dan menjadi alasan mengapa surat ini ditulis.

Jakarta-Jogja, PP, 12 Juni 2025.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan